Membuktikan Keberadaan Setan di Pengadilan
Resensi

Membuktikan Keberadaan Setan di Pengadilan

Film horor yang juga bernuansa hukum.

Oleh:
YCB
Bacaan 2 Menit
Foto: www.impawards.com
Foto: www.impawards.com

“This is a matter for God, worldly courts cannot pass any judgement on it.”

Pernyataan tersebut meluncur dari bibir Pastur Richard Moore, ketika menolak banding atas sanksi pengadilan yang dijatuhkan padanya. Bapa Moore pun bersedia menjalani hukuman pengasingan (seclusion). Sang rohaniwan dinyatakan bersalah atas kematian Emily Rose, gadis 19 tahun. Moore dianggap mengabaikan dan menghentikan upaya medis guna menyelamatkan Emily yang diyakini masih ada potensi tertolong. 

Itulah sepenggal akhir film yang berjudul The Exorcism of Emily Rose. Kendati Moore (diperankan oleh Tom Wilkinson) dinyatakan bersalah, pastur tersebut tak perlu lebih lama lagi mendekam di balik jeruji besi. Moore harus menjalani hukuman pelayanan sosial.

Tentu putusan para juri (bukan hakim) ini dipengaruhi pula oleh andil argumen akhir sang pengacara, Erin Christine Bruner (Laura Linney). Erin lewat pendekatan simpatik-persuasif berujar, “Dalam beberapa kasus saya harus membela orang jahat. Namun Bapa Moore bukan salah satu di antaranya. Jangan kirim orang baik ke penjara.”

Inilah sisi unik pola peradilan luar negeri. Para pengacara dan penuntut tak melulu berbelit debat di balik rumitnya pasal-pasal. Sebelum dewan juri memutuskan perkara, baik penuntut maupun tergugat berkesempatan meyakinkan pandangannya, melalui sebuah orasi. Hakim pun hanya sebagai ‘moderator' jalannya sidang. Yang mengambil keputusan adalah dewan juri.

Kisah bermula pada keceriaan Emily. Gadis tersebut berhasil meraih beasiswa penuh melanjutkan studinya ke jenjang kuliah. Walhasil, Emily kudu meninggalkan kampung halamannya, sebuah peternakan. Emily adalah anak sulung, dari empat bersaudara semuanya perempuan. Keluarga Emily adalah pemeluk taat Katolik.

Namun, senyum cerah Emily makin memudar dan berganti dengan jerit histeris. Emily tak dapat melanjutkan kuliah. Hari demi hari dia habiskan di klinik kampus. Namun, itu pun tak banyak menolong. Dibantu teman kuliahnya, Jason, Emily kudu balik kampung.

Emily divonis menderita epilepsi dan psikosis. Tak jarang dokter ahli meyakini (sesuai kacamata medis), Emily melihat berbagai halusinasi. Emily pun merasa pengobatan tersebut tak mampu membuatnya lebih baik.

Tags: