Rame-rame Berburu Akta Nikah
Nikah Massal

Rame-rame Berburu Akta Nikah

Akta nikah adalah barang mewah bagi masyarakat miskin. Dengan nikah massal, mereka bisa menghindari nikah sirri dan 'kumpul kebo'.

Oleh:
Her
Bacaan 2 Menit
Rame-rame Berburu Akta Nikah
Hukumonline

 

Sebagai sunnah rasul, nikah memang sangat dianjurkan. Karena itu, PPKB perihatin dengan gejala permisivitas dimana lelaki dan perempuan berhubungan layaknya suami-istri tanpa ikatan yang sah. Hal itu ikut menyumbang munculnya rangkaian masalah sosial, di antaranya lahirnya generasi yang rentan dalam hal ikatan kekeluargaan, tutur Ida.

 

Saktinya akta nikah

Para peserta nikah massal kemarin akhirnya bisa merengkuh dokumen yang sudah lama mereka buru, yakni akta nikah. Usai ijab kabul, mereka langsung bisa membubuhkan tanda tangan. Dan, jadilah akta nikah itu.

 

Menurut Sekretaris Umum PPKB, Siti Mukarromah, sebulan sebelum pelaksanaan nikah massal, ke-115 pasangan pengantin sudah mulai mengurus perlengkapan di Kantor Urusan Agama (KUA). Yang diperlukan adalah KTP, surat numpang nikah bagi warga yang tinggal di kecamatan lain, lalu foto dan surat pernyataan, paparnya.

 

Akta nikah, kata Siti, merupakan dokumen yang sangat penting. Tak hanya untuk keperluan suami istri, tapi juga buat anak-anak mereka. Misalnya untuk keperluan cerai, akta kelahiran anak, atau waris. Hal ini penting karena berkaitan dengan pengakuan dari negara, ujarnya.

 

Menilik Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, sesaat setelah melangsungkan pernikahan, kedua mempelai memang harus menandatangani akta nikah. Pasal 11 ayat 3 PP itu menyatakan, dengan penandatanganan akta perkawinan, maka perkawinan telah tercatat secara resmi.

 

Jika sebuah pernikahan dilakukan secara sirri, ada kemungkinan di kemudian hari pernikahan itu dibatalkan. Tak lain, karena pernikahan seperti itu tidak menghasilkan akta nikah dan karena itu tak diakui negara. Pasal 26 UU No. 1/1974 tentang Perkawinan menyatakan hal itu.

 

Pasal 26 UU Perkawinan

(1)         Perkawinan yang dilangsungkan dimuka pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang, wali nikah yang tidak sah atau yang dilangsungkan tanpa dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi dapat dimintakan pembatalannya oleh para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau isteri, jaksa dan suami atau isteri.

(2)         Hak untuk membatalkan oleh suami atau isteri berdasarkan alasan dalam ayat (1) pasal ini gugur apabila mereka telah hidup bersama sebagai suami isteri dan dapat memperlihatkan akta perkawinan yang dibuat pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang dan perkawinan harus diperbaharui supaya sah.

 

Hindari poligami

Saat memberikan tausiyah, Ketua Umum Dewan Syuro PKB, Abdurrahman Wahid, berharap agar seluruh pasangan pengantin dapat membina rumah tangganya dengan baik. Baiti jannati. Rumah tanggaku adalah surgaku. Itu harus diwujudkan, tuturnya.

 

Untuk itu, Gus Dur –panggilan akrab Abdurrahman Wahid—mewanti-wanti agar mereka tidak gemar membikin anak. Kalau terlalu sering beranak, ya kayak kucing. Makanya ikut KB (Keluarga Berencana-red) ujarnya.

 

Gus Dur juga berpesan agar para suami tak ikut-ikutan poligami. Poligami tidak dilarang, tapi cocok nggak dengan kita? imbuhnya.

 

Waduh Gus, untuk nikah saja nggak punya biaya, boro-boro poligami...

Saya terima nikahnya dengan mas kawin Rp 50.000 tunai. Begitulah jawaban yang dilontarkan Ida Farida (40), untuk menerima Tatang Supriatna (72) sebagai suaminya. Ijab kabul sepasang suami istri yang sudah berumur itu berlangsung khidmat di sebuah masjid di daerah Pasar Minggu Jakarta Selatan, Minggu kemarin.

 

Usai ijab kabul, Tatang dan Ida tak kuasa menyembunyikan kebahagiaannya. Sudah lama kami ingin menikah. Kami ingin surat resmi, ujarnya. Tatang mengaku sudah hidup bersama dengan Ida sejak 1982. Dulu keduanya menikah sirri alias nikah hanya secara agama. Dari pernikahan itu, pasangan tersebut dikaruniai tiga anak.

 

Ternyata yang berbahagia hari itu tak hanya Tatang dan Ida. Sebab, ada 115 pasangan yang turut menikah dalam acara nikah massal yang diselenggarakan Pergerakan Perempuan Kebangkitan Bangsa (PPKB). Mereka berasal dari berbagai kelurahan di Jakarta. Tatang-Ida tercatat sebagai pasangan tertua, sedang pasangan termuda adalah Firdaus (18) dan Ayu (16).

 

Secara ekonomi, mereka terhitung lemah. Mereka juga kurang memahami perkawinan, baik dari segi hukum agama maupun hukum positif. Tak mengherankan, mereka yang ikut nikah massal tak hanya bujangan, tapi juga pasangan yang -karena tak punya biaya- memilih nikah sirri atau bahkan 'kumpul kebo'.

 

Ketua PPKB, Ida Fauziyah, mengatakan, nikah massal ini dimaksudkan agar masyarakat yang kurang mampu dapat menjalani pernikahan yang sah secara syariat Islam dan memenuhi ketentuan hukum positif. Secara ekonomi, pernikahan membutuhkan biaya yang terkadang sangat tinggi, jauh melampaui kemampuan pelaku, ujarnya.

Halaman Selanjutnya:
Tags: