Menyoal RUU Perubahan Undang-Undang Pers
Oleh: Anggara

Menyoal RUU Perubahan Undang-Undang Pers

Masyarakat Pers Indonesia sekali lagi dikejutkan dengan berita tentang munculnya RUU Perubahan UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers (selanjutnya disebut RUU Perubahan UU Pers).

Oleh:
Anggara
Bacaan 2 Menit
Menyoal RUU Perubahan Undang-Undang Pers
Hukumonline

 

Problem Paradigma

RUU Perubahan UU Pers ini mengandung problem paradigma. Selama ini UU Pers yang ada, meski belum cukup jelas, telah menganut paradigma self regulating society. Sebaliknya, RUU Perubahan UU Pers ini tidak lagi menganut paradigma self regulating society. RUU itu justru meletakkan pengaturan serta fungsi kontrol tersebut ke tangan pemerintah.

 

Hal ini dapat terlihat dalam ketentuan-ketentuan dalam RUU Perubahan tersebut. Ketentuan itu bukan memperkuat peran Dewan Pers dan/atau organisasi jurnalis dan media. Namun, malah memperkuat peran pemerintah dalam melakukan fungsi pengawasan terhadap pers.

 

Setidaknya, dengan adanya tiga Peraturan Pemerintah di atas yang diamanatkan dalam RUU ini yang menjadi indikasi awal menguatnya keinginan pemerintah untuk melaksanakan fungsi pengawasan. Padahal, dalam profesi yang lain, fungsi pengawasan, pada tahap penegakkan etika dilakukan oleh organisasi profesi. Tapi dalam RUU ini fungsi penegakkan etika profesi dilakukan melalui tangan pemerintah.

 

Problem Inkonsistensi

Probelum lainnya dalam RUU Perubahan UU Pers ini terkait adanya sikap inkonsistensi yang ada sejak awal. Inkonsistensi ini terlihat dari definisi pers yang dicantumkan dalam Pasal 1 angka (1) RUU Perubahan UU Pers tersebut. Definisi ini berbeda dengan apa yang dijabarkan dalam UU Pers.

 

UU No. 40/1999 tentang Pers

RUU Perubahan UU Pers

Pasal 1 angka 1

Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara dan gambar serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia

Pasal 1 angka 1

Pers adalah lembaga nirlaba dan/atau badan hukum dan/atau badan usaha serta wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara dan gambar serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, radio, televisi, dan perangkat multimedia.

 

Dalam kedua definisi tersebut, RUU Perubahan UU Pers mendefinisikan bahwa pers adalah sebuah subyek hukum yang melaksanakan kegiatan jurnalistik. Definisi ini menjadi rancu ketika muncul ketentuan lain dalam Pasal 3 ayat (2) RUU Perubahan UU Pers.

 

 

Pasal 3 ayat (2)

Di samping fungsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pers nasional juga berfungsi sebagai badan usaha.

 

 

Lebih rancu lagi ketika kita lihat pembahasan dalam Pasal 9 ayat (3) dan ayat (4)

 

 

Pasal 9

Ayat (3): Setiap perusahaan pers wajib memenuhi standar persyaratan perusahaan pers.

Ayat (4): Ketentuan lebih lanjut tentang standar persyaratan perusahaan pers sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

 

 

Dalam ketentuan yang terkait ini terlihat jelas inkonsistensi dari RUU Perubahan UU Pers ini. Jika pers didefinisikan sebagai subyek hukum dan bentuk badan hukumnya bisa bermacam-macam, mulai dari Yayasan, Koperasi hingga PT, maka akan bertabrakan dengan ketentuan dalam UU Yayasan dan juga UU Koperasi. Kedua UU ini justru mengatur sifat kedua badan hukum ini tidak sebagai badan usaha yang mempunyai kepentingan/motif ekonomi.

 

Persyaratan pengaturan tentang standar perusahaan pers juga melangkahi ketentuan yang terdapat dalam berbagai ketentuan. Misalnya ketentuan dalam UU PT, UU Yayasan, UU Koperasi, dan berbagai bentuk badan hukum lainnya yang diatur dalam KUHPerdata maupun KUHDagang.

 

Jika pemerintah bermaksud mengatur tentang standar perusahaan (termasuk perusahaan pers) maka pemerintah harus mengaturnya melalui UU, bukan melalui PP. Ini berarti Pemerintah harus merevisi berbagai peraturan yang terkait dengan badan hukum.

 

Problem Kontrol dan Sensor

Melalui RUU Perubahan UU Pers, pemerintah bermaksud meletakkan kontrol kembali terhadap kehidupan pers. Kontrol tersebut dapat dilihat dalam Pasal 4 ayat (2) jo ayat (5)

 

 

Pasal 4

Ayat (2): Terhadap pers tidak dikenakan penyensoran, pembredelan, atau pelarangan penyiaran.

Ayat (5). Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah pers yang memuat berita atau gambar atau iklan yang merendahkan martabat suatu agama dan atau mengganggu kerukunan hidup antar umat beragama dan atau bertentangan dengan rasa kesusilaan masyarakat dan atau membahayakan sistem penyelenggaraan pertahanan dan keamanan nasional.

 

 

Ketentuan dalam Pasal 4 ayat (5) ini sangat longgar karena sampai saat ini tidak ada penjelasan resmi baik dalam konteks UU maupun dalam berbagai putusan pengadilan apa yang dimaksud dengan berita atau gambar atau iklan yang merendahkan martabat suatu agama. Lalu berita yang dapat mengganggu kerukunan hidup antar umat beragama, bertentangan dengan rasa kesusilaan masyarakat dan membahayakan sistem penyelenggaraan pertahanan dan keamanan nasional.

 

Ketentuan karet yang diadopsi dari KUHP dan RKUHP ini yang justru menyeret Teguh Santosa, Redaktur Eksekutif Rakyat Merdeka Online dan Erwin Arnada, Pemimpin Redaksi Majalah Playboy ke depan pengadilan. Ketentuan ini juga berpotensi menyeret Teguh dan Erwin lainnya ke depan pengadilan

 

Penafsiran mengenai sikap merendahkan, mengganggu, bertentangan, serta membahayakan tersebut justru merupakan tafsir sepihak dan berpotensi besar mengganggu kebebasan berpendapat terutama kebebasan pers.

 

Dalam negara hukum, tafsir demikian justru tidak diperkenankan. Bahkan, rumusan ini bertentangan dengan niat dan maksud dari Perubahan ke-2 UUD 1945, TAP MPR No. XVII/MPR/1998 tentang Piagam HAM, UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, serta Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik yang telah diratifikasi melalui UU No. 12 Tahun 2005.

 

Kontrol Hak Jawab, Hak Koreksi, dan Kewajiban Koreksi

Dalam RUU Perubahan UU Pers ini mekanisme hak jawab dan hak koreksi jelas diakomodir. Namun, pelaksanaannya diatur dalam Peraturan Pemerintah. Mekanisme hak jawab atau pun hak koreksi sebenarnya ada pada tataran etika. Tapi, dalam konteks Indonesia, hak jawab dan hak koreksi telah menjadi prinsip hukum untuk melindungi masyarakat dari pemberitaan pers yang keliru.

 

Pengaturan tentang hak jawab dan hak koreksi serta kewajiban koreksi ini seharusnya diatur oleh Dewan Pers secara baku mengingat ketiga pranata etika ini telah menjadi pranata hukum.

 

Dalam konteks hukum, setidaknya dalam kasus Tommy Soeharto vs. Majalah Gatra, Majelis Hakim PN Jakarta Pusat melalui putusannya No.  619/Pdt.G/1999/PN Jkt.Pst telah memberikan guideline tentang pengaturan hak jawab. Dalam kasus tersebut PN Jakarta Pusat menyatakan :

 

Hak jawab diberikan pada kesempatan pada halaman yang sama atau ditempatkan pada letak yang menarik perhatian, maksimum sepanjang berita yang dipertanyakan atau dipersoalkan. Penyiaran hak jawab wajib dilakukan segera oleh media siaran, jika dipersoalkan. Penyiaran hak jawab dilakukan segera oleh media siaran, jika perlu berulang.

 

Kasus ini bisa menjadi landmark tentang bagaimana pemuatan hak jawab yang seharusnya dan tidak perlu pengaturan lebih jauh melalui Peraturan Pemerintah sebagai pelaksana dari RUU Perubahan atas UU Pers ini.

 

*) Penulis adalah alumnus Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, Bandung. Saat ini, penulis tercatat sebagai anggota International Media Lawyers Association (IMLA) dan pengelola blog di http://anggara.wordpress.com  

Kemunculan RUU Perubahan UU Pers yang digagas oleh Dr Sofyan Djalil saat masih menjabat Menteri Komunikasi dan Informatika ini mengundang berbagai penolakan dari berbagai pihak.

 

Penolakan tidak hanya berasal dari kalangan organisasi wartawan seperti AJI. Tapi juga datang dari berbagai kalangan lain seperti DPR dan Dewan Pers. RUU ini dinilai akan mengembalikan pers ke dalam suasana penuh pengaturan sebagaimana yang pernah dialami oleh pers saat sebelum hadirnya UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers.

 

Menurut Ketua Umum AJI Indonesia Heru Hendratmoko, RUU ini akan mengembalikan peran pemerintah sebagai pengontrol pers. Peran pengontrol ini akan terlihat dari munculnya Peraturan Pemerintah (PP) yang akan menjadi peraturan pelaksana jika RUU tersebut telah menjadi UU. Ketiga PP tersebut adalah PP tentang Standar Persyaratan Perusahaan Pers, PP tentang Hak jawab dan Hak Koreksi serta PP tentang Peredaran Pers Asing di Indonesia.

 

Dari titik ini penting melihat bagaimana politik hukum yang melatarbelakangi pembuatan RUU tersebut dan ancaman apa yang berpotensi timbul apabila RUU ini diundangkan menjadi UU

Tags: