DPR Tidak Punya Pedoman Menyusun Ketentuan Pidana
Berita

DPR Tidak Punya Pedoman Menyusun Ketentuan Pidana

KUHP baru diharapkan dapat menjadi pedoman bagi legislator dalam merumuskan ketentuan pidana dalam undang-undang.

Oleh:
Rzk
Bacaan 2 Menit
DPR Tidak Punya Pedoman Menyusun Ketentuan Pidana
Hukumonline

 

Sementara itu, pakar Hukum Pidana Universitas Padjajaran Barda Nawawi mengatakan ketiadaan pedoman sistem pemidanaan juga berimplikasi pada ketidakjelasan aturan pidana minimal dan maksimal suatu undang-undang. Barda mendapati sejumlah undang-undang yang perbandingan pidana minimal tidak jelas antara jenis tindak pidana yang bobotnya sama. Dampaknya, aparat penegak hukum memiliki penafsiran sendiri-sendiri sehingga penerapannya pun bervariasi.

 

Barda memandang ketidakjelasan pedoman sistem pemidanaan dapat diakhiri melalui rumusan KUHP baru yang lebih komprehensif. KUHP baru diharapkan juga memuat prinsip-prinsip pemidanaan yang rinci termasuk batasan pidana minimal dan maksimal sehingga dapat dipakai sebagai pedoman oleh pembuat undang-undang, khususnya DPR yang merupakan pintu akhir suatu proses legislasi.

 

Dihubungi terpisah, Anggota Komisi III Benny K. Harman mengakui DPR memang belum memiliki pedoman yang jelas dalam merumuskan suatu ketentuan pidana dalam undang-undang. Kondisinya semakin kompleks karena tidak semua legislator di DPR berlatarbelakang hukum seperti halnya Komisi III. Alhasil, produk yang dihasilkan pun seadanya dan sulit memenuhi harapan masyarakat.

 

Namun Benny menilai pangkal masalahnya justru ada di KUHP yang tidak menggariskan politik hukum pidana yang jelas. Sebagai warisan kolonial, KUHP karakter pemikirannya tidak jelas dan tidak sejalan dengan nilai-nilai masyarakat Indonesia. KUHP memiliki kedudukan penting menentukan politik hukum pidana nasional kita, tegasnya.

Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia yang hingga detik ini masih berlaku, merupakan salah satu produk hukum peninggalan kolonial yang masih dipertahankan. Atas desakan sebagian besar kalangan pemerhati hukum, upaya merevisi KUHP telah dirintis sejak 80-an. Sayangnya, hingga kini drafnya masih tersendat di tim perumus pemerintah. Lambannya pelimpahan draf revisi KUHP ke DPR tidak terlepas dari banyaknya isu-isu krusial yang harus dibahas. Salah satunya terkait sistem pemidanaan.

 

Dalam acara Seminar ‘Sistem Pemidanaan di Indonesia' yang diselenggarakan BPHN (27/11), dosen Hukum Pidana FHUI Topo Santoso mengatakan hukum pidana Indonesia saat ini sangat membutuhkan pedoman sistem pemidanaan. Pedoman ini diperlukan sebagai rujukan bagi pembuat undang-undang. Topo prihatin dengan proses legislasi di DPR khususnya yang berkaitan dengan ketentuan pidana, karena DPR terkesan tidak memiliki parameter jelas dalam menentukan berat ringannya ketentuan pidana.

 

Mereka (DPR, red.) seringkali hanya mengandalkan feeling dalam menentukan bentuk dan besarnya pidana, tanpa mempertimbangkan sinkronisasi dengan undang-undang lain, ujar Topo. Akibatnya, rumusan pidana antara satu undang-undang dengan yang lain pun beragam dan tidak konsisten.

 

Bambang Widjojanto dalam acara yang sama menegaskan DPR memiliki peran penting dalam menentukan politik hukum pidana Indonesia yang nantinya akan berimplikasi juga pada politik penegakan hukumnya. Idealnya, menurut Bambang, politik hukum pidana semestinya adalah kebijakan-kebijakan dasar hukum pidana yang bersumber pada nilai-nilai masyarakat dalam rangka mencapai tujuan negara. Namun, fakta menunjukkan politik hukum pidana dalam proses legislasi di DPR sarat dengan kepentingan-kepentingan tertentu (vested interest). Pada akhirnya berdampak pada produk hukum parlemen yang jauh dari rasa keadilan masyarakat, tambahnya.

 

Tidak hanya vested interest, proses legislasi di DPR juga diwarnai pertentangan antar aliran atau pandangan. Misalnya dalam perumusan RUU Anti-Pornografi terjadi pertentangan antara aliran sekuler dengan religius. Pada perkembangannya, Mahkamah Konstitusi (MK) melalui kewenangan judicial review juga turut berperan menentukan arah politik hukum pidana nasional. Contoh paling populer adalah ketika MK menolak penghapusan hukuman mati. Maka dari itu, Bambang juga berpendapat DPR perlu memiliki pedoman yang jelas untuk menetralisir kepentingan-kepentingan di luar hukum yang mempengaruhi pembentukan suatu undang-undang.    

Halaman Selanjutnya:
Tags: