Dipaksa Resign, Pekerja Ajukan Gugatan
Berita

Dipaksa Resign, Pekerja Ajukan Gugatan

Para Pekerja Yayasan Saint Mary mengaku disodori surat pengunduran diri dan dipaksa nulis nama dan tandatangan.

Oleh:
Kml
Bacaan 2 Menit
Dipaksa <i>Resign</i>, Pekerja Ajukan Gugatan
Hukumonline

 

Ia menambahkan, pengunduran diri juga tidak dilakukan 30 hari sebelumnya sebagaimana diatur UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

 

UU Ketenagakerjaan

Pasal 162

Ayat (3) Pekerja/buruh yang mengundurkan diri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi syarat:

  1. mengajukan permohonan pengunduran diri secara tertulis selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sebelum tanggal mulai pengunduran diri;

 

 

Dengan asumsi pihak yayasan melakukan PHK karena efisiensi, mereka meminta pesangon dua kali. Ini sesuai dengan ketentuan Pasal 156 ayat (2) UU Ketenagakerjaan, satu kali uang penghargaan masa kerja serta uang penggantian hak. Kompensasi sebagai kerugian materiil sebesar Rp 256.823.600.

 

Selain itu, mereka juga meminta pihak yayasan membayar kerugian imateriil sebesar Rp 260 juta plus kekurangan upah pekerja. Ini karena Yayasan membayar pekerja dibawah upah minimum provinsi (UMP). Hingga Agustus 2006 upah yang diterima pekerja berkisar antara Rp450.000 hingga Rp700.000.

 

Mundur Sukarela

Saat dihubungi, Kuasa Hukum Yayasan Saint Mary Ikraman Thalib tidak ada ditempat. Penerima telepon mengaku tidak mengetahui nomor telepon selularnya.

 

Keberatan yayasan atas dalil pekerja terangkum dalam jawabannya. Menurut yayasan, para pekerja pada 25 Agustus 2006 telah mengundurkan diri dengan kemauan sendiri tanpa paksaan. Mereka juga telah menerima pesangon sebesar Rp1,5 juta, sesuai ketentuan UU ketenagakerjaan.

 

Alasan diatas disandingkan dengan argumen bahwa tidak satu pun para pekerja yang telah bekerja selama 3-21 tahun. Alasannya, yayasan baru diambil alih pada 3 Januari 2006 yang ditegaskan dalam akte penyerahan/pelimpahan dari Ilkana Nitijunuw ke Hercules Rozario Marshal lewat sebuah akte notaris. Nama yayasan juga berganti menjadi Yayasan LPK Saint Mary Internasional. Berarti para penggugat baru bekerja dengan tergugat selama 8 bulan, demikian jawaban gugatan.

 

Yayasan juga beralasan, pekerja yang buta aksara juga telah diberi penjelasan tentang isi surat. Masih menurut Yayasan dari sebelas orang tinggal dua orang pekerja yang masih berunding, yakni Parlan dan Feriyanto.  

Sebelas pekerja menggugat Yayasan Lembaga Pendidikan Kejuruan (LPK) Saint Mary di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Jakarta. Alasannya, mereka dipaksa mengundurkan diri, sedang nasib lima lainnya mengambang karena menolak. Demikian menurut Kuasa Hukum pekerja yang ditemui setelah sidang tahap pembuktian pada Kamis (9/8).

 

Menurut pekerja dalam gugatannya, pada 25 Agustus 2006 mereka dipanggil satu persatu oleh Sulaeman Singhs, Ketua Yayasan Saint Mary. Mereka diminta menadatangani surat pengunduran diri. Surat tersebut dibuat oleh yayasan dan mereka disuruh mengundurkan diri. Pekerja juga diancam tidak diberi upah bila menolak untuk menandatangani. Akhirnya enam dari sebelas menolak.

 

Enam orang dari mereka dipaksa menandatangani surat pengunduran diri dengan hanya diberi pesangon Rp 1,5 juta, demikian kata Kiagus Ahmad alias Aben, kuasa pekerja dari Lembaga Bantuan Hukum Jakarta. Tiga diantaranya yang menerima buta aksara, tuturnya. Sedangkan lima orang yang menolak, dilarang masuk kantor tanpa pesangon dan surat PHK.

 

Masa kerja mereka beragam, dari 3-21 tahun. Lima orang bekerja sebagai office boy, dua orang sebagai satpam, satu petugas perpustakan dan tiga orang staf administrasi. Para penggugat terdiri dari Nety, Onzah, Parlan Prasetyo, Hartini, Lilik, Feriyanto, Saimin, Pariyem, Djamasri, Abdul, dan Hengky.

 

Aben yakin dapat membuktikan bahwa pekerja tidak membuat sendiri surat itu, melainkan diminta dengan paksa menandatangani surat yang disodorkan pengusaha. Bisa dilihat dalam surat pengunduran diri. Keenam surat itu identik, semua sudah terketik, kecuali bagian nama dan tandatangan, ujar Aben.

Tags: