Penyelesaian Sengketa Antar Komisi Pemilihan Semrawut
Utama

Penyelesaian Sengketa Antar Komisi Pemilihan Semrawut

Sengketa antar KIP ini bisa menjurus pada kebuntuan penyelesaian hukum. Kalau lewat permohonan SKLN ke MK, pemohon terancam tak memiliki legal standing. Kalau dibawa ke PTUN terganjal SEMA. Kalau dibawa ke MA, waktunya sudah telat.

Oleh:
Ali
Bacaan 2 Menit
Penyelesaian Sengketa Antar Komisi Pemilihan Semrawut
Hukumonline

 

Anna mengatakan perkara ini memang juga diajukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) terkait SK Mendagri yang mengesahkan calon bupati dan wakil bupati yang diajukan Gubernur NAD. Namun dalam persidangan dibahas habis-habisan menggunakan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No 8 Tahun 2005, ujarnya.

 

SEMA yang berjudul Petunjuk Teknis tentang Sengketa Pilkada ini mengalihkan perkara sengketa Pilkada ke MA, bukan PTUN. Saya amati selama lima tahun, berdasarkan SEMA itu, banyak perkara pilkada yang ditolak oleh PTUN, ujar Anna. 

 

Sebagai catatan, SEMA ini memang menegaskan bahwa PTUN tak memiliki wewenang dalam memeriksa serta mengadili persoalan atau sengketa yang muncul dalam pemilihan umum. Dikeluarkannya SEMA ini menanggapi banyaknya surat yang masuk ke meja MA berkaitan dengan pemeriksaan perkara mengenai sengketa Pilkada yang diajukan ke PTUN.

 

SE MA No 8 Tahun 2005

1.      Bahwa Komisi Pemilihan Umum Daerah (selanjutnya disingkat KPUD) menerbitkan keputusan-keputusan ataupun penetapan-penetapan yang berkaitan dengan pemilihan umum, baik dalam rangka persiapan pelaksanaannya maupun hasil pemilihan umum sesuai dengan kewenangannya yang diberikan oleh Undang-undang dan peraturan perundang-undangan lainnya.

 

2.      Bahwa dalam kedudukan sebagaimana yang disebutkan dalam butir ke-1 diatas, dihubungkan dengan ketentuan pasal 2 huruf g Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 yang telah diubah dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata usaha Negara, maka keputusan ataupun penetapannya tidak dapat digugat di Peradilan Tata usaha Negara, sehingga bukan merupakan kewenangannya untuk memeriksa dan mengadili.

Sekalipun yang dicantumkan secara eksplisit dalam ketentuan pasal tersebut adalah mengenai hasil pemilihan umum, namun haruslah diartikan sebagai meliputi juga  keputusan-keputusan yang terkait denganpemilihan umum apabila harus dibedakan kewenangan lembaga-lembaga pengadilan yang berhak memutusnya, padahal dilakukan terhadap produk keputusan atau penetapan yang diterbitkan oleh badan yang sama yaitu KPUD dan terkait dengan peristiwa hukum yang sama pula yaiyu perihal pemilihan umum maka perbedaan kewenangan tersebut akan dapat menimbulkan inkonsistensi putusan pengadilan, bahkan putusan-putusan pengadilan yang berbeda satu sama lain atau saling kontroversial.

 

3.      Bahwa selain daripada itu, dalam berbagai putusan dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung juga telah digariskan bahwa keputusan yang berkaitan dan termasuk dalam ruang lingkup politik dalam kasus pemilihan tidak menjadi kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara untuk memeriksa dan mengadilinya.

         (Antara lain putusan Nomor 482 K/TUN/2003 tanggal 18 Agustus 2004)

 

4.      Bahwa dengan demikian oleh karena lembaga Peradilan Tata Usaha Negara tidak berwenang memeriksa dan mengadilinya, maka Peradilan Tata Usaha Negara tidak berwenang pula menerbitkan penetapan atau putusan yang merupakan prosedur atau proses hukum acara di Peradilan Tata usahaNegara, misalnya antara lain penangguhan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 67 Undang-undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara tersebut.

 

 

Pertarungan rezim

Berdasarkan analisis Denny dan isi SEMA No. 8 Tahun 2005, perkara ini akan serta merta bisa diadili oleh MA. Ternyata belum tentu. Bahkan, Denny berpendapat bila perkara ini diajukan ke MA, waktunya sudah telat. Bupati sudah dilantik, ujarnya memberi alasan.

 

Denny meminta agar rezim pemilihan tidak dicampur adukan dengan rezim pemerintahan. Menurutnya sengketa pilkada yang bisa diselesaikan oleh MA adalah rezim pemilihan. Setelah masuk masa pelantikan, lanjutnya, maka rezimnya sudah berpindah menjadi rezim pemerintahan. Prosesnya berbeda antara rezim pemilihan dengan rezim pemerintahan, ujarnya.

 

Dalam rezim pemerintahan, jelas Denny, apabila dinilai ada kesalahan maka proses yang ditempuh adalah pemakzulan. Jadi prosesnya adalah pemberhentian kepala daerah, jelasnya. Kalau gugat menggugat masalah pemilihan terus, kapan selesainya, tambahnya lagi.

 

Denny menganalogikannya dengan pemilihan presiden. Misalnya, presiden telah dinyatakan menang, kemudian dilantik. Lalu terbukti ijazahnya hanya lulus SMP, sedangkan persyaratan harus minimal lulus SMA. Lalu KPU bilang batalkan pemilihan. Itu tak bisa. Itu kan bukan rezim pemilihan lagi, ujarnya. Proses yang mungkin ditempuh adalah dimakzulkannya presiden, tukasnya.

 

Kalau demikian, lantas lembaga apa yang bisa menyelesaikan?. Memang kacau nih, tutur Anna. Semua cara harus ditempuh ke semua lembaga penegak hukum sebagai usaha mencari keadilan yang hilang, pungkasnya.

Komisi Independen Pemilihan (KIP) Kabupaten Aceh Tenggara dan DPR Kabupaten (DPRK) Aceh Tenggara mungkin harus siap-siap kecewa. Niat kedua lembaga ini mencari keadilan seakan belum berujung. Nuansa pesimis begitu terasa dari pandangan masing-masing pihak ketika mereka hadir di Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu (16/1) kemarin. Saat itu berlangsung sidang Sengketa Kewenangan Lembaga Negara (SKLN) antara KIP Kabupaten dan DPRK versus KIP Provinsi, Gubernur Nangroe Aceh Darussalam (NAD), dan Presiden cq Mendagri, Rabu (16/1).   

 

Denny Indrayana, ahli yang diajukan termohon, mengatakan sengketa ini bukan ranah kewenangan MK. KIP bukanlah subjectum litis (subyek dalam perkara yang bersangkutan) karena UUD'45 tak pernah menyebutkannya. MK hanya berwenang mengadili SKLN yang masuk kategori constitutional organ. Bedakan antara state organ (lembaga negara,-red) dengan constutional organ (lembaga negara berdasarkan konstitusi,-red), ujar pakar Hukum Tata Negara Universitas Gadah Mada ini.

 

Dari sudut objectum litis (obyek perkara) pun, lanjut Denny, pemohon tak memenuhi syarat. Untuk berperkara SKLN di MK, obyek perkaranya adalah sengketa kewenangan konstitusional. Sedangkan KIP dan DPRK memiliki kewenangan yang bukan diberikan oleh UUD'45, melainkan diberikan oleh UU atau qanun. Perkara ini murni sebagai sengketa pilkada, bukan SKLN, ujarnya. Kalau itu sengketa pilkada maka mestinya diselesaikan Mahkamah Agung (MA).

 

Berdasarkan catatan hukumonline, perkara sejenis memang selalu menerima amar putusan ‘tak dapat diterima'. Contohnya, SKLN DPRD Kabupaten Poso vs Gubernur Sulawesi Tengah,  SKLN Bupati Bekasi melawan Pemerintah, sampai kasus Walikota Depok.

 

Perdebatan dalam sidang pun semakin memanas, ketika Anna Erliyana yang berposisi sebagai ahli dari pemohon ikut angkat bicara. Pakar Hukum Administrasi Negara dari Universitas Indonesia ini justru menilai sistem hukum Indonesia dalam penyelesaian perkara pilkada yang semrawut. Bila, dalam perkara ini tidak dapat diterima MK, maka pemohon dikhawatirkan tak bisa memperjuangkan keadilan.

Halaman Selanjutnya:
Tags: