BPKP : Ada Indikasi Penyimpangan Cost Recovery Sebesar 18 Triliun
Berita

BPKP : Ada Indikasi Penyimpangan Cost Recovery Sebesar 18 Triliun

Cost recovery dari 152 KPS senilai Rp 122,684 triliun yang diaudit, BPKP menemukan indikasi penyimpangan pada 43 KPS senilai Rp 18,067 triliun.

Oleh:
Tif/M-3
Bacaan 2 Menit
BPKP : Ada Indikasi Penyimpangan <i>Cost Recovery</i> Sebesar 18 Triliun
Hukumonline

Seakan tak mau kalah dengan saudara tuanya, BPK, saat ini Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) telah melakukan proses audit terhadap pelaksanaan cost recovery dari 152 Kontraktor Production Sharing (KPS). Sebelumnya, hal serupa pernah telah dilakukan BPK.

 

Hasil audit BPKP cukup mencengangkan. Selama periode 2000-2005, BPKP telah mengaudit cost recovery dari 152 KPS senilai Rp 122,684 triliun. Rinciannya, 47 KKKS yang sudah produksi, 89 KKKS yang belum, proses reliquid 8 KKKS dan KKS baru 8.

 

Nah, dari jumlah tersebut setelah melalui proses audit yang cukup ketat ternyata ditemukan adanya indikasi penyimpangan pelaksanaan cost recovery dari 43 KPS. Nilainya cukup besar, Rp 18,067 triliun. Hingga 31 Desember 2006 lalu, bersama BP Migas dan KPS yang bersangkutan, BPKP telah menindaklanjuti temuan tersebut. Yang berhasil diselesaikan nilainya mencapai Rp 8,695 triliun (48 persen) sehingga tersisa Rp 9,372 triliun (52 persen).

 

Ada 10 temuan yang nilainya sangat besar. Kami hanya memaparkan besarannya saja. Soal nama 10 itu silahkan tanya ke BP Migas. Saya telah menyerahkan temuan ini ke mereka, ujar Ketua BPKP Didi Widayadi kepada sejumlah wartawan di Gedung BPKP, Jakarta, Selasa (23/1). Temuan besar itu di antaranya Pajak Perseroan (PPs) dan Pajak Bunga Dividen Royalti (PBDR) sebesar Rp 6,24 miliar, Investment Credit (2,47 miliar) dan kelebihan pembebanan biaya home office (Rp 1,63 miliar).

 

Temuan Yang Nilainya Sangat Besar

 

No

Uraian

Nilai (juta Rp)

1

PPs dan PBDR

6.242.643

2

Investment Credit

2.476.859

3

Kelebihan Pembebanan Biaya Home Office

1.626.175

4

Pembebanan tunjangan pajak

860.240

5

Pembebanan gaji expatriate tanpa izin kerja

495.708

6

Pembebanan biaya tanpa approval BP Migas

470.641

7

Biaya Depresiasi Aset yang Belum Placed Into Service (PIS) dan overlifting

462.933

8

Pengadaan barang jasa tidak sesuai ketentuan

409.901

9

Biaya yang tidak berkaitan dengan PSC

204.913

10

Pembebanan legal/consultant/audit fee

163.621

Sumber : BPKP

 

Dari temuan ini, Didi menegaskan, BPKP akan memprioritaskan temuan yang besar dan kejadian yang berulang pada perusahaan yang sama untuk segera ditindaklanjuti. Salah satu yang menjadi fokus BPKP adalah KPS yang memiliki estimate sum (harga yang belum dapat dipastikan, red).

 

Didi mengingatkan bahwa temuan tersebut belum final. Ia menjelaskan bahwa temuan BPKP akan dilaporkan kepada BP Migas. Selanjutnya, BPKP akan berupaya seoptimal mungkin dengan BP Migas untuk menelusuri cost recovery tersebut apakah ada yang harus dikembalikan oleh KPS atau tidak. Hal ini diamini Kepala BP Migas Kardaya Warnika.

 

Ia menambahkan bahwa kerugian negara yang diaudit belum tentu merupakan pidana jika hal itu terdapat dalam kontrak. Namun, Jika ditemukan kasus di luar kontrak yang melawan hukum misalnya adanya mark up, kita akan proses secara pidana. BPKP tidak akan kompromi termasuk jika ditemukan pelakunya adalah oknum BP Migas. Kita akan rekomendasikan ke pengadilan, tandasnya.

 

Direktur Penerimaan Negara Bukan Pajak Ditjen Anggaran Depkeu Mujo Suwarno menyatakan, terhadap hasil temuan BPKP ini, Depkeu akan menyampaikan peringatan dini pada para KPS untuk segera menyelesaikannya. Selain itu, Depkeu juga akan melakukan monitor.

 

Laporan itu disampaikan ke Menteri ESDM, sedangkan Menkeu hanya tembusan. Meski tembusan, kami akan melihat juga. Temuan yang sudah disetujui harus ditindaklanjuti KPS. Berarti ada koreksi biaya. Kalau ada indikasi kerugian negara, berarti ada penyimpangan prosedur. Itu urusannya BPKP, papar Mujo

 

Aturan Baru

Sementara itu, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Purnomo Yusgiantoro menyatakan bahwa ada pilihan apakah cost recovery akan diselenggarakan seperti sekarang dengan beberapa perbaikan, atau cost recovery cukup ada dalam kontrak saja antara Pemerintah cq BP Migas dan KPS, atau diatur dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Ia menambahkan bahwa hal ini belum diputuskan.

 

Saya ingin masukan dari BPKP bagaimana cost recovery ini dapat diatur dengan baik. Karena ini untuk kebaikan kita semua sebagai pegangan dan kepastian hukum. Cost recovery harus dilihat per anatomi lapangan per lapangan. Jadi tidak berhubungan dengan besar kecilnya produksi, kata Purnomo.

 

Purnomo menjelaskan bahwa terdapat dua PP yang mendasari cost recovery yaitu PP No. 42 Tahun 2002 tentang BP Migas, dan PP No. 35 Tahun 2004 tentang Kegiatan Hulu, Ekplorasi Migas serta peraturan perundangan di bawahnya. Dengan demikian cost recovery merupakan peraturan pelaksana.

 

Sesuai aturan Production Sharing Contract (PSC),  KPS dapat membebankan semua biaya yang dikeluarkan dalam rangka memperoleh minyak mentah (crude oil) ke dalam cost recovery. Biaya ini menjadi pengurang dari nilai lifting dikurangi cost recovery akan menjadi suatu jumlah yang akan dibagi antara Kontraktor (equity to be split) dengan persentase pemerintah 85 persen dan kontraktor 15 persen.

 

Semakin besar cost recovery, semakin kecil jumlah equity to be split, maka semakin kecil bagian pemerintah. Dengan demikian wajar kalau ada kecenderungan bagi kontraktor untuk memperbesar biaya operasinya yang akan menjadi pengurang dari nilai penjualan produksi minyak mentahnya.

 

Menurut Purnomo, meskipun dalam UU Migas yang baru dibuka kontrak perminyakan di luar Kontrak Production Sharing, seperti Service Contract atau kontrak karya, namun semua investor tetap ingin menggunakan sharing contract. Mengenai biaya KPS yang dibebankan ke pemerintah, ia menambahkan bahwa hal ini sudah ada peraturannya.

 

Kita perlu memahami sistem dalam KPS dalam kerangka persamaan persepsi atas cost recovery. Ini adalah kontrak jangka panjang, keadaan sekarang belum tentu sama dengan lima tahun ke depan dan belum tentu itu adalah kesalahan. Jangan sampai peraturan baru menimbulkan keresahan melainkan terus menarik investasi. Minggu lalu kita teken 17 kontrak KPS untuk eksplorasi. Ini sinyal bahwa Indonesia iklim inves masih menarik dengan UU yang ada, papar Purnomo.
Tags: