Mengidamkan Pembenahan Tentara Lewat Pintu Parlemen
Resensi

Mengidamkan Pembenahan Tentara Lewat Pintu Parlemen

Vis consilii expers mole ruit sua (Force without judgment, collapses under its own weight)

Oleh:
YCB
Bacaan 2 Menit
Mengidamkan Pembenahan Tentara Lewat Pintu Parlemen
Hukumonline

 

Dengan jembatan kesepahaman inilah, kita mampu menjaga peran militer sesuai dengan khitah-nya. Salah satu jalan yang dianggap efektif mengontrol sektor keamanan adalah via parlemen.

 

Buku ini merupakan salah satu bacaan menarik bagi anggota dewan. Kehadiran buku ini menemukan makna pentingnya, karena para wakil rakyat memang butuh sebuah panduan. Di atas meja merekalah segala kebijakan dan perundangan lahir, serta selanjutnya menentukan arah langkah negara.

 

Judul buku

Parliamentary Oversight of the Security Sector Principles, Mechanisms, and Practices

Penulis

Hans Born, et.al

Penerbit

Geneva Centre for the Democratic Control of Armed Force (DCAF) dan Inter-Parliamentary Union (IPU)

Tebal

195 halaman, termasuk prakata dan indeks

Cetakan

Edisi Inggris, 2003

 

Buku ini dierbitkan oleh DCAF dan IPU. Sebagai lembaga yang telah berdiri sejak 1889 dan terdiri dari 144 parlemen nasional, IPU sangat kompeten mendedah topik ini. sedangkan DCAF merupakan organisasi yang berkutat pada tema pengendalian tentara lewat jalan demokratis, terutama di region Eropa-Atlantik.

 

Buku setebal 195 halaman ini masih saja berbalut kesan ringan dan encer. Walaupun terdiri dari 29 bab, buku ini begitu renyah dikunyah. Tiap-tiap bab dipungkasi dengan boks tips ‘What you can do as a parliamentarian'. Dengan demikian, pembaca sangat terbantu oleh tips ringkas dan to the point ini, tanpa merasa digurui.

 

Meski tip yang diberikan terkesan hanya bagi para anggota parlemen (jika di DPR RI, pada Komisi I), panduan ini bisa diadopsi oleh pihak lain. Misalnya para pegiat LSM dan media. Sangatlah tepat, buku ini menyertakan peran ‘kaki keempat meja negara' tersebut, pada bab 6.

 

Jika kita telusuri tiap-tiap bab, bermacam masalah di bidang pertahanan diblejeti dengan jitu. Soalan polisi dan intelijen, perspektif jender, fungsi militer (yang telah dijelaskan di atas), manajemen personalia, hingga proses politik di gedung rakyat. Misalnya, bagaimana cara menentukan anggaran, serta pengadaan perangkat persenjataan (alutsista).

 

Bahasan terakhir ini seringkali menjadi santapan empuk nyamuk pers. Transfer dana dan impor senjata serta kendaraan perang acap digiling oleh media. Tak terkecuali di Indonesia. Nah, jika Anda tertarik pada topik ini, pastikan procurement tersebut berjalan secara terbuka dan transparan, sesuai dengan ketentuan dan mekanisme anggaran.

 

Jika ingin menyorot subbahasan tertentu saja, atau hanya membaca bidang yang diminati, pembaca bakal sangat terbantu dengan kehadiran indeks istilah.

 

Mendarat di ranah Indonesia

Keunggulan lainnya buku ini adalah banyaknya para kontributor, editor, dan penulis. Buku ini melibatkan para penulis lintas-bangsa. Mulai dari Eropa, Amerika Utara, Latin, Afrika, hingga Asia. Tak ayal jika buku ini menyajikan beragam contoh kasus menarik dari berbagai negara.

 

Sayang, untuk mencari-cari cantolan konteks Indonesia, nampaknya buku ini kurang membumi. Padahal, Indonesia merupakan salah satu ‘laboratorium' yang menarik. Tak terkecuali, di bidang pertahanan-keamanan.

 

Ulasan soal terorisme, misalnya (Bab 20, hal. 107-114). Buku ini masih terpaku pada peristiwa World Trade Center New York (WTC), 11 September 2001. Padahal, Indonesia juga merupakan negara korban teroris, lewat bom Legian dan Kuta. Peristiwa bom Bali tak kalah pentingnya sebagai tonggak perang terhadap terorisme.

 

Apalagi dalam perkembangannya, si terdakwa Amrozi bakal dieksekusi oleh 10 orang penembak. Gembongnya, dr Azhari, sebelumnya telah tertangkap di bilangan Batu, Malang. ‘Kisah sukses' penanggulangan terorisme ala TNI-Polri nampaknya masih kalah dari gaung kegundahan Pentagon.

 

‘Warna' buku ini jelas dan gamblang. Buku ini hendak mencetak wacana demokratisasi dan ‘pembenahan militer melalui jalan rakyat sipil'. Buku ini memberi poin penting, bahwa kalagan sipil juga berhak menduduki jabatan strategis (decision makers) pada tubuh organisasi militer.

 

Sayang, dalam prakteknya di Indonesia, kondisi tersebut belum terwujud. Bahkan, yang terjadi adalah wacana ‘arus balik'. Pada Pemilu 2009 nanti, kalangan militer Indonesia menginginkan hak untuk memilih.

 

Memang benar, buku ini tegas memagari konsepsi, golongan bersenjata tak boleh dipilih duduk di parlemen (hak pilih pasif). Namun, buku ini kurang mengantisipasi hak pilih aktif kaum serdadu. Apa jadinya jika para TNI-Polri ikut nyoblos dalam Pemilu? Kandidat (dan partai) mana yang diuntungkan dengan datangnya luncuran sejumlah suara yang signifikan?

 

Mengingat buku ini terbit pada 2003, dan wacana tersebut menyeruak baru-baru ini, nampaknya terlewatnya poin yang satu ini masih bisa dimaklumi.

 

Terlepas dari segala keunggulan dan kelemahannya, buku ini amat layak disimak. Tak hanya oleh anggota DPR, namun juga oleh kalangan lainnya. Pejabat eksekutif di bidang pertahanan serta jajaran petinggi militer pun perlu membacanya. Tak terkecuali, para pengamat dan penggerak organisasi non-pemerintah. Dan tak lupa, para jurnalis.

 

Seusai membaca buku ini, yakinkan diri, bahwa Anda adalah bagian dari pembaharuan bidang pertahanan. Tentu saja, dengan menerapkan tip dan panduan yang berikan oleh buku ini.

 

Sempat membaca Harian Kompas edaran Sabtu, 15 Septermber? Halaman muka memampangkan sebuah foto. Dalam gambar tersebut, sekawanan anggota TNI dengan sigap membagi selimut dan logistik kepada korban gempa di Bengkulu Utara. Betapa bangganya, dan bolehlah sambil bertepuk dada, kita punya pasukan pengayom rakyat.

 

Memang demikianlah fungsi militer. Setidaknya para pemanggul senjata memiliki lima tugas. Pertama, melindungi kedaulatan dan wilayah, dalam arti luas, berarti mengayomi semua warganya. Kedua, membela perdamaian dunia. Ketiga, bantuan di saat bencana datang, seperti apa yang terjadi di Bengkulu. Keempat, melindungi hukum dan segenap perangkat peraturannya. Kelima, berfungsi sosial membangun bangsa.

 

Sayang, sebagai pemegang laras bedil, tentara justu bagai bayonet bermata dua. Selain bermuka manis melindungi rakyat, justru sebaliknya, serdadu juga dapat berwajah galak menekan warga. Kita tentu masih ingat insiden ‘peluru nyasar' yang mengoyak warga Pasuruan lantaran sengketa tanah dengan TNI Angkatan Laut beberapa saat silam.

 

Karena tindak laku yang unik itulah, acapkali militer mewarnai lembar sejarah sebuah negara. Masih segar dalam ingatan, Perdana Menteri Thailand Thaksin Sinawatra terpaksa lengser lewat ‘kudeta damai' oleh jenderal loyalis kerajaan Sonthi Bonyaratkalin.

 

Dalam kondisi tertentu, tentara mengambil jalannya sendiri, dengan logikanya sendiri. Dengan alasan, kondisi yang dikecualikan alias darurat (state of exception/state of emergency). Untuk itu, nampaknya kita patut meraba ‘isi hati' alias watak tentara.

Tags: