Tanpa Koordinasi Pakem, Pasal Penodaan Agama dalam KUHP Impoten
Berita

Tanpa Koordinasi Pakem, Pasal Penodaan Agama dalam KUHP Impoten

Pasal penodaan agama dalam KUHP baru bisa digunakan setelah forum badan koordinasi Pakem yang melibakan antar instansi sudah dilakukan. Sehingga tanpa rapat koordinasi Pakem tersebut, sebenarnya pasal 156a tersebut menjadi impoten.

Oleh:
Ali
Bacaan 2 Menit
Tanpa Koordinasi Pakem, Pasal Penodaan Agama dalam KUHP Impoten
Hukumonline

 

Prosedur yang diterangkan Hendarman ini mengacu pada Penetapan Presiden Nomor 1 Tahun 1965 (UU No 1/PNPS/1965) tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Ancaman hukumannya lima tahun, ujar Hendarman.

 

Pasal 3

Apabila setelah dilakukan tindakan oleh Menteri Agama bersama-sama Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri atau Presiden Republik Indonesia menurut ketentuan dalam pasal 2 terhadapa orang, organisasi atau aliran kepercayaan, mereka masih terus melanggar ketentuan-ketentuan dalam pasal 1, maka orang, penganut, anggota dan/atau anggota pengurus organisasi yang bersangkutan dari aliran itu dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 5 tahun.

 

Pasal 4

Pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana diadakan pasal baru yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 156a

Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 5 tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan:

a. yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia;

b. dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.

 

Sementara itu, sumber hukumonline di lingkungan Kejagung menjelaskan dalam praktek eksistensi Pakem di daerah lebih terlihat dibanding tingkat pusat. Ia menjelaskan sampai saat ini, di tingkat pusat (Kejagung), belum ada satu aliran pun yang dilarang. Berbeda dengan di daerah yang sudah merinci aliran-aliran yang dilarang. Contohnya Ahmadiyah, dilarang hanya di beberapa daerah saja, ujarnya.

 

Oleh sebab itu, meski kata Hendarman fatwa MUI tak bisa dibawa ke jalur hukum, sumber hukumonline berpendapat fatwa MUI tetap berguna. Dalam rapat koordinasi yang pada akhirnya menentukan sesat atau tidak kan ulama atau ahli agama. Kita mana tahu, jelasnya. Karenanya, lanjutnya, pendapat MUI dan PGI (Persatuan Gereja Indonesia) bisa menjadi acuan.

 

Meski pasal penodaan agama dalam KUHP belum bisa digunakan tanpa melalui forum Pakem tersebut, tetapi penolakan pasal tersebut santer terdengar. Bahkan beberapa waktu lalu, LBH Jakarta sempat berencana menguji materi UU tersebut ke Mahkamah Konstitusi. Pasal 28 Undang-undang Dasar memberikan kebebasan pada seseorang untuk menganut suatu kepercayaan atau agama. Undang-undang No 1/PNPS/ 1965 jelas bertentangan dengan pasal 28 Undang-undang Dasar, ujar pengacara LBH Muhammad Gatot pada hukumonline kala itu.

 

Peneliti The Wahid Institute, Rumadi menilai pasal-pasal penodaan agama hanya akan menguntungkan kelompok tertentu yang suka meminjam 'tangan negara' untuk memperjuangkan dan mengamankan posisinya. 

Rumadi juga mengkritik pasal-pasal dalam Rancangan KUHP yang semakin bertambah karena alasan ingin merinci pengertian pasal tersebut. Serinci apapun undang-undang tetap berpotensi multitafsir, tuturnya dalam sebuah diskusi di Jakarta beberapa waktu lalu.

 

Aliran kepercayaan yang menimbulkan kontroversi di tengah masyarakat kembali timbul. Setelah dulu sempat heboh dengan ajaran Lia Eden dan Ahmadiyah, kali ini muncul aliran Al Qur'an Suci serta aliran Al Qiyadah. Ajaran Al Qur'an Suci sempat menghebohkan kota Bandung ketika seorang mahasiswa dikabarkan menghilang setelah menganut aliran tersebut. Sedangkan ajaran Al Qiyadah dinyatakan sesat oleh Majelis Ulama Indonesia karena mengakui adanya nabi baru setelah Nabi Muhammad.

 

Di lapangan, fatwa sesat yang dikeluarkan MUI tak serta merta aliran tersebut dilarang di wilayah hukum Indonesia. Pasal 156a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) memang mengatur kasus-kasus seperti di atas. Walaupun pasal tersebut selalu menjadi target serangan kelompok lain, tapi faktanya masih berlaku di Indonesia.

 

Jaksa Agung Hendarman Supandji menjelaskan Pasal 156a tersebut baru bisa efektif setelah ada pembahasan forum badan koordinasi (Bakor) pengawas aliran kepercayaan masyarakat dan keagamaan (Pakem). Prosedurnya, lanjutnya, forum bakor pakem yang terdiri dari Departemen Agama, Kejaksaan, Kepolisian, BIN serta tokoh masyarakat ini menetapkan suatu aliran dinyatakan sesat. Setelah dinyatakan sesat, baru kemudian dilarang, ujar mantan Plt Jampidsus ini usai inspeksi mendadak di Kejari Tangerang, kemarin (24/10).

 

Setelah pelarangan itu, apabila aliran tersebut masih dijalankan maka Pasal 156a sudah bisa digunakan. Kalau belum masuk bakor pakem dan prosedur tersebut juga belum dijalankan, maka belum bisa masuk ke pasal penodaan agama tersebut, jelasnya.

Tags: