Hukum yang Bernurani di Mata Sahetapy
Resensi

Hukum yang Bernurani di Mata Sahetapy

Pandangannya nyaris tidak berubah, meski sudah pensiun sebagai Guru Besar Ilmu Hukum sejak sepuluh tahun lalu. Kata-katanya tegas, lugas dan terkadang menyengat. Yang diserang bukan hanya orang-orang yang ia sebut ‘memperkosa' hukum lewat jabatan, tetapi juga menggadaikan pendapat hukum demi pendapatan.

Oleh:
Mys/M-3
Bacaan 2 Menit
Hukum yang Bernurani di Mata Sahetapy
Hukumonline

 

Peluncuran buku itu bertepatan dengan perayaan ulang tahun ke-75 sang profesor. Sejumlah pengamat hukum memberikan komentar atas buku ini, sekaligus menunjukkan luasnya pergaulan Prof Sahetapy.

 

 

J.E. Sahetapy

… yang Memberi Teladan dan Menjaga Nurani Hukum & Politik

 

Tim Penyusun: Mohammad Saihu Sholihan et al.

Penerbit: Jakarta, Komisi Hukum Nasional RI

Edisi perdana: Juni 2007

Halaman : 367 + XXXII

 

 

Mohamad Sobari menyebut Sahetapy sebagai  orang ‘yang lurus dan idealis hidupnya'. Cukup banyak guru besar ilmu hukum di Indonesia. Tetapi jarang guru besar yang mau turun mendengarkan kaum muda berdiskusi masalah hukum seperti halnya Sahetapy. Ia kerap hadir sebagai peserta di seminar atau diskusi publik, meskipun pembicaranya adalah murid-muridnya. Sahetapy bersedia turun gunung untuk mengamalkan segenap idealisme dan pengetahuannya ke dalam kehidupan riil.

 

JES bukan hanya mengamati tetapi juga menuliskannya. Kalau bicara tanda tedeng aling-aling. Ditulis dengan luas dan harus dibaca tuntas. Sesuai dengan sifatnya yang blak-blakan, JES menyebut para penegak hukum dan politikus, dalam arti luas, sebagai Dr. Jekyll dan Mr. Hyde. Tokoh dari Novel Strange Case of Dr Jekyll and Mr Hyde karya Robert Louis Stevenson yang diterbitkan 1886 ini sering dijadikan frase yang menggambarkan kepribadian ganda; jahat dan baik dalam satu persona. Di muka terlihat baik, sementara di belakang ternyata jahat.

 

Demikian, JES seakan tidak rela hukum disalahkan karena ulah oknum penegak hukum tersebut.  Hukum bukan persona. Kendatipun demikian, rakyat di akar rumput, juga para cendekiawan dan para akademisi yang salah kaprah dalam mengkritisi hukum, Hukum dikatakan tidak adil, koruptif, diskriminasi dsb., padahal yang dimaksud adalah oknum penegak hukum, baik klasik seperti polisi, jaksa, dan hakim, maupun dalam arti yang lebih luas, pengacara oknum birokrat dari yang tertinggi sampai yang terendah.

 

Berangkat dari situ, JES menggarisbawahi fenomena korupsi, kolusi, dan nepotisme yang mengganjal reformasi hukum. Berdasarkan pengamatan JES, di zaman Soeharto, penegakan hukum dijegal oleh UU Subversi. Cahaya reformasi yang diusung Habibie dianggap ilusi semata oleh JES. Lantaran, peraturan perundang-undangan, contohnya UU Korupsi No. 31 Tahun 1999, yang disiapkan dalam masa pemerintahannya berubah menjadi bom waktu.

 

Pujian dilontarkan JES pada Gus Dur. Menurutnya, Gus Dur tadinya memberikan kesan sejuk pada reformasi hukum. Tapi, karena sikapnya yang ceplas ceplos dan dianggap bergaya LSM, Gus Dur dijatuhkan oleh apa yang disebut JES sebagai ‘permufakatan jahat' orang-orang yang tadinya mendukungnya. JES dengan lugas mengumpamakannya laksana drama penghianatan Caesar oleh tangan kanannya, Brutus. Wajah bopeng hukum yang telah dipupuk sejak jaman Soeharto akhirnya tidak terbendung lagi pada masa Megawati.

 

Tidak hanya masalah penegakan hukum, buku JES ini juga memuat analisis hukum mendalam mengenai isu-isu hukum teranyar. Contoh saja, analisisnya mengenai pasal 49 a UU Mahkamah Konstitusi yang menyebutkan hanya UU setelah UUD45 saja yang dapat diuji. JES sampai pada kesimpulan pasal tersebut konyol karena Judicial Review justeru diperintahkan oleh UUD45 tanpa batas waktu. Sementara Pasal I Aturan Peralihan UUD45 sendiri juga tegas menyatakan peraturan perundang-undang masa kolonial tetap berlaku selama belum diganti.

 

Tulisan JES memang menarik, tidak sekedar analisis mendalam yang disusun seperti prosa tapi juga keluasan refensi yang digunakan. Risetnya mencakup sumber-sumber hukum seperti perundang-undangan, data pengamatan valid dari berbagai buku, koran, sampai pidato kepresidenan. Buku-buku yang digunakannya juga tidak hanya buku ilmiah, tengok saja berbagai kutipan dari biografi tokoh-tokoh dunia seperti Gandhi dan John F. Kennedy, dari karya sastra seperti Shakespeare, RL Stevenson dan CS Lewis, serta dari Alkitab.

 

Buku ini teramat penting untuk dilewatkan jika ingin memahami alur pikir JES. Kehadiran orang seperti JES tetap dibutuhkan meskipun dalam penuturan dan penyampaian pikirannya banyak orang tersinggung. Guru Besar Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra dan Guru Besar Ilmu ukum Satjipto Rahardjo pernah menjadi sasaran kritik JES.

 

Menjaga nurani hukum dan politik memang tidak mudah. Harus ada orang yang bersedia melawan arus, sepanjang perlawanan itu diyakini berada pada jalur yang benar. Kehadiran ini sedikit banyaknya menggambarkan pandangan JES dalam konteks perlawanan itu.

 

Sayang, ke-58 artikel yang dihimpun dalam buku ini tidak jelas sumber atau rujukannya. Ini memang kumpulan tulisan JES baik sebelum maupun sesudah reformasi. Alangkah baiknya, jika penyusun atau editor mencantumkan dimana tulisan-tulisan itu pertama kali diterbitkan. Daftar pustaka dan catatan kaki pun nihil. Alhasil, bagi orang yang ingin mengetahui perkembangan pemikiran dan pandangan JES dari masa ke masa lewat buku ini akan sulit membuat kesimpulan. Teramat sayang, karenanya editor buku ini berjumlah dari empat orang. Dengan jumlah editor sebanyak itu dan jumlah tulisan yang dihimpun ‘hanya 58', pekerjaan menjadi terkesan asal jadi.

 

Namun demikian, kehadiran buku ini tetap akan berguna menambah wawasan bagi mereka yang bergelut di bidang hukum dan politik.

 

Itulah sosok yang dipahami banyak orang dari Profesor Jacob Elfinus Sahetapy, atau yang biasa disapa orang J.E. Sahetapy (JES). Lahir di Saparua 6 Juni 1932, selama puluhan tahun Sahetapy menggeluti dunia hukum dan menuangkannya ke dalam tulisan. Ia termasuk sosok sangat kritis melihat dunia hukum di Indonesia. Sudah sejak lama ia merasa gerah dengan bau busuk praktek hukum. Indonesia tak ubahnya laksana rumah sakit jiwa dimana penghuni kebanyakan orang gila.

 

Sejak masih menjadi mahasiswa, saya selalu menggumuli dan merasa prihatin akibat pendidikan ibu saya tentang permasalahan-permasalahan hukum yang diperkosa dan diselewengkan, aku Sahetapy, seperti tergambar dalam buku ‘biografi tulisannya', yang diluncurkan di Jakarta, Rabu (06/6) pekan lalu.

Tags: