Hukum tak Mampu Hilangkan Homophobia
Berita

Hukum tak Mampu Hilangkan Homophobia

Masyarakat masih gemar melecehkan. Payung hukum tidak bisa diandalkan. Agama juga dituding melanggengkan homophobia.

Oleh:
Her
Bacaan 2 Menit
Hukum tak Mampu Hilangkan Homophobia
Hukumonline

 

Rido mencontohkan Perda Kota Palembang No. 2 tahun 2004 tentang Pemberantasan Pelacuran. Pasal 8 Perda tersebut menyatakan bahwa homoseks, lesbian, sodomi, dan pelecehan seksual termasuk dalam perbuatan pelacuran. Jelas bahwa Pemda kota Palembang tidak mengerti tentang azas hukum yang berlaku di Indonesia, tandas Rido.

 

Sebetulnya, lanjut Rido, kelompok LGBT punya payung hukum yang lebih kuat. Payung hukum tertinggi adalah UUD 1945 sebagai konstitusi. Selain itu terdapat UU NO. 39 Tahun 1999 tentang HAM dan beberapa kovenan internasional yang dengan jelas menyatakan bahwa semua orang memiliki hak yang sama dan negara berkewajiban memenuhi dan melindungi HAM.

 

Meski di atas kertas sudah mendapatkan jaminan dari negara, toh LGBT masih menuai perlakuan yang sewenang-wenang. Komnas HAM punya rekaman nasib apes yang dialami LGBT. Mereka mengalami LGBT di mana-mana. Mulai dari lingkup keluarga, masyarakat, pemerintah maupun aparat keamanan, ungkap anggota Komnas HAM Taheri Noor.

 

Di lingkup keluarga, diskriminasi yang paling kentara adalah ketika mereka dipaksa untuk kawin sesuai konsep heteroseksual. Sementara di lingkungan pemerintahan, diskriminasi acap kali terjadi saat mereka dipaksa memilih jenis kelamin laki-laki atau perempuan saat mengurus KTP.

 

Yang menyedihkan, diskriminasi yang paling banyak dirasakan LGBT datangnya dari kalangan medis. Mereka sering dilecehkan dengan tindakan medis, ujar Taheri yang juga seorang dokter ini.

 

Taheri pun menyayangkan sikap masyarakat yang masih menganggap tindakan diskriminatif itu sebagai hal yang wajar. Padahal, LGBT mendapatkan perlakuan seperti itu nyaris dari kanak-kanak sampai lanjut usia. Bagi LGBT, hal itu merupakan penderitaan seumur hidup.

 

Dengan hamparan fakta seperti ini, komunitas LGBT beryakinan bahwa payung hukum tak bisa diandalkan untuk melindungi hak asasi mereka. Perangkat hukum itu tidak berarti apa-apa kalau tidak ada kesadaran masyarakat. Maka kami harus terus berjuang menyosialisasikan diri, kata Lenny Sugiharto, seorang waria yang memimpin Yayasan Srikandi Sejati.

 

Mamoto Gultom, Direktur Yayasan Pelangi Kasih Nusantara, bahkan punya pandangan miring terhadap Komnas HAM. Lembaga ini belum memberikan kontribusi yang nyata bagi LGBT. Tapi mau nggak mau, Komnas HAM satu-satunya institusi, ucap seorang gay ini, setengah putus asa.

 

Sikap Agamawan

Soal LGBT, agama kerap dituding sebagai sumber legitimasi untuk melakukan diskriminasi. Tapi tudingan itu ditepis Soffa Ihsan, alumnus pasca sarjana UIN Jakarta. Tergantung pemahaman agamanya seperti apa, kata pengarang buku On the Name of Sex ini.

 

Dalam hukum Islam, kata Soffa, persoalan kelamin memang cukup menyita perhatian ulama. Ulama biasanya memakai istilah khuntsa yang berarti banci atau waria. Istilah ini secara medis disebut hermaprodite. Fiqh (hukum Islam—red) membagi khuntsa ini menjadi dua. Yang pertama khuntsa musykilah, yaitu merujuk pada seseorang yang punya penis dan vagina sekaligus. Yang kedua khuntsa ghoiru musykilah. Kalau sekarang semacam gay, urai Soffa.

 

Kebanyakan ulama ternyata menilai praktik homoseksualitas sebagai hudud (tindak pidana). Hal ini didasarkan pada ayat al-Quran yang mengutuk hubungan sejenis pada jaman Nabi Luth. Dalam perkembangan sejarah, khalifah Abu Bakar bahkan pernah menjatuhkan pidana kepada kaum homoseksual.

 

Tapi ada pendapat lain dari Abu Hanifah bahwa homoseksual bukan termasuk hudud tapi ta'zir. Pelakunya tidak dipidana, tapi diberi penyuluhan. Semacam shock teraphy, kata Soffa.

 

Kalangan Kristen juga tak mau disebut membatasi hak asasi LGBT. Yang mendiskriminasikan LGBT itu berarti masih dogmatis. Pikiran seperti itu perlu direkonstruksi, kata Pendeta Ester Mariani.

 

Ester menyatakan, riwayat tentang homophilia terdapat dalam teologi Kristen. Pernah ada hubungan cinta sejenis antara Daud dan Yonathan. Bahkan ada juga yang antara menantu dan mertua, yaitu Ruth dan Naomi, ucap Sekretaris Persekutuan Wanita Berpendidikan Teologi di Indonesia (Perwari) ini.

 

Karena itulah, Ester mengaku berani melakukan pemberkatan jika ada pasangan LGBT yang ingin menikah. Jadi tak perlu ke Belanda atau Australia, tandasnya. Meski berani, ia tak yakin hal itu bisa terlaksana. Kendalanya lagi-lagi pada persoalan hukum, khususnya mengenai pencatatan perkawinan oleh Kantor Catatan Sipil.

Komunitas Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT) sedunia ternyata punya ‘hari raya'. Mereka telah menetapkan 17 Mei sebagai Hari Internasional Melawan Homophobia.

 

Setahun lalu, tepatnya 26-29 Juli 2006, sebuah konferensi internasional tentang HAM LGBT digelar di Montreal, Kanada. Konferensi itu menghasilkan deklarasi yang berisi rekomendasi agar semua negara dan PBB mengakui dan mempromosikan tanggal 17 Mei untuk dijadikan Hari Internasional Melawan Homophobia. Tanggal 17 Mei dipilih karena pada hari yang sama di tahun 1980 World Health Organization mencabut homoseksualitas dari daftar penyakit mental.

 

Sayang, di Indonesia, perayaan ‘hari raya' bagi kaum homoseks itu sempat ternodai oleh tragedi mutilasi yang menimpa seorang waria di Bogor beberapa waktu lalu. Meski cukup menghebohkan, tapi tragedi itu bukan satu-satunya perlakuan buruk yang menimpa LGBT.

 

Karena itulah, Arus Pelangi—sebuah LSM yang mengadvokasi LGBT—menilai masyarakat masih mengidap homophobia. Homophobia adalah sebuah sikap atau perasaan negatif, tidak suka terhadap gay atau lesbian atau homoseksualitas secara umum, tandas ketua Arus Pelangi Rido Triawan dalam sebuah diskusi di Jakarta, Selasa (29/5).

 

Tragisnya, kata Rido, homophobia itu juga melekat dalam cara berpikir para pengambil kebijakan publik. Sebagai bukti, sejumlah daerah di tanah air memberlakukan Perda diskriminatif untuk mengekang eksistensi para LGBT.

Tags: