Buruh dalam Antrian Paritas Creditorium
Fokus

Buruh dalam Antrian Paritas Creditorium

Beralih perhatian dari urusan sepatu ke hal-hal yang berbau hukum bukan pekerjaan mudah. Yang satu lebih mengandalkan fisik, yang lain membutuhkan akal dan musti pintar atur strategi.

Oleh:
Mys
Bacaan 2 Menit
Buruh dalam Antrian <i>Paritas Creditorium</i>
Hukumonline

 

Perusahaan pailit

Rupanya, bukan hanya hak-hak buruh yang tidak dipenuhi. PT Citra Handal Printing, perusahaan percetakan, mengklaim punya piutang terhadap Sindoll. Atas dasar itu pula, Citra Handal mengajukan permohonan pailit terhadap Sindoll. Permohonan itu diajukan bersamaan dengan proses persidangan gugatan perdata buruh dan gugatan ke PHI.

 

Pada 2 Agustus 2006, majelis hakim Pengadilan Niaga pada PN Jakarta Pusat menyatakan Sindoll Pratama dalam keadaan pailit. Majelis juga menunjuk Muhammad Ismak sebagai kurator yang bertugas mengurus boedel pailit. Putusan pailit itu keluar lebih dahulu dibanding penetapan Ketua PN Jakarta Pusat yang mengabulkan permohonan eksekusi atas putusan PHI.

 

Disinilah mulai kekisruhan muncul. Di satu sisi ada kepentingan buruh menuntut hak atas upah mereka yang belum dibayar, dan di sisi lain ada kepentingan curator membagi asset pailit secara proporsional. Dalam sebuah workshop yang digelar untuk kebutuhan Bareskrim Mabes Polri pertengahan 2004 silam, Marjan Pane, seorang advokat di Jakarta, menegaskan bahwa akibat dari kepailitan adalah hilangnya hak debitor untuk mengurus dan membereskan harta pailit. Itulah sebabnya, hakim selalu menunjuk kurator jika suatu perusahaan dinyatakan pailit. Tugas utama kurator adalah melakukan pengurusan dan pemberesan harta pailit. Dialah yang mestinya membagi harta pailit secara proporsional.

 

Penetapan eksekusi PN Jakarta Pusat ternyata tidak gampang dijalankan. Salah satunya karena perlawanan dari Muhammad Ismak, kurator yang telah ditunjuk mengurusi boedel pailit. Langkah Ismak memang berdasar. Pasal 26 UU No. 37/2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU KPKPU) memberi wewenang kepada kurator untuk mengajukan ‘tuntutan mengenai hak dan kewajiban yang menyangkut harta pailit'.

 

Berdasarkan kalkulasi, sisa boedel Sindoll Pratama ketika dinyatakan pailit bernilai Rp45,24 miliar. Diperoleh informasi bahwa perusahaan punya pinjaman di Bank Negara Indonesia (BNI) sejumlah Rp38,36 miliar. Itu berarti setara dengan 84 % dari total harta pailit. Celakanya, BNI telah bertindak lebih dahulu mengeksekusi hak-haknya. Aset berupa tanah dan bangunan milik Sindoll dalam proses pelelangan. BNI bisa bertindak lebih dahulu karena sebagai pemegang Hak Tanggungan berhak mengeksekusi haknya. Hak BNI itu dijamin oleh UU KPKPU. Pasal 55 ayat (1) menegaskan: Kreditor pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotik, atau hak agunan atau hak kebendaan lainnya, dapat mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan.

 

Dimana posisi buruh?

Mantan hakim agung J. Johansyah dalam papernya bejudul ‘Kreditor Preferen dan Separatis Serta Tinjauan Penjaminan Utang' menegaskan bahwa dalam kepailitan dikenal prinsip umum paritas creditorium. Artinya, semua kreditor mempunyai hak yang sama atas pembayaran dan hasil kekayaan debitor pailit yang dibayarkan secara proporsional menurut besarnya tagihan mereka. Dengan asumsi nilai asset masih cukup, buruh Sindoll mestinya tetap kebagian Rp2,77 miliar sesuai putusan PHI Jakarta.

 

Prakteknya, buruh tak segampang itu mendapatkan hak. Meskipun sudah bersusah payah menempuh upaya hukum ke dua pengadilan, ratusan buruh tak bisa mendapatkan hak mereka. Mengapa? Dalam daftar antrian kreditor, buruh tidak berada di urutan pertama. UU Ketenagakerjaan memang sudah menyebut pembayaran upah buruh didahulukan, tetapi di dunia kepailitan kurator lazim mengesampingkan kepentingan buruh. Apalagi kalau ada kreditor yang punya hak tanggungan seperti BNI dalam kasus Sindoll Pratama atau Bank Mega dalam kasus kepailitan PT Great River Internasional.

 

Dalam praktek, prinsip paritas creditorium tak selalu menempatkan seluruh kreditor berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah. Pasal 1132 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) memberi pengecualian. Kreditor pemegang hak istimewa, hipotik, gadai justru harus didahulukan. Tagihan-tagihan mereka tak dimasukkan ke dalam boedel pailit, bahkan seolah-olah tidak terjadi kepailitan. Tak peduli apakah pemegang hak istimewa itu ‘berkeringat' memperjuangkan hak atau tidak.

 

Muhammad Hafidz, Pelaksana Tugas Kesekretariatan Federasi Ikatan Serikat Buruh Indonesia menilai aturan demikian tidak fair dan sangat merugikan pekerja. Sebab, hak buruh untuk didahulukan dalam kepailitan juga dilindungi Undang-Undang. Apalagi hak buruh atas upah tersebut sudah dikuatkan oleh pengadilan. Buruh sangat dirugikan dalam aturan UU Kepailitan, ujarnya.

 

Pembentuk undang-undang sebenarnya sudah melihat perlunya proses kepailitan dan pengurusan harta pailit dijalankan secara fair, termasuk melindungi kepentingan buruh dari aksi sepihak kreditor pemegang hak kebendaan. Ada tiga spirit yang ditegaskan pembentuk UU KPKPU. Pertama, perlunya menghindari perebutan harta debitor apabila dalam waktu bersamaan ada beberapa orang kreditor yang menagih piutang. Kedua, menghindari adanya kreditor pemegang hak jaminan kebendaan yang menuntut haknya dengan cara menjual barang milik debitor tanpa memperhatikan kepentingan kreditor lainnya. Karena itu pula, UU KPKPU menganut asas keadilan, yang mengandung arti mencegah terjadinya kesewenang-wenangan salah satu kreditor terhadap kreditor lain. Ketiga, menghindari adanya kecurangan yang dilakukan kreditor atau debitor.

 

Cara pandang yang selalu mendahulukan kreditor pemegang hak kebendaan dibanding kreditor lain sejatinya bisa menabrak asas keadilan dan prinsip proporsionalitas. Misalkan asset perusahaan pailit tersisa Rp10 miliar, sementara sebuah bank memiliki tagihan hak kebendaan atas perusahaan itu sebesar Rp15 miliar, maka bank dapat mengambil alih dan menjual seluruh boedel pailit. Nasib buruh yang ikut ‘berkeringat' bersama manajemen perusahaan bisa terabaikan. Kalaupun ada ‘upah' yang didahulukan pembayarannya, itu hanya upah kurator.

 

Cara pandang demikian tampaknya harus diubah. Buruh adalah sumber daya manusia yang ikut secara langsung menggerakkan perusahaan. Sementara, kredit yang disalurkan bank, misalnya, belum tentu dipakai sebagai modal atau operasional perusahaan. Bisa saja dipakai pemilik untuk kepentingan lain. Lalu, mengapa bank harus memiliki hak super yang melebihi kreditor-kreditor lain, termasuk buruh?

 

Perlu dicatat bahwa para pembentuk undang-undang bukan saja menginginkan upah buruh dibayar tepat waktu dan sesuai jumlahnya. Pembayaran upah buruh juga harus dilindungi. Setidaknya spirit demikian tercermin dari Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah. Pada tataran religi, spirit yang sama juga tercermin: Bayarlah upah buruh sebelum kering keringat mereka.

 

Saat ini, Hafidz dan kawan-kawan mencoba menempuh upaya hukum lain, memohon kepada hakim Mahkamah Konstitusi untuk melihat posisi buruh dalam antrian paritas creditorium itu dari perspektif UUD 1945. Siapa tahu masih ada celah bagi kaum pekerja maju ke urutan awal antrian di sela-sela disharmoni peraturan perundang-undangan itu.

 

Setidaknya, Hafidz dan kawan-kawan tak berpangku tangan. Sebagai buruh, mereka memang harus berjuang agar hak-hak mereka atas upah dipenuhi secara adil. Dengan upaya hukum itu, Hafidz menjalankan nasihat Barbara Kate Repa dalam bukunya Your Right in the Workplace (2000). Saran Barbara: your first step in enforcing your right to be paid fairly should be to decide whether your complaint involves a violation of law.

 

Meski berat, pekerjaan itu harus dilakoni sejumlah buruh PT Sindoll Pratama dalam tiga tahun terakhir. Sejak Oktober 2005, perusahaan yang bergerak pada sektor industri sepatu ini tak sanggup membayar penuh upah buruhnya. Awalnya hanya berbilang hari dalam setiap bulan. Lama kelamaan jumlah kewajiban yang gagal dipenuhi perusahaan kian bertumpuk. Upaya internal buruh menuntut hak kepada manajemen kurang membuahkan hasil.

 

Akhirnya, Pengurus Perwakilan Tingkat Perusahaan Ikatan Serikat Buruh Indonesia PT Sindoll Pratama membawa kasus mereka ke luar tembok perusahaan. Mereka melayangkan gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Utara lantaran menganggap manajemen perusahaan cedera janji sehubungan dengan pembayaran upah. Selain gugatan wanprestasi, buruh juga melayangkan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Jakarta.

 

Untuk sementara upaya hukum yang ditempuh buruh berhasil. Pengadilan Negeri Jakarta Utara menghukum Sindoll Pratama dan direkturnya, Tjong Min Sheun, membayar uang tunai kepada penggugat sebesar Rp1,98 miliar. Sementara, pada Agustus 2006 silam, PHI menghukum perusahaan membayar upah buruh sebesar Rp2,77 miliar. Uang tersebut untuk pembayaran 803 orang buruh yang bertindak selaku penggugat.

 

Manajemen Sindoll Pratama melakukan perlawanan (verzet) atas putusan PHI. Namun pada akhirnya, perlawanan itu kandas. Permohonan eksekusi kalangan buruh pun dikabulkan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

 

Salah satu pertimbangan yang membahagiakan buruh adalah ketika majelis hakim merujuk pada pasal 95 ayat (4) UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Pasal ini menyebutkan: Dalam hal perusahaan dinyatakan pailit atau dilikuidasi berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka upah dan hak-hak lainnya dari pekerja/buruh merupakan utang yang harus didahulukan pembayarannya. Intinya, pasal ini menghendaki agar upah buruh dibayarkan terlebih dahulu kalau Sindoll Pratama dinyatakan pailit.

Tags: