Mendagri Tertibkan Administrasi Kawin-Cerai PNS
Berita

Mendagri Tertibkan Administrasi Kawin-Cerai PNS

Penolakan atau pemberian izin bercerai antara lain mengacu pada ukuran ‘akal sehat' pejabat yang menilai.

Oleh:
Mys
Bacaan 2 Menit
Mendagri Tertibkan Administrasi Kawin-Cerai PNS
Hukumonline

 

Frase ‘akal sehat' dalam Permendagri bisa jadi merujuk pada PP No. 10/1983 (sebagaimana diubah dengan PP 45/1990). Pasal 7 ayat (3) PP ini menyebutkan izin cerai tak akan diberikan kepada PNS kalau ternyata alasan yang dikemukakan bertentangan dengan akal sehat.

 

Menurut Djaka Permana, dosen administrasi kepegawaian FISIP Universitas Indonesia, hakekatnya kawin-cerai PNS tidak gampang. Menurut ketentuan lama, (aturan kawin) –cerai sangat kompleks, ujarnya.

 

Terbit tidaknya izin tentu sangat tergantung pada penilaian ‘akal sehat' atasan. Atasan PNS akan menilai berdasarkan alasan dan argumen yang dikemukakan pemohon izin. Pasal 3 PP No. 10/1983 menegaskan pemohon harus mencantumkan alasan lengkap yang mendasari permintaan izin cerai. Permohonan atau permintaan izin itu beserta alasan-alasannya harus diajukan secara tertulis.

 

Selain itu, PP No. 10/1983 sudah memberikan rambu yang tegas. Seorang PNS pria mestinya tak bisa mendapatkan izin cerai kalau hanya beralasan sang isteri  cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri. Izin juga tak diberikan kalau perceraian itu bertentangan dengan agama yang dianut PNS, atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

 

Boleh saja seorang PNS minta cerai karena pasangannya tak dapat menjalankan kewajiban lahir dan batin. Namun syarat alternatif semacam ini saja tak cukup untuk mendapatkan izin. Ia harus mendapatkan persetujuan tertulis dari isteri/suaminya, punya penghasilan yang cukup, dan surat pernyataan dapat berlaku adil. Ketiga syarat terakhir disebut syarat kumulatif. Kalau mau cerai, seorang PNS idealnya harus memenuhi syarat alternatif dan ketiga syarat kumulatif.

 

Cuma, sesuatu yang ideal belum tentu menjadi gambaran di lapangan, bukan?

Tidak lama setelah diangkat sebagai Menteri Dalam Negeri, salah satu langkah yang dilakukan Mardiyanto adalah menertibkan administrasi izin perkawinan dan perceraian bagi pegawai negeri sipil (PNS) di lingkungan Departemen Dalam Negeri. Semangat tertib administrasi itu tertuang dalam Permendagri No. 76 Tahun 2007, yang terbit dua bulan lalu.

 

Ada dua hal penting yang patut diperhatikan dalam Permendagri tersebut. Pertama soal kewenangan. Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 10/1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi PNS, izin perceraian bagi PNS diberikan oleh pejabat. Pejabat yang dimaksud di sini bisa Menteri, Jaksa Agung, pimpinan lembaga non departemen, pimpinan kesekretariatan lembaga tertinggi/tinggi Negara, Gubernur, atau pimpinan BUMN/BUMD. Di Departemen Dalam Negeri, pejabat dimaksud tentu saja adalah Mendagri.

 

Permedagri yang diteken Mardiyanto tersebut memberikan delegasi wewenang kepada para pejabat eselon I di departemen untuk menolak atau memberikan izin kawin-cerai PNS khusus di lingkungan Depdagri. Pejabat eselon I umumnya adalah pejabat Dirjen, Sekjen dan Inspektur Jenderal. Namun kewenangan pada pejabat eselon I hanya untuk kawin-cerai PNS berpangkat tingkat I golongan II/d ke bawah.

 

Jika di Depdagri digunakan sebutan pengalihan wewenang, di lingkungan Ditjen Bea Cukai digunakan istilah memberikan kuasa. Di lingkungan Ditjen Bea Cukai, kuasa menolak atau memberikan izin kawin-cerai PNS golongan II/d ke bawah bukan saja dikuasakan kepada pejabat level atas seperti Sekretaris Dirjen, tetapi juga para kepala kantor wilayah (Kanwil) Bea Cukai. SK Dirjen  Bea Cukai No. Kep-12/BC/2002 juga melarang para pejabat tadi untuk melimpahkan kuasanya kepada pejabat lain.

 

Kedua, alasan menolak atau memberikan izin. Permendagri No. 76/2007 memuat format baku keputusan penolakan atau pemberian izin kawin-cerai PNS. Dari format itu dapat dinyatakan bahwa permohonan cerai seorang PNS dapat diterima apabila alasan cerainya dapat ‘diterima akal sehat' dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Sayang, Permendagri tidak menjelaskan lebih jauh makna dan ukuran ‘dapat diterima akal sehat' tadi.

Halaman Selanjutnya:
Tags: