Peradilan Umum Masih Lebih Sering Menggunakan KUHP untuk Kasus KDRT
Berita

Peradilan Umum Masih Lebih Sering Menggunakan KUHP untuk Kasus KDRT

Masih ada hambatan dalam struktur hukum dalam menyelesaikan kasus-kasus KDRT, yakni sikap para penegak hukum.

Oleh:
M-5
Bacaan 2 Menit
Peradilan Umum Masih Lebih Sering Menggunakan KUHP untuk Kasus KDRT
Hukumonline

 

Dari laporan Komnas Perempuan juga terungkap bahwa prilaku aparat penegak hukum bukan saja sering tak berpihak kepada korban, tetapi juga ikut melakukan tindak kekerasan seksual dan pemerasan. Komnas Perempuan menerima 8 kasus terkait dengan kekerasan yang dilakukan aparat penegak hukum kepada korban. Dua diantaranya melibatkan hakim, dimana sang hakim yang menangani kasus perceraian meminta uang terima kasih dan telepon genggam kepada korban.

 

Pada salah satu kasus, korban digugat cerai oleh suaminya yang telah berselingkuh. Dalam proses persidangan, hakim sering mengeluarkan kalimat yang melecehkan korban. Pengacara korban pun lebih mengarahkan korban untuk menerima pembagian harta gono gini. Hakim juga mengarahkan agar korban bersedia bercerai, papar Komnas Perempuan dalam Catatan Tahunan yang dilansir 7 Maret lalu.

 

Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat bahwa Pengadilan Negeri (PN) masih lebih sering menggunakan KUHP ketimbang UU No. 23 Tahun 2004 dalam mengadili kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan. Padahal, UU No. 23/2004 tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) tadi dianggap sebagai lex spesialis terhadap KUHP.

 

Faktanya PN menggunakan 57 kali KUHP, sementara UU Penghapusan KDRT sebanyak 22 kali. Dasar hukum lain yang dipakai adalah UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebanyak 46 kali, 2 kali UU Perkawinan, dan 5 kali PP No. 10 Tahun 1983 tentang Izin Menikah Lagi bagi PNS. Ini juga diperkuat data lain dimana dari 39 PN yang melaporkan kasusnya ke Komnas, 32 diantaranya sudah mengetahui UU KDRT tetapi baru 5 PN yang menerapkan.

 

Sementara itu, Pengadilan Agama (PA) lebih banyak menerapkan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (34 kasus) dan Kompilasi Hukum Islam (32 kasus). Sebanyak 13 kasus yang menggunakan PP No. 10/1983 dan 2 kasus yang menggunakan KUHP. Hanya satu kasus yang menggunakan UU Penghapusan KDRT.

 

Data tersebut dikeluarkan Komnas Perempuan berkaitan dengan peringatan hari perempuan sedunia yang jatuh pada 9 Maret ini. Ketua Komnas Perempuan Kamala Chandrakirana memaparkan bahwa sepanjang 2006 tercatat 22.512 kasus kekerasan terhadap perempuan. Angka itu merupakan laporan dari 257 lembaga di 32 propinsi di Indonesia. Kasus yang paling menonjol adalah KDRT (76 persen), disusul kejahatan komunitas dan kejahatan negara.

 

Dalam kasus KDRT, demikian Kamala, bentuk kekerasan yang paling sering adalah penelantaran secara ekonomi. Celakanya, banyak pelaku kejahatan ini adalah pejabat publik dan aparat negara.

Tags: