Gebrakan Pengacara Garang
Jeda

Gebrakan Pengacara Garang

Majelis Hakim Pengadilan Hubungan Industrial DKI Jakarta sempat men-skors sidang. Kericuhan dipicu oleh seorang pengacara yang tak puas akan jalannya persidangan.

Oleh:
Ycb
Bacaan 2 Menit
Gebrakan Pengacara Garang
Hukumonline

 

Konon katanya sih untuk menegakkan asas ‘melayani masyarakat dengan cepat' alias tak bertele-tele. Justru buru-burunya hakim menyudahi setiap sesi ini meerbitkan kembali kekecewaan para pengunjung.

 

Terutama pada sesi sidang Great River. Karena pihak tergugat, yaitu kuasa direksi belum siap memberikan jawaban, hakim menyudahi persidangan sesi itu. Hakim memberikan kesempatan seminggu kepada tergugat untuk menyusun jawaban.

 

Sontak para pengunjung berseru serentak, Huuu... Pengacara penggugat yang mewakili para buruh Great River mencoba menenangkan suasana. Namun luapan kekecewaan mereka sudah tak terbendung. Buru-buru kedua kuasa direksi Great River ngeloyor ngacir keluar.

 

Wajar saja mereka kecewa. Sudah menginjak bulan ketujuh mereka tidak beroleh gaji. Pada sidang sebelumnya, hakim pun menyudahi dengan cepat-cepat dengan alasan pihak tergugat tak hadir. Tidak hadirnya tergugat pada sidang sebelumnya karena hal renik: layangan gugatan salah alamat –pihak direksi pindah alamat kantor.

 

Ini sidang ketiga dan selalu berakhir hanya dalam beberapa menit, keluh salah satu buruh Great River, Hendri D. Padahal, Hendri dan kawan-kawan sudah susah payah beriur untuk menutup ongkos pendaftaran gugatan –dan segala macamnya. Kami rela urunan Mas, sambungnya getir.

 

Sesi-sesi berikutnya pun cepat berlalu. Hingga tibalah pada sesi sidang gugatan buruh sebuah perusahaan –yang beralamat bodong pula. Pihak tergugat tak hadir. Hakim dengan enteng menawarkan dua pilihan. Anda bisa mencabut gugatan ini dan mulai lagi dari awal dengan gugatan baru. Tapi kalau ingin jalan terus yah silakan membuat iklan pengumuman panggilan ke koran-koran. Anda tahu sendiri biayanya, ujar Lilik los tanpa beban.

 

Kuasa hukum pihak penggugat butuh waktu lama berpikir. Seretnya persidangan kali ini meledakkan puncak kesabaran Haeruddin Masarro. Pengacara dari kantor MM dan Rekan ini berdiri dan memprotes, Keberatan Pak Hakim.

 

Sontak ketenangan ruang sidang terbelah. Anda datang sudah terlambat dan jalannya sidang seperti ini terus. Saya tahu nasib buruh. Hakim seperti Anda hanya akan memberikan putusan NO. Buruh selalu dikeroyok. Dua lawan satu. Pengusaha selalu dibantu hakim. Saya tahu betul sandiwara-sandiwara sepeti ini, lanjut Haeruddin.

 

Lilik pun naik pitam. Semua saya perlakukan sama. Anda pun akan mendapatkan gilirannya. Saya juga sudah datang di sini sejak jam delapan pagi tadi, ujarnya dengan wajah memerah.

 

Haeruddin pun membalas. Apa mau kamu? Saya tahu sudah lima belas tahun saya jadi pengacara. Saya membela buruh. Sekali lagi buruh. Bukan serikat buruh yang suka memelintir nasib buruhnya, sambungnya dengan nada makin meninggi.

 

Lilik sudah terkuras kesabarannya. Kencang-kencang ia mengetuk palu. Sudah kamu keluar saja! Sidang saya lanjutkan kalau kamu sudah keluar. Pak Satpam, suruh orang itu keluar. Cepat! ujarnya sambil mengacungkan palu ke arah Haeruddin.

 

Haeruddin pun tak gentar dan melanjutkan cerocosnya. Dua orang satpam merambat mendekat. Jangan sekali-sekali sentuh saya. Polisi datang pun saya tak takut. Jangan mau disuruh oleh hakim seperti itu, lanjutnya dengan urat di leher yang kelihatan hijau-biru menggembung.

 

Beberapa pengunjung ingin sidang dilanjutkan. Sudah lanjutkan saja Pak Hakim. Dilanjutkan saja, seru mereka. Ada pula pengunjung yang mengakui aksi gila ini. Baru kali ini ada pengacara bicara blak-blakan, ujarnya.

 

Lilik pun men-skors sidang dengan melangkah keluar ruangan diikuti oleh dua orang hakim anggota. Haeruddin masih berdiri di dalam ruang sidang. Para pegunjung di ruang lain tersedot perhatiannya sehingga ruang ini makin penuh saja.

 

Ada pengunjung yang tak puas atas kelakuan Haeruddin. Ini sih sudah melecehkan martabat peradilan, ujar lelaki tersebut. Namun nampaknya banyak pengunjung, terutama kalangan buruh, yang justru antusias medengarkan ‘wejangan-wejangan' Haeruddin.

 

Buruh harus bersatu. Jika tidak, nasibnya akan selalu kalah. Mau makin keras akan disalahkan, mau tunduk justru dikalahkan. Saya siap membela kalian. Hidup buruh, ujarnya berkobar-kobar. Tepuk riuh pun memadati ruangan.

 

Petugas pengadilan pun mencoba menenangkannya dengan ramah. Sikap Haeruddin pun mereda ketika menerima panggilan masuk dari telepon genggamnya. Jidatnya tiada henti diguyur berbiji-biji peluh. Akhirnya dia keluar ruangan untuk menuntaskan percakapan dengan si penelepon.

 

Setelah menutup telepon, Haeruddin masih bersemangat melanjutkan kuliahnya. Buruh jangan terpecah belah. Di China, jumlah kaum buruh mencapai 700 juta dan hanya punya 11 serikat buruh. Di Indonesia, jumlah buruh hampir 100 juta dan terdapat 86 serikat buruh. Modal buruh cuma persatuan, ujarnya.

 

Haeruddin mengaku dalam persidangan hari itu dia menjadi pengacara 81 buruh PT Indonesia Raya yang di-PHK. Lokasi usahanya ada di Muara Kapuk, ujarnya.

 

Di luar, Haeruddin disalami dan disambut oleh berbagai kalangan buruh yang menggantungkan nasibnya melalui peradilan ini. Gedung PHI itu, seperti hari-hari yang lalu, masih berdiri dingin dengan ditingkahi oleh para pengunjung yang berjejal. Mentari mulai merangkak ke barat.

 

Hampir satu jam kemudian, majelis hakim kembali memasuki ruang sidang. Sidang kita lanjutkan, Saudara-saudara, ujar Lilik. Palu pun terketok. Tok... dan Haeruddin pun tak kembali lagi –setidaknya untuk kali ini.

Hari itu, Kamis (8/3), seperti biasanya, ruang Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) DKI Jakarta dipadati oleh para pengunjung. Sebagian besar adalah kaum buruh, yang tentu saja, sangat menggantungkan nasibnya pada putusan para hakim seadil-adilnya.

 

Matahari mulai meninggi. Ruang Sidang II sudah full ‘sarat muatan'. Para pengunjung berjejal dan kursi terisi penuh. Yang tak kebagian tempat duduk terpaksa harus rela berdiri. Hanya tiga kursi majelis hakim yang masih lowong. Di sisi kanan kursi hakim berdirilah tiang bedera dengan Sang Merah Putih yang enggan berkibar. Di belakang Sang Saka telah bersiap panitera duduk di bangku belakang. Bertumpuk berkas membisu seakan tak sabar sudah menunggu di atas meja majelis hakim.

 

Bagai kawanan tawon, para pengunjung mulai berdengung harap-harap cemas. Di antaranya, puluhan kepala buruh pabrik garmen ‘bodong' Great River. Apalagi, hakim di ruang sidang lain sudah menggelar persidangan sejak hampir satu jam yang lalu. Pandom jam mulai merambat ke arah pukul 12.00 siang. Barulah ketiga hakim tersebut memasuki ruangan. Para pengunjung pun menghela nafas lega.

 

Berjalanlah acara sidang satu per satu. Setiap sesi sidang berjalan tak lebih dari sepuluh menit. Hakim Ketua Lilik Mulyadi dengan tangkas mengetuk palu dan memutuskan setiap perkara akan dilanjutkan pada minggu berikutnya.

Halaman Selanjutnya:
Tags: