Melebihi Batas Maksimum, Tanah Seorang Petani Disita Pengadilan
Berita

Melebihi Batas Maksimum, Tanah Seorang Petani Disita Pengadilan

Undang-Undang yang menjadi dasar penyitaan dimohonkan judicial review.

Oleh:
CRA
Bacaan 2 Menit
Melebihi Batas Maksimum, Tanah Seorang Petani Disita Pengadilan
Hukumonline

 

Yusri mengakui terus terang bahwa ayahnya tidak melakukan banding atas putusan PN Subang. Namun setelah sang ayah wafat, Yusri melakukan upaya peninjauan kembali, namun ditolak Mahkamah Agung. Gagal di MA, kini Yusri mencoba mengadu nasib di Mahkamah Konstitusi. Kerugian konstitusional saya dirugikan oleh pasal pembatasan luas lahan pertanian itu, ujarnya. Ia menunjuk pasal 28H ayat (4) UUD 1945 sebagai rujukan, dimana disebutkan bahwa Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun.

 

Terkait hak konstitusional yang dimaksud Yusri, salah satu panel hakim, Soedarsono mempertanyakan bahwa sebenarnya apa yang membuat pemohon merasakan dirugikan. Yusri kemudian menjawab bahwa kerugiannya adalah perampasan tanah orang tuanya oleh pemerintah (pengadilan) tanpa ganti rugi.

 

Hal ini membuat Soedarsono berkesimpulan bahwa sebenarnya yang dirugikan oleh pemohon adalah hak materil atau kebendaannya, bukan hak konstitusonalnya. Kalau hanya masalah ganti rugi sebaiknya anda ke pengadilan negeri saja, karena ini bukan keugian konstitusional, ujarnya.

 

Soedarsono menyatakan bahwa dia sangat memahami kesusahan yang dihadapi pemohon. Mudah-mudahan nanti ada pengacara yang membantu secara cuma-cuma. Sebenarnya perkara ini sangat menarik, tetapi saya tidak bisa menyarankan lebih lanjut, ujarnya.

 

Sedangkan hakim Mukthie Fadjar menyarankan untuk mempertajam kembali permohonan. Mukhtie mencontohkan dalam UUD 1945, semua hak milik tidak boleh diambil atau dibatasi tanpa ganti rugi. Namun undang-undang menentukan mengambil hak orang lain tanpa ganti rugi. Yang diperoalkan adalah undang-undang, bukan mempersoalkan putusan pengadilan negeri Subang yang menghukum almarhum ayahnya.

 

Ketua Panel Hakim, Maruarar Siahaan mengaku bahwa permohonan terhadap UU PLTP ini cukup menarik. Apalagi bila pemohon juga mempersoalkan batas kepemilikan maksimum. Selain ketentuan ganti rugi, mungkin pembatasan batas maksimum dapat dipersoalkan, sarannya. Saran yang menarik, karena selama ini perdebatan akademis terkait pembatasan luas lahan pertanian dan ketentuan landreform masih terus terjadi. Bahkan sebagian kalangan sempat menuduh bahwa UU yang mengatur tentang Landreform merupakan konsepsi komunis, yang kemudian dibantah oleh Boedi Harsono dalam bukunya Hukum Agraria Indonesia. Kini, MK diminta menguji apakah ketentuan tersebut bertentangan dengan UUD atau tidak.

 

Jumlah penduduk terus bertambah, sementara lahan yang tersedia bersifat tetap. Untuk mengatasinya dibuat batasan maksimum kepemilikan tanah. Salah satu payung hukum pembatasan itu adalah Undang-Undang No. 56/Prp/1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian. Kebijakan pembatasan ini diambil pada penghujung 1960 dimasa kepemimpinan Soekarno.

 

Menurut UU Pokok Agraria, pemilikan dan penguasaan tanah melampaui batas tidak diperkenankan. Pasal 17 memerintahkan agar pembatasan tersebut diatur. Maka, lahirlah Perppu No. 56 Tahun 1960 yang kemudian disahkan menjadi undang-undang. Berdasarkan ketentuan ini, seseorang  atau satu keluarga hanya diperbolehkan menguasai tanah pertanian maksimum 20 hektare, tanpa melihat apakah merupakan sawah atau tanah kering. Kalaupun boleh lebih dari jumlah itu, hanya dapat dibenarkan tambahan 5 hektare atas dasar keadaan daerah yang sangat khusus.

 

Orang atau keluarga yang memiliki lahan melebihi batas 20 hektare harus melapor ke badan pertanahan/agraria. Perpindahan hak atas tanah pertanian tersebut harus seizing badan pertanahan setempat. Jumlah yang dipindahkan haknya pun tak boleh lebih dari 20 hektare. Kalau dalam pengalihan itu terjadi tindak pidana, maka sesuai ketentuan pasal 10 ayat (3) dan (4) UU No. 56/Prp/1960, pengalihan itu batal demi hukum. Konsekwensinya, tanah tersebut jatuh kepada negara.  

 

Ketentuan ini rupanya menimpa keluarga Yusri Ardisoma. Tanah warisan orang tuanya, almarhum Dukrim, seluas 277.647 hektare dirampas untuk negara. Perkara ini sudah lama terjadi, namun tidak dijelaskan bagaimana awal muasal perkara sehingga urusan tanah itu masuk pengadilan. Yang pasti, perampasan tanah warisan tersebut didasarkan pada putusan Pengadilan Negeri Subang. Jaksa mengeksekusi lahan pertanian tersebut pada 13 September 1979. Dasarnya, ya itu tadi, pembatasan luas lahan pertanian.

 

Merasa dirugikan hak-haknya akibat pembatasan tadi, Yusril selaku ahli waris Durkim mempersoalkan. Ia melayangkan permohonan pengujian pasal 10 ayat (3) dan ayat (4) UU No. 56/Prp/1960.  Sidang perdana atas permohonan itu sudah digelar Kamis (10/5) kemarin dengan agenda pemeriksaan pendahuluan.

Halaman Selanjutnya:
Tags: