Survei TII: Polisi, Militer, dan Peradilan Lembaga Terkorup
Utama

Survei TII: Polisi, Militer, dan Peradilan Lembaga Terkorup

Menurut survei TII, terdapat perbaikan walau tak terlalu menggembirakan. Layanan pengadilan dianggap paling buruk. Komitmen untuk memberantas korupsi tinggi, tapi tak ditunjang realisasi.

Oleh:
CRK
Bacaan 2 Menit
Survei TII: Polisi, Militer, dan Peradilan Lembaga Terkorup
Hukumonline

 

Memperbandingkan IPK kota dan kabupaten, ternyata persepsi pelaku usaha terhadap DKI Jakarta pada 2006 membaik (4.00), setelah sebelumnya duduk di posisi buncit dengan IPK 3.87. Peringkat Jakarta juga naik meski tidak terlalu signifikan, posisi 26 dari 32 kota/ kabupaten.

 

Kali ini predikat kota terkorup digondol Maumere, dengan IPK terendah 3.22 disusul Mataram dan Gorontalo dengan IPK masing-masing 3,42, dan 3,44. Kota Palangkaraya dan Wonosobo dianggap sebagai kota terbersih dengan IPK 6.61 dan 5.66.

 

Indeks Persepsi Korupsi 2006

Kabupaten/Kota

IPK 2006

  1. Palangkaraya
  2. Wonosobo
  3. Pare-Pare
  4. Tanah Datar
  5. Yogyakarta

6.61

5.66

5.66

5.66

5.59

 

 

   30. Gorontalo

   31. Mataram

   32. Maumere

3.44

3.42

3.22

                   Sumber TII, diolah

 

Selain mengukur intensitas korupsi di institusi publik, survei ini juga bertujuan memberi gambaran akan kualitas pelayanan publik. Dalam hal pelayanan, peradilan masih dianggap sebagai lembaga dengan pelayanan yang terburuk dari 20 instansi diikuti Kepolisian diperingkat kedua (4,70), serta DPRD bercokol di tempat ketiga (4.75). Pada survei tahun 2004, posisi satu sampai empat diduduki Bea Cukai, Kepolisian, militer dan peradilan secara berurutan.

 

Bea Cukai dan Kantor Pelayanan Pajak berhasil memperbaiki pelayanan dengan adanya kenaikan persepsi yang cukup signifikan ujar Rizal.  PLN dan Telkom dianggap berhasil meningkatkan perlayanannya, selain turunnya interaksi korup di dua lembaga tersebut.

 

Urutan yang nyaris sama terlihat pula dari harapan responden atas lembaga yang perlu segera menghapus diri dari praktek koruptif. Pengadilan bercokol di tingkat pertama dengan 20% responden, disusul Kepolisian 14%, Ditjen Pajak 14% dan DPRD 9% responden,

 

Komitmen vs. Realitas

Meski responden menilai pemerintah daerah berkomitmen memberantas korupsi, tidak otomatis praktek korupsinya juga dinilai rendah. Kota Gorontalo misalnya, komitmen kepala daerahnya tinggi, namun pengalaman tindakan korupsi menurut pengusaha justru sangat banyak. Menanggapi hal ini, Rizal memandang terdapat celah (gap) antara komitmen dengan aksi. Kadang kepala daerah yang berkomitmen memberantas korupsi terhalang oleh birokrat bawahannya yang masih hidup dalam kultur yang lama.

 

Waluyo berpandangan sama. Ia memandang Komitmen pimpinan penting, tapi perlu juga adanya management of change, untuk aliansi, konsolidasi, supaya ada keberlanjutan. Ia mencontohkan kondisi pemberantasan korupsi di tingkat nasional. Sebenarnya sudah ada Instruksi Presiden No.5 tahun 2004 tentang Rencana Aksi Nasional Memberantas Korupsi tetapi management of change (manajemen perubahan, red) masih kurang.

 

Menarik juga untuk membandingkan persepsi penusaha lokal terhadap korupsi di Indonesia dengan persepsi dunia internasional. IPK global untuk Indonesia berdasarkan hasil survei Transparency International (TI) mentok pada angka 2.4, dan berada di peringkat 130 dari total 163 negara. Tetapi, IPK terendah nasional, yaitu kota Maumere menggondol skor lebih tinggi yakni 3.22.

 

Menjelaskan perbedaan ini Rizal melihat dua kemungkinan. Responden pengusaha di Indonesia mungkin lebih murah hati menilai diri sendiri selain dapat melihat perkembangan lebih nyata dan riil di banding responden luar negeri. Maklum,  responden IPK global diantaranya pebisnis internasional, pengamat dan lembaga pemeringkat.

Walau mengalami sedikit penurunan dari tahun 2004, praktek korupsi ternyata masih marak dengan tingginya interaksi korup berdasarkan persepsi pengusaha terhadap beberapa institusi pemerintah. Demikian kesimpulan temuan survei yang dilakukan oleh Transparency International Indonesia (TII) terhadap persepsi kalangan pengusaha indonesia dan asing di 32 kota/kabupaten di Indonesia dengan total 1.760 responden. Sebelumnya survei serupa dilakukan  di 21 kota pada tahun 2004.

 

Survei ini belum menggembirakan, meskipun ada peningkatan ujar Todung Mulia Lubis, Ketua Dewan Pengurus TII. Memang ada konsistensi antara survei 2004 dan survei 2006 tambah Rizal Malik, Sekretaris Jenderal TII. Menurutnya penegakan hukum ternyata masih dianggap masyarakat sebagai lembaga yang terkorup.

 

Salah satu hasil Penelitian TII ini ialah untuk melihat hubungan koruptif antara pelaku usaha dari interaksinya dengan institusi publik. Kepolisian masih menempati peringkat pertama dengan 55% interaksi koruptif dari seluruh hubungan antara pelaku usaha dengan lembaga tersebut. Diikuti militer (53%) di peringkat dua, Peradilan (51%) ditempat ketiga, serta Badan Pertanahan Nasional (48%) diperingkat keempat.

 

Perbandingan Interaksi Korup Tahun 2004 dan 2006

Institusi

Interaksi korup 2004

Interaksi korup 2006

  1. Polisi
  2. Militer
  3. Peradilan
  4. Badan Pertanahan
  5. DPRD
  6. Bea Cukai

70%

55%

53%

-

38%

67%

55%

53%

51%

48%

43%

44%

Sumber: TII, diolah

 

Rizal menjelaskan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) dihitung dari  dua komponen utama. Pertama terjadinya suap dalam hubungan pengusaha dan institusi publik, baik untuk mendapatkan tender maupun untuk mendapatkan pembayaran hasil proyek. Komponen kedua adalah persepsi pengusaha terhadap komitmen kepala daerah untuk memberantas korupsi. IPK total didapat dari komponen pertama dkurangi komponen kedua.

Tags: