Mengembangkan Lex Sportiva dari Sepak Bola
Resensi

Mengembangkan Lex Sportiva dari Sepak Bola

Kisruh dan silang pendapat kepemimpinan Nurdin Halid di PSSI sebenarnya telah merembet ke sisi yuridis. Dua kubu berbeda pendapat mengenai kekuatan mengikat rekomendasi FIFA terhadap organisasi sepak bola nasional.

Oleh:
Mys
Bacaan 2 Menit
Mengembangkan <i>Lex Sportiva</i> dari Sepak Bola
Hukumonline

 

Peluang untuk lebih memperhatikan hukum olah raga sebenarnya terbuka lebar ketika Pemerintah dan DPR sedang menyurun RUU Keolahragaan dua tahun silam. Apalagi, patut dicatat, Menteri Negara yang membidangi olah raga berlatar belakang advokat. Ini adalah peluang besar bagi kalangan hukum untuk berkiprah lebih jauh. Sayang, hingga RUU tadi disahkan menjadi UU No. 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional, tak banyak terdengar gaung pembahasannya di kalangan hukum.

 

Toh, bukan berarti perhatian kalangan hukum terhadap olah raga nol sama sekali. Selalu ada yang berusaha mencoba memberikan pemahaman awal kepada kita. Selain Hinca, nama lain yang patut dicatat adalah advokat senior Otto Cornelis Kaligis dan rekan-rekannya di O.C.Kaligis & Associates. Belum lama ini, mereka menerbitkan buku berjudul Hukum & Sepak Bola.

 

 

Hukum & Sepak Bola

Penulis: O.C. Kaligis dkk

Penerbit: O.C. Kaligis & Associates, Jakarta

Terbit perdana: 2007

Halaman: 154 + viii (termasuk lampiran, pustaka dan foto)

 

 

 

Menggunakan sampul bergambar Ruud Gullit dan Lodewijk Gadja Tampubolon, buku Hukum & Sepak Bola hadir sebagai penghapus dahaga di tengah minimnya literatur Indonesia mengenai hukum olah raga atau sports law. Buku ini ditulis oleh beberapa orang, meskipun sebagian besar tulisan merupakan sumbangsih OC Kaligis.

 

Buku yang di toko buku berharga Rp36.000 per eksemplar ini mencoba membahas sepak bola dari berbagai perspektif hukum. Mulai dari aspek pidana (aggresivitas dan kerusuhan dalam sepak bola), aspek perdata (kontrak pemain), hak kekayaan intelektual (hak siar pertandingan sepak bola), hingga aspek akuntansi dan administratif (PSSI sebagai organisasi). Bahkan penulis mengungkit sedikit kaitan sepak bola dengan terorisme dan pengadilan sepak bola.

 

Luasnya lingkup yang ingin dibahas, membuat beban buku setebal 154 halaman ini terasa berat. Akibatnya, pembahasan di sana sini terbilang ringkas, kalau boleh disebut terkesan alakadarnya. Itu pula yang membuat tata letak dan susunan tulisan menjadi terkesan kurang teratur.

 

Meskipun demikian, buku ini sangat bermanfaat sebagai referensi awal. Apalagi para penulis pernah terlibat langsung di bidang sepak bola, yakni ketika O.C. Kaligis & Associates diminta bantuan menyusun License Agreement antara FIFA dengan Inter-Sports Marketing Bhd. Contoh perjanjian lisensi media itu pun dimasukkan ke dalam buku.

 

Untuk memperkuat basis akademik hukum olah raga, tulisan Y.B. Purwaning M. Yanuar pada bagian 7 (Sepak Bola di Mata Ahli Hukum) sayang untuk dilewatkan. Lewat tulisan ini, Purwaning coba menguraikan perdebatan kalangan hukum mengenai konsep international sports law dan global sports law. Mengutip pendapat ahli hukum olah raga Ken Foster, Purwaning menjelaskan bahwa istilah pertama mengandung arti lebih dapat diaplikasikan oleh pengadilan nasional. Sedangkan istilah kedua secara implisit mengklaim kekebalan terhadap hukum nasional. Bisa jadi, kasus PSSI vs AFC/FIFA bisa dilihat dari konsep ini.

 

Tetapi, dalam perdebatan akademis, telah muncul istilah lain yaitu lex sportiva. Pertemuan ke-12 International Congress on Sports Law yang diselenggarakan di Ljubljana, pada 23-25 November 2006 silam, menyimpulkan antara lain lex sportiva merupakan tatanan hukum yang diadopsi oleh badan-badan olah raga nasional dan internasional dan merupakan suatu isu penting bersifat fundamental bagi disiplin hukum olah raga.

 

Jadi, bagi Anda yang berprofesi di bidang hukum dan penggemar olah raga sekaligus, buku ini patut dibaca. Apalagi ada cerita tentang Lodewijk Gadja Tampubolon, orang Indonesia yang pernah bermain di PSV Eindhoven. Tahu siapa dia? Gadja Tampubolon tak lain adalah ayah dari advokat Juan Felix Tampubolon.

 

Meskipun sudah menyerempet sisi hukum, jarang –bahkan hampir tidak pernah—terdengar ‘orang hukum' bicara tentang kekuatan rekomendasi suatu organisasi regional semacam AFC, atau organisasi internasional seperti FIFA terhadap suatu organisasi olah raga nasional. Katakanlah PSSI. Padahal, kasus ini bukan semata-mata soal kursi ketua umum, melainkan sudah merembet ke persyaratan yuridis bagi seorang pemimpin organisasi olah raga.

 

Apakah para ahli hukum kita kurang concern terhadap masalah-masalah olah raga? Seberapa besar aspek yuridis dalam suatu pertandingan olah raga? Apakah para ahli hukum nasional kurang tertarik mendalami seluk beluk kontrak pemain sepak bola? Ataukah, mereka hanya ada di belakang layar sekedar menjadi drafter kontrak? Pertanyaan demi pertanyaan tentu saja bisa diajukan mengingat belum berkembangnya sports law di Indonesia.

 

Di luar negeri, perhatian kalangan hukum terhadap dunia olah raga terbilang tinggi. Sampai-sampai ada perkumpulan para advokat bernama Sports Lawyers Association (SLA). Sesuai yang tercatat di situsnya, Asosiasi nirlaba ini beranggotakan lebih dari seribu orang hukum, mulai dari praktisi hukum, akademisi, mahasiswa hukum, dan profesional lain yang perhatian terhadap olah raga.

 

Dari sisi akademik, perhatian terhadap hukum olah raga pun terbilang lumayan. Program hukum olah raga itu sudah dilembagakan di institusi pendidikan seperti National Sports Law Institute yang didirikan sejak 1989 di Marquette University Law di Amerika Serikat. Di dalam negeri, Hinca IP Panjaitan sudah memulai membentuk Indonesian Sports Law Institute.

Tags: