Hakim Gunakan Ajaran Melawan Hukum Materiil
Korupsi Dana TWP TNI AD:

Hakim Gunakan Ajaran Melawan Hukum Materiil

Meski sudah dibatalkan Mahkamah Kontitusi, majelis hakim masih menggunakan ajaran melawan hukum materil dalam menjatuhkan vonis kepada para terdakwa.

Oleh:
IHW
Bacaan 2 Menit
Hakim Gunakan Ajaran Melawan Hukum Materiil
Hukumonline

 

Khusus mengenai perkara korupsi, majelis hakim berpendapat ajaran melawan hukum materil harus diterapkan. Salah satu alasannya agar pembuktian perkaranya menjadi lebih mudah. Yurisprudensi MA RI tanggal 28 Desember 1983 untuk pertama kalinya menyatakan bahwa tindak pidana korupsi secara materil bersifat melawan hukum. Karena perbuatan korupsi adalah perbuatan yang tercela, tidak patut dan melukai perasaan masyarakat banyak,

 

Dikaitkan dalam perkara ini, majelis hakim menilai tindakan pembelian surat berharga oil bond production milik Dedy Budiman Garna oleh Ngadimin dan Samuel Kristianto, tanpa terlebih dulu melaporkan kepada Kasad maupun Asisten Personil Kasad merupakan sebuah perbuatan melawan hukum.

 

Firman Wijaya, salah seorang penasehat hukum terdakwa, selepas persidangan menyatakan kekecewaannya kepada putusan majelis hakim yang masih menggunakan ajaran melawan hukum materil. Mungkin nanti akan kita jadikan salah satu alasan dalam mengajukan banding, tegas Firman.

 

Firman menilai putusan majelis hakim yang menggunakan materielle wederechtelijkheid tidaklah konsisten. Kalau hakim konsisten, seharusnya dilihat juga dari sisi pertanggungjawabannya. Karena jika menggunakan kacamata nilai-nilai masyarakat, seharusnya si pembuat kebijakan yang mesti  bertanggung jawab, bukan para terdakwa, papar Firman.

 

 

Sedangkan mengenai unsur keuangan negara. Majelis hakim tidak sependepat dengan keterangan Arifin P Soeria Atmadja, ahli yang dihadirkan tim penasehat hukum. Majelis hakim tidak sependapat dengan pernyataan ahli yang menyatakan dana tabungan wajib perwira tersebut bukanlah keuangan negara, kata Soedarmadji. Sebaliknya, Soedarmadji malah menilai bahwa dana tabungan wajib perumahan (TWP) TNI AD tersebut adalah bagian dari keuangan negara. Karena BPTWP yang mengelola  dana TWP, menggunakan fasilitas dan organisasi negara. Sehingga harta kekayaannya telah bercampur dengan keuangan negara, Soedarmadji berujar. Oleh karenanya, tindakan pencairan dana TWP oleh Ngadimin dan Samuel Kristianto sudah dapat dikategorikan merugikan keuangan negara.

 

Lebih tinggi dari tuntutan JPU

Vonis yang dijatuhkan hakim kepada para terdakwa memang lebih berat dari tuntutan JPU. Lama hukuman penjara yang dijatuhkan masing-masing adalah Ngadimin selama 9 tahun, Samuel Kristianto selama 10 tahun, sedangkan bagi Dedy Budiman Garna selama 13 tahun. Ketiganya juga diharuskan membayar denda masing-masing sebesar Rp200 juta subsidair 6 bulan kurungan.

 

Lazimnya perkara korupsi, para terdakwa juga diwajibkan membayar uang pengganti untuk mengganti kerugian negara yang besarnya masing-masing adalah, Ngadimin sebesar Rp8,5 milyar, Samuel Rp15 milyar dan Dedy sebesar Rp42,8 milyar.

 

Mengenai lebih beratnya vonis dari pada tuntutan, hakim berpendapat, selain merugikan keuangan negara, aktivitas TNI AD pun menjadi terhambat akibat ulah para terdakwa. Hilangnya uang negara sebesar Rp100 milyar oleh para terdakwa menyebabkan pengadaan rumah bagi sedikitnya 1000 orang perwira TNI AD menjadi terbengkalai, urai (Mayor) Budi Purnomo, anggota majelis hakim koneksitas yang berasal dari militer.

 

Sedangkan mengenai perbedaan hukuman yang ditimpakan kepada para terdakwa, dikarenakan masing-masing terdakwa memiliki kualitas peran yang berbeda-beda. Ngadimin misalnya, ia dinilai lemah dalam mengartikan dedikasi dan loyalitas sebagai prajurit. Sementara Samuel dianggap sebagai aktor intelektual sebagai pencetus ide pencairan dana TWP. Sedangkan Dedy Budiman Garna yang paling berat mendapatkan hukuman, tak lain karena statusnya sebagai residivis yang sedang menjalani hukuman penjara dalam perkara lain.

 

Cerita kasus ini bermula ketika Yayasan Mahaneim yang dimiliki Samuel Kristanto menawarkan BPTWP TNI AD bekerja sama untuk menyimpan dana pendamping sebesar Rp100 milyar. Ketika itu, Samuel berjanji akan mengucurkan bantuan dana asing untuk pembangunan perumahan bagi prajurit asal disediakan dana pendamping.

 

Singkat cerita, bantuan dana yang dijanjikan Samuel tak kunjung didapatkan, dana pendamping yang berada di Bank malah raib. Dari jumlah dana pendamping sebesar Rp100 milyar, Rp42,8 milyar ditransfer kepada Dedy untuk pembelian surat berharga Oil Production Bond milik Dedy, AS$3 juta ditransfer ke Rafael Harry Wong, rekan Samuel yang juga menjanjikan dapat mencarikan bantuan dana asing, yang hingga kini tak diketahui keberadaannya. Selebihnya digunakan untuk keperluan diri Samuel dan Ngadimin.

 

Wajah ketiganya  tertunduk lesu usai dibacakannya putusan hakim. Wajar saja karena ternyata isi putusan hakim tak lain adalah memvonis bersalah dan karenanya menjatuhkan hukuman kepada  ketiga terdakwa tersebut.  Ketiga orang itu adalah (Kolonel) Ngadimin, Samuel Kristianto dan Dedy Budiman Garna yang harus bersiap menjalani masa hukuman di balik bui. Sebagaimana diketahui, mereka bertiga adalah terdakwa korupsi dana Tabungan Wajib Perumahan (TWP) TNI AD yang merugikan negara hingga Rp100 milyar.

 

Majelis hakim koneksitas, Selasa (1/5), menyatakan para terdakwa secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama sebagaimana terdapat dalam dakwaan primair. Melanggar Pasal 2 Ayat (1) jo. Pasal 18 jo. Pasal 39 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP, kata Soedarmadji, hakim ketua.

 

Menjadi menarik adalah ketika majelis hakim  menguraikan satu persatu unsur dari pasal yang dinyatakan dilanggar oleh para terdakwa. Salah satunya ketika hakim membahas unsur 'melawan hukum materil' dalam perkara ini. Meski sudah dibatalkan Mahkamah Kontitusi (MK), namun majelis hakim masih menggunakannya untuk menjatuhkan hukuman kepada para terdakwa.

 

Pada bagian pertimbangan hukumnya, majelis hakim mengacu pada, Putusan Mahkamah Agung (MA) RI No 2065/K/Pid/2006 tanggal 12 Desember 2006, dan putusan MA No 207/K/Pid/2007  tanggal 28 April 2007 yang masih menggunakan ajaran melawan hukum materil, meski MK sudah membatalkannya. Dimana pada dua yurisprudensi tersebut ditegaskan bahwa seyogianya hakim mendasarkan putusannya pada kesadaran hukum dan penegakkan hukum pada saat putusan terhadap perkara tersebut dijatuhkan ungkap Soedarmadji.

 

Selain itu, Soedarmadji menambahkan, hakim juga harus memperhatikan ketentuan Pasal 28 Ayat (1) UU No 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan bahwa hakim  wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai keadilan dan hukum yang hidup dalam masyarakat. Hal tersebut harus dilakukan karena selain sering menunjukkan kekurangan, undang-undang (sebagai salah satu sumber hukum) ternyata juga sering tidak jelas. Oleh karena itu, hakim diberikan kewenangan untuk menetapkan arti dari undang-undang itu.

Tags: