Wewenang Judicial Review Harusnya Satu Atap
Berita

Wewenang Judicial Review Harusnya Satu Atap

Juru Bicara Mahkamah Agung mendukung karena akan mengurangi beban tugas MA.

Oleh:
CRA
Bacaan 2 Menit
Wewenang Judicial Review Harusnya Satu Atap
Hukumonline

 

Jubir MA ini juga menjelaskan bahwa bila kasus sengketa Pilkada diselesaikan oleh MK, justru akan mengurangi beban MA. Saya tidak mendukung dan juga tidak berkeberatan, jadi terserahlah. Itukan harus melalui amandemen kelima, ujarnya. Sekarang kan ada dua pendapat. Pertama, kewenangan MK perlu dikurangi. Pendapat yang kedua adalah ingin mengkonsentrasikan masalah yang menyangkut Pemilu di MK, ungkapnya.

 

Beberapa waktu yang lalu, Ketua MK Prof. Jimly Asshiddiqie mengungkapkan bahwa Pilkada sudah masuk ke dalam rezim Pemilu. UU Penyelenggara Pemilu telah mendefinisikan Pilkada termasuk dalam Pemilu, Ucap Prof Jimly Asshiddiqie di sela-sela Temu Wicara Pengkajian Konstitusi dan Hukum Acara Mahkamah Konstitusi bersama Pimpinan Pusat Muhammadiyah, di Jakarta.

 

Jimly menjelaskan bahwa dengan masuknya Pilkada ke dalam rezim Pemilu tidak otomatis sengketa pilkada dapat diselesaikan di MK. Tetapi sudah bisa diarahkan kesitu suatu hari, ujarnya. Jimly menambahkan Untuk membuat sengketa pilkada dapat diselesaikan di MK, harus mengubah UU Pemilu terlebih dahulu. Karena dalam UU Pemilu, penyelesaian sengketa pilkada masih menjadi kewenangan MA.

 

Menurut Jimly, masuknya Pilkada ke dalam rezim pemilu berdasarkan UU Penyelenggaraan Pemilu, tidak melaui amandemen UUD bukan merupakan tindakan yang inkonstitusional. Guru Besar Hukum Tata Negara ini meminta untuk menafsirkan konstitusi secara keseluruhan. Masuknya Pilkada ke dalam Rezim Pemda, karena pada amandemen UUD 1945 Perubahan Kedua tahun 2000, belum terpikir untuk mengadakan pemilihan presiden secara langsung yang baru muncul pada perubahan ketiga tahun 2001.

 

Bila kita menafsirkannya secara letter lijk maka Pilkada masuk ke dalam rezim Pemda. Namun bila kita menafsirkannya melalui spirit dari konstitusi maka seharusnya Pilkada masuk ke dalam rezim Pemilu, sebagaimana perluasan rezim Pemilu dalam Pasal 22E UUD 1945.  Kedua-duanya tidak salah.

 

Djoko tidak sependapat dengan Jimly bila hanya mengubah UU Pemilu saja untuk membuat sengketa Pilkada dapat diselesaikan di MK.  Sekarang kalau mau ke bawah (UU), aturan yg di atas (UUD) harus diubah dulu. MK itu kan menjaga agar UU itu tidak bertentangan dengan dengan konstitusi, ujarnya. 

 

Senada dengan Djoko, Denny berpendapat bahwa cara yang dapat dilakukan agar sengketa pilkada dapat diselesaikan oleh MK adalah harus dengan amandemen UUD 1945. Sengketa pilkada disatu atapkan di MK sebagai penegasan bahwa pilkada merupakan bagian dari masalah ketatanegaraan. Jadi sengketa pilkada diselesaikan sebagai sengketa hasil pemilu, sekaligus menambah kuat pilkada adalah rezim pemilu bukan rezim pemda, jelasnya.

 

Constitutional complaint

Disamping dua kewenangan tersebut (semua jenis judicial review dan sengketa pilkada) yang diusulkan agar dipegang MK, Denny menyarankan agar MK juga memegang kewenangan terkait constitutional complaint.

 

Constitutional complaint adalah hak para pemohon untuk memperjuangkan hak-hak dasar yang dimilikinya yang diciderai oleh tindakan negara. Contohnya bila Ahmadiyah merasa hak dasar dia dalam menjalankan kebebasan beragama (pasal 29 UUD) kemudian dilanggar, maka dia dapat melakukan constitusional complaint. Begitu juga bila majalah playboy merasa hak mengeluarkan pendapat secara lisan maupun tertulis seperti yang dijamin pasal 28 UUD diberangus dengn cara-cara yg tidak betul.

 

Jadi, constitutional complaint merupakan metode untuk memperjuangkan agar hak-hak dasar negara seseorang tidak terciderai. Itu memang yang belum ada sampai saat ini di Indonesia, ujarnya. Denny menjelaskan bahwa prosesnya sama dengan mengajukan permohonan pengujian UU. Tapi ini khusus untuk mengatakan, misalnya betulkah larangan pemerintah, pemda, ulama, ormas yang mengharamkan atau melarang Ahmadiyah atau keberadaan playboy, jelasnya. Nanti MK yang memutuskan bahwa larangan/tindakan tersebut bertentangan dgn konstitusi atau tidak.

 

Menurut Denny, constitutional complaint memang suatu hal yang sangat mendasar. Jadi hak-hak dasar itu sekarang memang ada, tetapi bila dilanggar kita tidak tahu bagaimana cara memperjuangkannya, ujarnya. Bila di Jerman, constitutional complaint justru lebih dinamis dibandingkan dengan pengujian UU. Di sana lebih banyak perkara mengenai constitutional complaint daripada pengujian UU, ungkapnya.

 

Namun, Denny mengakui bila ingin benar-benar diterapkan di Indonesia, perlu disusun hukum acara yang jelas dan lengkap. Contohnya adalah apakah yang melanggar hak dasar seseorang tersebut harus negara atau pemerintah saja yang bisa diajukan constitutional complaint.

 

Djoko Sarwoko mengaku bahwa dengan adanya usulan-usulan yang menguatkan MK ada usaha yang mengarahkan MK menjadi lembaga yang super (superbody). Saya tidak mempermasalahkan hal tersebut, tergantung bagaimana konstruksi mengenai pemisahan kekuasaan terhadap kekuasaan eksekutif, yudikatif dan legislatif yang harus diperjelas, ujarnya.

 

Sedangkan Denny menganggap usulan tersebut tidak membuat MK akan menjadi superbody. Kita membutuhkan MK yang memang mengawal UUD sebagai hukum dasar paling kuat. Jadi menurut saya MK harus direvitalisasi bukan malah dilemahkan. Tapi disisi lain pengawasan terhadap hakim konstitusi juga harus diperketat, jelasnya.

 

Sejumlah akademisi dan pengamat hukum tata negara mengusulkan agar wewenang pengujian peraturan perundang-undangan berada di satu tangan. Mahkamah Konstitusi adalah lembaga yang dipilih. Selama ini wewenang pengujian peraturan di bawah undang-undang berada di tangan Mahkamah Agung. Agar tidak terjadi tumpang tindih dan kesemrawutan, sebaiknya pengujian berada di satu lembaga saja.

 

Usulan ini merupakan salah satu poin penting yang dihasilkan dalam pertemuan para pengajar dan pengamat hukum tata negara di Bukit Tinggi, Sumatera Barat pada 11-13 Mei lalu. Menurut Denny Indrayana, pengajar Universitas Gadjah Mada, sebenarnya dalam kerangka besar pertemuan itu mengusulkan amandemen UUD 1945. Usulan pengujian peraturan di tangan satu lembaga hanya salah satu poin yang disimpulkan. Selain pengujian peraturan, wewenang menyelesaikan sengketa pemilihan umum (pemilu) dan pemilihan kepala daerah (pilkada) pun sebaiknya diserahkan ke satu lembaga, yakni Mahkamah Konstitusi (MK).

 

Menurut Denny, usulan pemberlakuan satu atap pengajuan judicial review ini di MK untuk menegaskan bahwa MK adalah court of law, dan MA adalah court of justice. Judicial review itu termasuk ke dalam ranah court of law, ujarnya.

 

Akademisi Universitas Trisakti Ferry Edwar berpendapat wacana yang mengemuka dalam pertemuan Bukit Tinggi sah-sah saja. Masalahnya apakah nanti kesepakatan politik sama dengan pendapat para ahli tersebut. Yang menjadi pertanyaan, argumentasinya apa yang membuat semua jenis judicial review harus diselesaikan di MK. Sudah dipikirkan belum secara matang, ungkap Wakil Dekan III FH Universitas Trisakti ini. Edwar tidak ikut dalam pertemuan tersebut.

 

Pilkada masuk rezim pemilu

Terkait usulan bahwa penyelesaian sengketa pilkada dilakukan di MK, bukan di MA seperti yang diatur dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, salah seorang hakim agung Djoko Sarwoko mengaku tidak keberatan dengan usulan tersebut.

Halaman Selanjutnya:
Tags: