Menggugat Efektifitas Hukuman Mati
Berita

Menggugat Efektifitas Hukuman Mati

Kemarin, 10 Oktober, merupakan hari penghapusan hukuman mati. Sejumlah aktivis mengunjungi Kejagung untuk beraudiensi terkait isu hukuman mati secara umum dan eksekusi Amrozy cs secara khusus.

Oleh:
Ali
Bacaan 2 Menit
Menggugat Efektifitas Hukuman Mati
Hukumonline

 

Rudi masih berpendapat fungsi menimbulkan efek jera dengan hukuman mati masih diperlukan. Selain itu, sambungnya, pidana mati memiliki manfaat secara sosiologis yaitu melindungi masyarakat dari kejahatan.

 

Metode hukuman mati di beberapa negara

Metode

Negara

Pancung Kepala

Arab Saudi dam Irak

Sengatan Listrik

Amerika Serikat

Gantung

Mesir, Iran, Jepang, Jordania, Pakistan, Singapura dll

Suntikan mematikan

RRC, Guatemala, Thailand dan Amerika Serikat

Tembak

RRC, Somalia, Taiwan, Indonesia dll

Rajam

Afganistan dan Iran

 

Moratorium hukuman mati

Sementara itu, salah satu anggota HATI, Johnson Pandjaitan mengusulkan agar dibuatnya moratorium hukuman mati. Semua aparat hukum seharusnya melakukan moratorium, ujar pria yang aktif di Asosiasi Advokat Indonesia ini.

 

Kunjungan HATI ke Kejagung, merupakan salah satu langkah untuk mengetuk hati institusi penegak hukum. Saat ini, baru Bagir Manan (Ketua MA,-red) saja yang lumayan soft terkait masalah hukuman mati ini, ujar  Indri.

 

Johnson mengharapkan dalam melakukan penuntutan jaksa tak lagi menggunakan tuntutan hukuman mati sebagai hukuman tertinggi. Ia menyarankan jaksa untuk mengambil langkah-langkah lain yang strategis, misalnya mengganti hukuman mati dengan hukuman seumur hidup. Namun, secara terpisah, saran Johnson ini dibantah oleh Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung Thomson Siagian.

 

Menurut Thomson, fungsi kejaksaan hanya sebagai eksekutor saja. Pasal 10 KUHAP masih mengatur adanya hukuman mati, tegasnya. Kita hanya mengacu pada hukum positif yang ada, ujarnya. Namun, ia menghargai bila ada beberapa kelompok masyarakat yang berpendapat tak perlu ada hukuman mati. Mereka bisa menyampaikan keinginan atau suara hatinya, tambahnya.

 

Thomson menyarankan bila mau merubah peraturan perundang-undangan kunjungan ke lembaga kejaksaan bukan langkah yang tepat. Bisa ke legislatif (DPR,-red), bisa juga ke eksekutif (Presiden,-red), ujarnya. UUD 1945 memang menyatakan Undang-Undang dibuat oleh DPR bersama dengan presiden.

 

Tetapi, ada satu lagi domain kekuasaan negara yang lupa disebut Thomson, yaitu judicatif. Apakah HATI mempunyai rencana untuk judicial review ke MK atau minimal ikut serta dalam judicial review hukuman mati dalam UU Narkotika? Belum ada rencana, jawab Indri. Pertimbangannya, karena HATI belum sepenuhnya percaya terhadap proses peradilan di Indonesia. Ada suatu kenyataan, peradilan kita belum sempurnya, ujarnya. Namun, kita masih mempertimbangkan langkah judicial review, tambahnya.

Menjelang Idul Fitri ini, kemarin (10/10) Kejaksaan Agung (Kejagung) didatangi tamu istimewa. Mereka adalah sejumlah aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang tergabung dalam Aliansi Hapus Hukuman Mati (HATI). Tujuannya jelas, ingin melakukan audiensi dengan Jaksa Agung mengenai penghapusan hukuman mati secara umum, dan khususnya untuk kasus Amrozy cs yang tinggal menunggu eksekusi. Apalagi momennya sangat tepat, karena tanggal 10 Oktober merupakan hari penghapusan hukuman mati.

 

Rencana audiensi tersebut memang gagal karena alasan administratif. Kegagalan itu tak menyurutkan aktivis-aktivis tersebut menjelaskan tujuannya kepada wartawan. Kepala Bidang Operasional Kontras, Indria Fernida menjelaskan efek jera pada hukuman mati hanyalah sebuah mitos. Menurutnya, kasus Amrozy bisa menjadi salah satu bahan rujukan.

 

Indri, sapaan akrab Indria, menjelaskan dalam pernyataan terbukanya Amrozy cs menolak untuk mengajukan grasi kepada presiden. Berdasarkan keyakinan mereka, presiden tak berhak untuk mengampuni manusia, ujarnya. Bahkan, lanjut Indri, mereka siap untuk menghadapi hukuman mati. Sesuai keyakinan mereka itu (dihukum mati,-red) merupakan jihad, tuturnya.

 

Oleh sebab itu, menurut Indri argumen di atas dapat mendukung tak efektifnya hukuman mati dalam menghasilkan efek jera. Indri menambahkan bukan tak mungkin hukuman mati justru akan menjadi amunisi ideologis untuk meningkatkan radikalisme dan militansi. Bukan tak mungkin hal itu justru menjadi pemicu bagi pihak lain untuk melakukan tindakan serupa berdasarkan keyakinannya, jelasnya.

 

Mengenai efek jera ini memang sudah menjadi perdebatan tersendiri. Sebelumnya, dalam sidang Mahkamah Konstitusi terkait judicial review hukuman mati dalam UU Narkotika, para ahli hukum pidana memiliki pendapatnya masing-masing. Pakar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Indonesia Rudi Satriyo termasuk yang setuju dengan hukuman mati.

Tags: