Tinjauan Terhadap Surat Kuasa Mutlak
Oleh: Hendra Setiawan Boen

Tinjauan Terhadap Surat Kuasa Mutlak

Salah satu terobosan hukum yang dihasilkan dalam praktek bisnis sehari-hari yang dilakukan adalah keberadaan surat kuasa mutlak, dengan padanan Bahasa Inggrisnya adalah irrevocable power of attorney.

Bacaan 2 Menit
Tinjauan Terhadap Surat Kuasa Mutlak
Hukumonline

 

Dengan pencantuman klausula yang mengabaikan kedua pasal itu, maka pemberi kuasa menjadi tidak dapat lagi menarik kembali kuasanya tanpa kesepakatan pihak penerima kuasa. Dasar pemikiran yang mendukung pengabaian Pasal 1813 jo Pasal 1814 a quo adalah karena hukum perdata memiliki prinsip sebagai hukum pelengkap atau aanvullen recht. Selain itu tentu saja prinsip inti dari semua perjanjian, yaitu pact sunt servanda, asas konsensualisme, dan asas kebebasan berkontrak.

 

Banyak sekali contoh pemberian surat kuasa mutlak, terutama dalam transaksi bisnis. Misalnya untuk pembuatan nominee arrangement antara pihak absolute ownerbeneficiary ownertrustee. Atau dalam hubungan hutang piutang, dimana debitur menjaminkan tanah atau bangunan miliknya untuk diletakan hak tanggungan, sedangkan pihak kreditur merasa belum perlu untuk meletakkan hak tanggungan itu. Lazimnya agar tetap merasa aman kreditur akan meminta kuasa untuk meletakkan hak tanggungan atas tanah dan bangunan debitur yang tidak dapat dicabut kembali.

 

Akan tetapi apakah praktek surat kuasa mutlak ini sebenarnya boleh diterapkan menurut hukum? Sebagai salah satu bentuk lex mercatoria yang sudah menjadi hukum kebiasaan sehari-hari dalam bisnis, seharusnya praktek pembuatan surat kuasa mutlak tidak perlu dipertanyakan lagi. Namun penulis tertarik untuk membahas apakah secara konsepsional pemberi kuasa memang dapat dikekang haknya dari mencabut surat kuasa yang telah dilimpahkannya kepada penerima kuasa.

 

Bunyi Pasal 1972 KUHPer (Engelbrecht 2006) adalah sebagai berikut: Pemberian kuasa ialah suatu persetujuan yang berisikan pemberian kekuasaan kepada orang lain yang menerimanya untuk melaksanakan sesuatu atas nama orang yang memberikan kuasa. Berdasarkan ketentuan itu, maka unsur yang harus ada dalam sebuah pemberian kuasa adalah adanya persetujuan, yang berisi pemberian kekuasaan atau kepada orang lain dimana kekuasaan itu diberikan untuk melaksanakan sesuatu atas nama orang yang memberi kuasa. Dengan tetap berpegangan pada unsur-unsur itu, maka dapat disimpulkan antara pemberi kuasa dan penerima kuasa terjadi hubungan seperti layaknya atasan dan bawahan, karena penerima kuasa harus menjalankan tugas dari pemberi kuasa. Kekuasaan yang dilimpahkan oleh pemberi kuasa-pun juga mutlak berasal dari dirinya. Mustahil pemberi kuasa dapat melimpahkan kekuasaan yang merupakan milik orang lain.

 

Karena kekuasaan pemberi kuasa adalah mutlak, maka dirinya juga memiliki kebebasan penuh untuk mencabut kekuasaan tersebut dari penerima kuasa. Memang masih dimungkinkan pemberi kuasa memperjanjikan untuk tidak menarik kembali kuasa yang telah diberikan. Namun tetap saja praktek semacam ini kedengarannya sangat janggal, karena ada sebuah kekuasaan yang berasal dari pemberi kuasa namun dia tidak diperbolehkan untuk menarik kembali kekuasan tersebut.

 

Lebih lanjut, pencantuman persetujuan dari pemberi kuasa untuk mengabaikan Pasal 1813 jo. Pasal 1814 KUHPerdata menurut penulis adalah praktek yang sangat aneh bin ajaib. Memang benar sebagai hukum pelengkap, maka ada beberapa pasal dalam KUHPer yang dapat diabaikan. Namun penyimpangan itu hanya berlaku untuk pasal-pasal tentang perjanjian dalam buku III KUHPerdata, itupun tidak semua pasal boleh diabaikan begitu saja. Sedangkan ketentuan pemberian kuasa diletakkan pada Buku IV, sehingga walau ada sifat persetujuan dalam pemberian kuasa. Akan tetapi persetujuan tersebut bukanlah persetujuan bersifat dua arah dan bertimbal balik seperti perjanjian pada umumnya sebagaimana diatur dalam Buku III KUHPerdata.

 

Lagipula, tidaklah logis apabila Pasal 1813 KUHPer diabaikan, selain karena sifat dan kekuatan hukum dari pasal tersebut yang memang tidak boleh diabaikan, ketentuan pasal tersebut juga tidak dimaksudkan sebagai sesuatu yang dapat diabaikan begitu saja, apalagi oleh perjanjian saja, kecuali bila revisi tersebut dilakukan oleh peraturan perundang-undangan yang baru.

 

Sesuai dengan Pasal 1813 KUHPer, maka salah satu mekanisme berakhirnya surat kuasa adalah manakala pemberi kuasa meninggal, dalam pengampuan ataupun pailitnya salah satu pihak, dilihat dari segi apapun, maka syarat berakhirnya kuasa dari pasal a quo sangat logis. Yang tidak dapat diterima akal sehat adalah para pihak yang mengabaikan bunyi pasal tersebut. Karena dengan demikian mereka mengatakan bahwa walaupun salah satu pihak meninggal atau pailit, maka hubungan kuasa tersebut tetap dapat berjalan.

 

Analisa hukum paling sederhanapun akan mengatakan bahwa mengingat kekuasaan berasal dari pihak pemberi kuasa, dengan meninggalnya pemberi kuasa, maka kekuasaan yang telah diberikan kepada orang lain yang berasal dari dirinyapun akan hilang dengan sendirinya. Sementara apabila penerima kuasa yang meninggal, juga secara otomatis mengakhiri, karena penerima kuasa telah kehilangan kemampuan untuk melaksanakan kuasa tersebut. Memang dalam sebuah surat kuasa biasanya juga dilampirkan pemberian kuasa substitusi untuk menggantikan penerima kuasa pada saat dirinya kehilangan kemampuan untuk menjalankan kuasa. Tetapi ini adalah masalah yang berbeda.

 

Dengan dipailitkan atau diampunya salah satu pihak, juga logis apabila kuasa berakhir. Karena adanya kepailitan, maka semua pihak yang dipailitkan akan kehilangan kekuasaannya atas harta miliknya, dan dialihkan kepada kurator ataupun balai harta peninggalan. Begitu juga dengan diampunya salah satu pihak yang akan mengalihkan kekuasaan kepada walinya.

 

Kesimpulan dari uraian penulis adalah surat kuasa mutlak tidak dapat dan tidak boleh dipraktekan karena tidak sejalan dengan undang-undang yang berlaku. Kalau begitu bagaimana nasib ribuan surat kuasa mutlak yang beredar diantara kita? Pemberi kuasa yang terlanjur menandatangani surat kuasa semacam ini memiliki posisi kuat di hadapan pengadilan. Namun bagi penerima kuasa yang memiliki status sebagai kreditur dari pemberi kuasa, dilihat dari segi apapun untuk mencegah terjadinya pencabutan kuasa memang lemah, akan tetapi hanya terbatas yang berhubungan dengan surat kuasa tersebut, sebab penerima kuasa boleh saja memegang surat perjanjian dari pemberi kuasa yang sepakat untuk tidak melakukan pencabutan secara sepihak tanpa mempertimbangkan penerima kuasa.

 

Dengan demikian walaupun pemberi kuasa tetap berhak penuh untuk mencabut kuasanya secara sepihak kapan saja, namun penerima kuasa yang memegang perjanjian dari pemberi kuasa untuk tidak melakukan pencabutan kuasa secara sepihak dapat menggugat dengan dasar ingkar janji pada pihak pemberi kuasa. Perlu dicatat bahwa gugatan tersebut tidak dapat membatalkan pencabutan kuasa.

 

 

*) Penulis adalah mahasiswa tahap akhir pada Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan. Anggota Himpunan Pengacara/Advokat Indonesia (HAPI) dan Associate pada Law Firm Yohannes Suhardi & Partners. Tulisan ini adalah pandangan pribadi penulis.

 

Walau dasar hukum surat kuasa di Indonesia adalah Pasal 1792 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata), dalam KUHPerdata sendiri tidak ditemui pengaturan mengenai surat kuasa mutlak ini.

 

Dampak sebuah surat kuasa mutlak adalah pemberi kuasa tidak dapat mencabut kuasanya dari penerima kuasa. Biasanya sebuah surat kuasa akan dianggap sebagai surat kuasa mutlak dengan dicantumkan klausula bahwa pemberi kuasa akan mengabaikan (waive) Pasal 1813 jo. Pasal 1814 KUHPerdata mengenai cara berakhirnya pemberian kuasa.

 

Menurut kedua pasal itu, kuasa berakhir dengan penarikan kembali kuasa dari penerima kuasa, pemberitahuan penghentian kuasa oleh penerima kuasa, meninggal, pengampuan atau pailitnya pemberi kuasa maupun penerima kuasa, dan penarikan kembali kuasa oleh pemberi kuasa.

Tags: