Ketentuan HAM dalam UUD Dikunci oleh Pasal 28J
Berita

Ketentuan HAM dalam UUD Dikunci oleh Pasal 28J

Kalaupun ada, pembatasan HAM tidak mencakup Pasal 28I karena bersumber dari konvensi yang mengatur non-derogable rights.

Oleh:
CRA
Bacaan 2 Menit
Ketentuan HAM dalam UUD Dikunci oleh Pasal 28J
Hukumonline

 

Ia menambahkan berangkat dari lahirnya TAP ini, diterbitkannyalah UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM. Dalam UU ini dinyatakan beberapa hal yang substansinya senafas dengan TAP No. 17 tersebut, ujarnya. Jadi, lahirnya pasal-pasal dalam bab tentang HAM dalam UUD dilatarbelakangi lahirnya TAP 17 dan UU HAM, ungkapnya.

 

Tetapi pelaksanaan HAM dalam UUD tidak boleh terpisah dengan ketentuan pembatasan HAM yang terdapat dalam Pasal 28J. Patrialis Akbar berpendapat pasal-pasal mengenai HAM dalam UUD telah ‘dikunci' oleh Pasal 28J tersebut. Maksudnya, ketentuan-ketentuan soal HAM dari Pasal 28A sampai 28I telah dibatasi oleh Pasal 28J.

 

Pembatasan dalam Pasal 28J ini sesungguhnya sejalan denngan semangat yang mendasari TAP No. 17 dan UU HAM bahwa HAM yang dianut Indonesia selama ini adalah HAM yang bukan sebebas-bebasnya. Tetapi HAM yang dimungkinkan untuk dibatasi sejauh pembatasannya ditetapkan dengan UU, ujar Lukman Hakim. Pasal 28J sengaja ditempatkan diakhir bab yang mengatur tentang HAM dalam UUD, karena Pasal 28J merupakan kewajiban asasi manusia, tambahnya.

 

Hakim Konstitusi Laica Marzuki mempertanyakan kepada saksi ahli apakah bisa dibenarkan suatu hak konstitusional dapat dikesampingkan oleh UU. Pembatasan dilakukan dengan UU, sedangkan yang dibatasi adalah constitutional rights (seperti Pasal 28I), ujarnya.

 

Patrialis Akbar mengatakan bahwa ketentuan Pasal 28J yang menyebutkan pembatasan harus dengan UU, bukan suatu upaya membuat UU mengenyampingkan UUD. Ketentuan Pasal 28J tersebut merupakan sebuah perintah kepada UU mengesampingkan UUD. Jadi yang mengesampingkan adalah UUD itu sendiri, ujarnya.

 

Sementara itu, kuasa hukum pemohon Alexander Lay menyatakan bahwa ia setuju dengan adanya pembatasan. Tetapi menurutnya, pembatasan yang ditentukan dalam Pasal 28J tersebut tidak untuk membatasi Pasal 28I. Pasal 28J hanya membatasi Pasal 28A sampai Pasal 28H, ujarnya.

Pasal 28I

(1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak

    beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan

    hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak

    asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.

 

Pasal 28J

(1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan

    bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

(2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada

    pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk

    menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk

    memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama,

    keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.

 

Menurut Alexander, Pasal 28J adalah kunci upaya untuk menafsirkan secara sistematis. Penafsiran sistematis sendiri terdapat dua versi, ungkapnya. Pertama bahwa Pasal 28J membatasi semua Pasal dalam Bab mengenai HAM (Bab XA) dalam UUD, termasuk dalam Pasal 28I, ujarnya.

 

Sedangkan versi yang kedua menurutnya, menyatakan bahwa Bab XA UUD (di luar Pasal 28I)  tersebut mengatur HAM secara umum. Pasal 28J ayat (2) membatasi secara umum, tetapi ada norma khusus yang tidak bisa dibatasi, yaitu Pasal 28I. Pasal 28I tersebut mencantumkan 7 hak secara khusus, tetapi menjadi janggal bila dibatasi dengan ketentuan yang umum, ujarnya.   

 

Alexander mengungkapkan bahwa tujuh hak yang terdapat dalam Pasal 28I ayat (1) hampir sama dengan non derogable- rights (hak yang tak dapat dikurangi dalam keadaan apapun, red) yang terdapat dalam Pasal 4 ayat (2) ICCPR, bedanya ICCPR mengatur delapan macam hak. Jadi kita dapat mengatakan bahwa sebenarnya Pasal 28I ayat (1) bersumber dari Pasal 2 ayat (2) ICCPR yang mengatur non derogable rights, ujarnya.

 

Sidang permohonan uji materi UU Narkotika mengenai hukuman mati semakin memanas. Sidang dengan agenda keterangan mantan Anggota PAH I BP MPR, yang diwakili oleh Patrialis Akbar dan Lukman Hakim Saifuddin, kemarin (23/5) lebih fokus pada ketentuan hukuman mati secara umum. Pada awal sidang Ketua Pleno Hakim, Jimly Asshiddiqie mengatakan,Saat ini kita fokus pada hukuman mati. Keterangan tentang narkotika sudah cukup pada sidang yang lalu.

 

Lukman Hakim menceritakan kronologis dimasukannya 10 Pasal baru yang mengatur tentang HAM dalam  amandemen kedua UUD 1945. Lahirnya pasal-pasal itu diawali terbitnya TAP MPR No. 17 Tahun 1998 pada awal reformasi. TAP MPR yang terdiri dari 7 pasal ini memuat dua hal yang mendasar. Kedua hal tersebut adalah pandangan dan sikap bangsa Indonesia terhadap HAM dan berkaitan dengan piagam HAM itu sendiri.

 

Dalam TAP tersebut dapat diketahui bahwa pandangan bangsa Indonesia tentang HAM adalah adanya penegasan kewajiban asasi manusia adalah bagian yang melekat bagi diri manusia disamping HAM itu sendiri, ujarnya. Yang dimaksud kewajiban asasi manusia adalah kewajiban untuk menghormati HAM orang lain.

Tags: