Lagi, Putusan MA Salah Ketik
Berita

Lagi, Putusan MA Salah Ketik

Pakar mengatakan itu hal biasa, sebab hakim bukan makhluk yang bebas dari kekeliruan.

Oleh:
NNC
Bacaan 2 Menit
Lagi, Putusan MA Salah Ketik
Hukumonline

Disarikan dari salinan putusan

 

Ketika hukumonline mengkonfirmasi ke MA pada Rabu (22/8) sore, Ketua Muda Peradilan Tata Usaha Negara (Tuada TUN) Prof Paulus E. Lotulung mengatakan kemungkinan itu hanya kesalahan ketik. Paulus bertindak sebagai Ketua Majelis dalam perkara itu.

 

Namun dihubungi terpisah, Panitera Muda TUN Ashadi tidak mau menyatakan secara tegas terjadinya kesalahan ketik. Kami sudah kirimkan berkas putusannya pada Askor (Asisten Koordinator-red) TUN. Sudah dibicarakan di sana. Ini sudah sore, askornya sudah pulang. Mungkin besok kepastiannya, jelasnya.

 

Hal yang lazim

Kesalahan ketik dalam putusan memang lazim terjadi. Dalam istilah doktrin hukum acara, dikenal apa yang disebut Clerical Error. Menurut Guru Besar Hukum Acara Perdata FH Universitas Gadjah Mada (UGM) Prof Sudikno Mertokusumo, kesalahan dalam penulisan menunjukkan kekurangtelitian hakim. Sebab saat putusan telah ditulis dan siap diteruskan ke pemohon, hakim mesti menandatangani master arsip. Lazimnya, Ketika menandatangani, hakim mesti mencermati lagi.

 

Sepengetahuan Sudikno, kekhilafan dalam penulisan putusan itu tidak bisa dipermasalahkan. Apalagi sampai berakibat putusan tak mengikat seara hukum. Namun ketika dari putusan tersebut muncul klaim yang menyatakan adanya kesalahan, MA wajib proaktif membenahi kekeliruan. Pembenahan atau koreksi putusan ini dikenal dengan sebutan renvoi. bagian yang salah dicoret lalu dibenarkan dan setiap koreksi diparaf oleh majelis hakim. Hakim juga bisa membuat kekeliruan, jadi konsekuensinya ya membuat koreksi.

 

Saat ini, sepengetahuan Sudikno sudah ada kebijakan MA yang bisa meminimalisir kesalahan penulisan. Dulu putusan langsung dibacakan secara lisan saja, baru ditulis oleh tukang tulis menjadi putusan tertulis. Sekarang ini ada kebijakan melalui Perma (Peraturan MA-red) yang mengharuskan hakim membuat konsep putusan secara tertulis dulu sebelum dibacakan secara lisan, tuturnya.

 

Sementara praktisi hukum yang juga mantan hakim agung  M. Yahya Harahap berpendapat, secara doktrin, clerical error masih bisa ditoleransi. Sepanjang secara substansial tidak menimbulkan masalah pokok menjadi masalah lain, masih bisa ditoleransi, tuturnya. Namun kalau secara substansial memunculkan masalah lain ya tidak bisa ditolerir, invalidated.

 

Sebagai mantan hakim agung, Yahya mengaku kesalahan yang paling sering terjadi adalah dalam hal penulisan nama. Tapi memang kekhilafan tak kenal tempat. Terkadang di bagian dictum pun mungkin sekali terjadi kesalahan. Tapi karena yang dicari kebenaran materiil, ya untuk kesalahan yang tidak terlalu parah itu bukan hal yang fatal.

 

 

Mahkamah Agung (MA) menolak permohonan sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)  dalam perkara uji materiil Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 Tahun 2002 yang akrab dikenal dengan kebijakan Release and Discharge. Terdapat kejanggalan dalam salinan putusan bernomor register 06 G/HUM/2003 itu.

 

Ada kesalahan mendasar dan fatal, tulis Emerson Yuntho dari Indonesia Corruption Watch (ICW)  dalam surat elektronik yang dikirim ke hukumonline pada Rabu (21/8). ICW merupakan  satu dari 14  LSM dari yang ikut mengajukan uji materiil. Kok ya hakim agung bisa seceroboh itu. Jangan-jangan palsu, atau ada pesanan atau ada mafia peradilan dalam putusan ini, kata Emerson.

 

Dalam pertimbangan dan amar putusan memang terdapat kesalahan obyek yang diuji. Di situ tertulis Inpres Nomor 8 Tahun 2003 yang ditetapkan tanggal 30 Desember 2003, sementara perkara teregister tanggal 27 Mei 2003. Perbedaan tahun dalam putusan itulah letak kejanggalannya.  Logikanya, beleidnya sendiri belum ditetapkan, tapi perkara uji materiilnya sudah teregister di MA. Masa permohonan ke MA sudah masuk pada Mei, sementara beleidnya sendiri baru dikeluarkan pada Desember tahun yang sama.

 

Salah ketik ini juga pernah menjadi polemik dalam sengketa Meruya Selatan. Dalam perkara yang kini kasusnya berlanjut ke PN Jakarta Barat itu, MA mengakui ada kesalahan pengetikan nama majelis hakim. Kuasa Hukum warga Meruya Selatan dan  DPR sempat menganggap putusan itu palsu.

 

Inpres Nomor 8 Tahun 2002 mengatur tentang jaminan kepastian bebas  pidana  bagi pengemplang utang Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang patuh dan bersedia mengembalikan dana likuiditas melalui perjanjian MSAA, MRNIA dan/atau APU. Dalam gugatannya, Keempatbelas LSM tidak setuju dengan prinsip pembebasan pidana bagi pengemplang utang insyaf yang telah mengembalikan jarahan mereka. Hal itu, menurut para pemohon, bertentangan dengan Uu Nomor 31 tahun 1999 yang menyatakan pengembalian kerugian keuangan negara tidak menghapus dipidananya seseorang.

MA menolak permohonan uji materiil dengan dua poin pertimbangan utama. Pertama, Presiden memiliki kewenangan  membuat langkah kebijakan (beleid regels) untuk menyelamatkan asset negara; Kedua, sebagai kebijakan, instruksi tersebut tidak masuk obyek Hak Uji Materiil.

Tags: