Perawat Minta Payung Hukum Tindakan Anestesia
Berita

Perawat Minta Payung Hukum Tindakan Anestesia

Perawat tak bisa sembarangan membius pasien. UU No. 29 Tahun 2004 memuat sanksi pidana dan denda kepada siapapun yang menjalankan praktek kedokteran tetapi sebenarnya tidak berwenang. Ancaman itu menghantui para perawat anestesia.

Oleh:
CRA
Bacaan 2 Menit
Perawat Minta Payung Hukum Tindakan <i>Anestesia</i>
Hukumonline

Selanjutnya, pasal 77 menegaskan bahwa Setiap orang dengan sengaja menggunakan identitas berupa gelar atau bentuk lain yang menimbulkan kesan bagi masyarakat seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi dokter atau surat tanda registrasi dokter gigi dan/atau surat izin praktik sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 73 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak Rp150 juta.

Menurut Mustafa Usman, kedua pasal tadi menjadi sumber ketakutan perawat anestesi dalam menjalankan prakteknya. Untuk itulah mereka meminta Menteri Kesehatan menerbitkan payung hukum, minimal dalam bentuk Peraturan Menteri.

Saat ini aturan yang masih dipakai oleh Perawat Anestesi adalah Standar Pelayanan Anestesi Reanimasi di Rumah Sakit. Buku standar Departemen Kesehatan tersebut dikeluarkan pada tahun 1999. Memang, kata Mustafa, buku ini masih relevan untuk dipakai saat ini. Tetapi buku tersebut harus ditingkatkan menjadi Peraturan Menteri Kesehatan. Karena menurut UU No 10 Tahun 2004, Peraturan Menteri termasuk kategori peraturan perundang-undangan.

Ketidakadaan peraturan perundang-undangan yang diminta oleh pasal 73 UU Praktek Kedokteran sebenarnya menjadi dilemma bagi perawat anestesi, di daerah khususnya. Di satu sisi, Perawat Anestesi harus melakukan tindakan medis sendiri karena tidak ada dokter anestesi. Namun di sisi lain, dapat dikenai sanksi pidana atau denda.

Harus didampingi dokter

Pendapat berbeda disampaikan Sekretaris Jenderal Ikatan Dokter Anestesi Indonesia (IDSAI) Bambang Tutuko. Menurut dia, yang harus melakukan tindakan medis adalah dokter. Pengertian dokter di sini tidak hanya terbatas pada dokter anestesi saja tetapi mencakup dokter secara umum, terutama dalam keadaan darurat.

Jika melakukan tindakan kedokteran, perawat anestesia harus didampingi dokter atau perawat tersebut mendapat pelimpahan tugas dari dokter. Karena yang harus melakukan tindakan kedokteran harus orang yang berkompeten, ujar dokter yang ikut mengajukan judicial review UU No. 29 Tahun 2004 ini.

Bambang Tutuko menyadari dengan keterbatasan jumlah dokter anestesi di Indonesia. Meski jumlah dokter anestesia kurang, tindakan pembiusan (anestesi)  terkait erat dengan tindakan pembedahan. Dalam proses pembedahan mustahil tidak ada dokter bedah atau dokter lainnya.

Sehingga dalam kondisi darurat pun, dalam hal tidak ada dokter anestesi, dokter lain yang melakukan pembedahan dapat melimpahkan kewenangannya kepada perawat anestesi. Jadi intinya, perawat anestesi tidak boleh melakukan tindakan anestesi seorang diri. Ia merujuk pada pasal 77 UU Praktek Kedokteran.

Bambang menilai permintaan IPAI atas payung hukum anestesia, sebagai usaha membuat perawat anestesi menjadi mandiri. Bambang mengingatkan bahwa yang harus didahulukan adalah kepentingan publik, bukan kepentingan golongan baik IDSAI maupun IPAI. Oleh sebab itu, Permenkes –kalaupun kelak diterbitkan— tidak boleh merugikan banyak pihak, apalagi pasien.

Untuk mengantisipasi resiko yuridis yang muncul, Ikatan Perawat Anestesia Indonesia (IPAI) meminta Menteri Kesehatan menerbitkan payung hukum kepada mereka dalam melakukan tindakan medis anestesia, atau yang lazim dikenal sebagai pembiusan. Permintaan itu merupakan salah satu rekomendasi Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) IPAI di Jakarta yang berakhir 8 April lalu.

Ketua Umum IPAI Mustafa Usman mengatakan rekomendasi tersebut merupakan upaya para perawat anestesia untuk mendapatkan legalitas praktek perawatan dan tindakan medis anestesia. Para perawat khawatir tindakan mereka bisa diseret ke jalur hukum. Faktanya, sudah ada perawat yang berurusan dengan aparat penegak hukum gara-gara melakukan tindakan anestesia.

Misalnya yang terjadi di Batam. Seorang perawat anestesi melakukan pembiusan terhadap seorang ibu yang akan melahirkan. Selang lima jam kemudian, bayi yang baru dilahirkan meninggal dunia. Perawat tersebut dilaporkan pengacara korban karena diduga telah melakukan tindakan yang ilegal.

Walaupun pada akhirnya, perawat tersebut tidak sampai terkena sanksi pidana atau denda, kata Mustafa, tetapi tetap saja kejadian ini menimbulkan kekhawatiran bagi perawat anestesi di Indonesia. Sebagai catatan, tindakan perawat tersebut memang tidak dilakukan dengan didampingi oleh dokter anestesi, karena keterbatasan dokter anestesi di daerah. Bila payung hukum tidak dibuatkan, kalangan perawat khawatir akan dijerat UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran.

Pasal 73 UU ini tegas menyebutkan : Setiap orang dilarang menggunakan identitas berupa gelar atau bentuk lain yang menimbulkan kesan bagi masyarakat seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang memiliki surat tanda registrasi dan/atau surat izin praktik. Ketentuan dimaksud tidak berlaku bagi tenaga kesehatan yang diberi kewenangan oleh Peraturan Perundang-undangan.

Tags: