Realisasi Hakim Sebagai Pejabat Negara Tidak Mudah
Berita

Realisasi Hakim Sebagai Pejabat Negara Tidak Mudah

Jakarta Hukumonline. Dalam UU No.35 Tahun 1999 hakim ditempatkan sebagai pejabat negara. Namun realisasinya tidak mudah, terutama menyangkut promosi dan penggajian.

Oleh:
Ari/Apr
Bacaan 2 Menit
Realisasi Hakim  Sebagai Pejabat Negara Tidak Mudah
Hukumonline
Menteri Hukum dan Perundang-undangan Yusril Ihza Mahendra mengungkapkan bahwa UU No.35 Tahun 1999 perlu aturan. Namun rancangan aturan pelaksanaanya sulit dibuat. Hal ini terutama dikaitkan dalam UU itu yang menyebutkan bahwa semua hakim adalah pejabat negara. Padahal, kecuali hakim agung, semua hakim di tingkatan di tingkatan pengadilan kam masih perlu penilaian dan promosi, kata Yusril.

Yusril sempat mengemukakan mengenai bagaimana sebaiknya mekanisme rekruitmen hakim-hakim. Kalau memang hakim agung adalah pejabat, nanti bagaimana cara menilainya, dan bagaimana cara kenaikan jenjang kariernya?, tanya Yusril. Pasalnya, pejabat negara tidak bisa dinilai oleh pejabat administrasi.

Jika hakim adalah pejabat negara, pertanyaan lain yang akan muncul adalah bagaimana kedudukan Ketua MA. Apakah Ketua MA tetap menjadi atasannya hakim-hakim? Pasalnya, pejabat negara tidak punya atasan.

Perubahan Pasal 11 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman sebagaimana diubah oleh UU No. 35 Tahun 1999 mengatur bahwa badan-badan peradilan secara organisatoris, administratif, dan finan-sial berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung.

Semula, badan-badan peradilan tersebut secara organisatoris berada di bawah Mahkamah Agung sebagai pengadilan negara tertinggi (Pasal 2 UU No. 14 Tahun 1985), sedangkan secara administratif dan finansial berada di bawah Departemen Kehakiman. Kenyataan itulah yang disinyalir menyebabkan ketidakmandirian hakim sebagai pelaksana badan-badan peradilan tersebut.

Dengan adanya perubahan pasal 11 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1970 itu, kedudukan badan-badan peradilan secara keseluruhan berada di bawah Mahkamah Agung. Akibatnya, perubahan kedudukan badan-badan peradilan itu tentunya mengubah pula kedudukan hakim sebagai pelaksana badan-badan peradilan tersebut.

Dalam kaitannya dengan jabatan hakim, semua hakim memiliki tugas yang sama sebagai pejabat negara, tidak terbatas pada hakim agung saja sebagaimana diatur sebelumnya (Pasal 6 ayat (1) jo Pasal 5 ayat (2) UU No. 14 Tahun 1985). Maka, yang ada hanyalah hakim pada pengadilan tingkat pertama, hakim pada pengadilan tingkat kedua, dan hakim pada tingkat kasasi, yakni hakim pada Mahkamah Agung. Artinya, semua hakim pada tingkat manapun harus menjadi pejabat negara. Sehingga harus ada perbaikan gaji dan fasilitas terhadap seluruh hakim itu.


Pejabat negara

Menurut Oka Mahendra, staf ahli Departemen Hukum dan Perundang-undangan, hakim agung adalah pejabat negara. Ketentuan itu itu diatur dalam UU No. 14/1985 tentang Mahkamah Agung. Bukan dalam UU No. 35/1999 tentang perubahan atas UU No. 14/1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman.

Kalau pejabat negara, sistem rekruitmennya memang berbeda dengan pegawai negeri biasa dan fasilitasnya juga berbeda. Berdasarkan pasal 12 UU No. 2/1986 tentang Peradilan Umum, hakim adalah pejabat yang melaksanakan kekuasaan kehakiman, yaitu pejabat yang mempunyai tugas menerima, memutus, dan menyelesaikan suatu perkara. Definisi hakim tidak berdasarkan status, tetapi berdasarkan fungsi.

Menurut Oka, pendekatan itu cukup tepat. Sekarang masalahnya adalah bagaimana dengan status yang seperti itu, hakim-hakim bisa mandiri. Kemandirian hakim adalah suatu hal yang lebih penting buat saya, ujarnya. Nah, kemandirian hakim itu ada yang disebut kemandirian konstitusional, yaitu kemandirian yang dijamin di dalam konstitusi.

Namun, itu tidak dengan sendirinya menjadikan hakim mandiri, karena konstitusi atau UU itu hanya mengasumsikan saja. Nah dalam prakteknya itu ditentukan oleh kemandirian riil. Apakah dalam keadaan riilnya, hakim itu bisa mandiri tanpa dipengaruhi oleh orang atau kekuasaan lain?.

Perubahan UU 14/1970 menjadi UU 35/1999, sudah memberikan harapan agar hakim tidak lagi berada di dua atap, tetapi menjadi satu atap. Eksekutif tidak lagi mengatur soal-soal administrasi, organisasi dan finansial hakim, tetapi itu semuanya akan ditangani oleh Mahkamah Agung (MA).

Untuk itu MA perlu melakukan persiapan-persiapan untuk menerima pengalihan wewenang untuk soal-soal yang berkaitan dengan organisasi, administrasi, dan finansial para hakim agar rekruitmen hakim lebih baik dari sekarang. Selain itu, pendidikan profesionalnya lebih bagus supaya menjamin agar hakim bisa melakukan tugas-tugas profesinya untuk dapat memenuhi rasa keadilan.

Oka berpendapat bahwa hakim itu bukan teknisi-teknisi hukum, tetapi pejabat-pejabat yang dituntut kreatifitas intelektualnya. Hakim memberikan putusan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang dapat dipertanggungjawabkan, baik secara yuridis maupun doktrin.

Sesuai dengan UU No.35 Dekumdang saat ini tengah melakukan persiapan-persiapan dalam rangka menjadikan hakim satu atap di bawah MA. Persiapan yang pertama-tama dilakukan oleh Depkumdang adalah persiapan perangkat hukum. Selain UU 35/1999, yang perlu diubah adalah UU No. 2/1986 tentang Peradilan Umum dan UU No. 5/1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Selain itu juga telah dilakukan persiapan-persiapan secara teknis administratif, personilnya, peralatannya, dan lain sebagainya
Tags: