Menilik Strategi Alternatif Perjuangan Buruh
Berita

Menilik Strategi Alternatif Perjuangan Buruh

Mulai dari advokasi kebijakan menuntut peningkatan anggaran pengawasan Disnakertrans hingga anggaran pendidikan di daerah.

Oleh:
IHW
Bacaan 2 Menit
Menilik Strategi Alternatif Perjuangan Buruh
Hukumonline

 

Namun sayang, ketentuan yang di atas kertas terlihat ideal ini ternyata tidak bisa diimplementasikan di lapangan. Jamaludin, Ketua Masyarakat Bantuan Hukum Jawa Timur  menyoroti bagaimana buruk dan kronisnya pengawasan ketenagakerjaan di Jawa Timur.

 

Parahnya, hal tersebut juga terjadi hampir di semua daerah. Ketika dikonfrontasi langsung oleh serikat buruh, hampir semua Disnakertrans daerah berkelit dengan dalih minimnya anggaran, jumlah pegawai pengawas yang tak sebanding dengan jumlah perusahaan dan lain sebagainya.

 

Mengetahui alasan yang dikemukakan Disnakertrans adalah alasan klasik, DPC SPN Kabupaten Sukoharjo memilih untuk ‘mengadvokasi' Disnakertrans. Harapannya, setelah kendala anggaran yang minim itu teratasi, Disnakertrans bisa melaksanakan fungsinya dengan baik.

 

Joko Sucipto, Sekretaris DPC SPN Sukoharjo menuturkan, pada awalnya pengawasan Disnakertrans untuk sektor ketenegakerjaan di Kabupaten Sukoharjo amat minim. Ada beberapa kendala yang menyebabkan hal itu antara lain adalah minimnya anggaran bagi pengawas yaitu sebesar Rp10 ribu dan tidak rutinnya pengawas untuk melakukan inspeksi, ungkap Joko dalam Konferensi Praktisi Hukum Perburuhan yang difasilitasi TURC, awal Maret lalu.

 

Bagi SPN, lemahnya pengawasan adalah salah satu faktor yang mengakibatkan buruh selalu dalam posisi terjepit. Karenanya kami kemudian memutuskan untuk mengadvokasi isu tentang minimnya anggaran pengawasan ini, kata Joko.

 

Kemenangan Kecil

Diawali dengan mempelajari proses penyusunan anggaran di Kab Sukoharjo, Joko dkk kemudian merumuskan sebuah rencana strategis melalui tim advokasi. Setelah itu, kami melakukan audiensi dengan pejabat terkait mulai dari Kadisnakertrans, DPRD hingga Bupati. Di saat bersamaan, kami juga tetap berjuang melalui aksi demonstrasi sebagai bentuk tekanan massa, urainya.

 

Hasilnya tidak begitu mengecewakan. Anggaran Disnakertrans Sukoharjo yang pada 2006 sebesar Rp2 miliar, meningkat menjadi Rp2,2 miliar pada 2007. Hanya berselisih sekitar Rp200 juta dari tuntutan awal SPN yang sebesar Rp2,4 miliar.

 

Secara kuantitas, ‘kemenangan' SPN memang tidak terlalu signifikan. Namun secara kualitas, peningkatan anggaran itu berbanding lurus dengan anggaran dan kinerja pengawas Disnakertrans. Pengawas menjadi lebih sering melakukan pengawasan ke perusahaan, ucapnya.

 

Pernyataan Joko bukannya tanpa dasar. Ia menyebutkan kualitas pengawasan oleh Disnaker menjadi lebih efektif ketika menerima anggaran yang memadai. Sejak anggaran meningkat, pengawasan lebih intensif dan banyak ditemukan pelanggaran oleh perusahaan. Belakangan juga muncul pelanggaran K3 (Keselamatan dan Keamanan Kerja, red.) yang mendapat perhatian serius dari DPRD, sebutnya.

 

Sayang, kesuksesan SPN mengatrol anggaran pengawasan Disnakertrans Sukoharjo tidak berulang di tahun berikutnya. Pada 2008, anggaran Disnakertrans malah menukik menjadi Rp1,8 miliar. Konsekuensinya, dana pengawasan juga ikut terpangkas.

 

SPN merasa ikut bertanggung jawab terhadap penurunan anggaran ini. Penurunan anggaran ini menurut kami akibat SPN tidak melakukan pengawalan terhadap proses penyusunan APBD 2008, ungkapnya. Dengan demikian, Joko sampai pada kesimpulan bahwa advokasi kebijakan publik harus dilakukan secara kontinyu dan intensif. Kalau tidak dikawal, pejabat publik akan seenaknya membuat kebijakan yang merugikan rakyat, tandasnya.

 

Anggaran Pendidikan

Berbeda dengan Kabupaten Sukoharjo, SPN Kabupaten Semarang menuturkan, sejak beberapa tahun lalu mereka konsisten menggarap isu peningkatan anggaran daerah untuk sektor pendidikan. Selintas memang tidak terlihat korelasi antara keduanya. Namun jika ditelusuri, ditemukan fakta bahwa sebagian besar penghasilan buruh ternyata akan bermuara untuk membiayai pendidikan keluarganya.

 

Kondisinya saat ini hanya memaksa kita memilih antara menuntut upah yang layak atau menuntut agar biaya hidup yang lain seperti pendidikan dan kesehatan tidak terlampau tinggi atau syukur-syukur bisa digratiskan, kata Ari Munanto, Ketua DPC SPN Kab Semarang.

 

Maka sejak itu, SPN lantas melancarkan aksi demonstrasi dan audiensi dengan pemerintah daerah. Perjuangan Mudjianto dkk menuai hasil. Pemda Kab Semarang akhirnya merespon dengan mengeluarkan SK Bupati yang melarang pihak sekolah memungut biaya gedung.

 

Ini hanyalah ‘kemenangan' kecil. Bagi kami, dihapuskannya uang gedung sekolah sudah lumayang membantu. Namun masih segudang masalah lain yang harus diperjuangkan oleh buruh, Ari mengingatkan.

Posisi buruh selalu berada dalam kondisi yang tidak menguntungkan. Dari aspek hukum, tiga paket UU Perburuhan, mulai dari UU Ketenagakerjaan, UU PPHI dan UU SP/SB, dianggap masih menjadi alat legitimasi untuk terus menindas buruh. Pun demikian dari aspek kebijakan. Mulai dari penetapan Upah Minimum Provinsi/Kabupaten/Kota hingga pengawasan ketenagakerjaan oleh Disnakertrans yang tidak memperhatikan kepentingan buruh.

 

Ibarat pribahasa banyak jalan menuju Roma, buruh pun harus memutar otak untuk mencari alternatif strategi demi mencapai tujuannya yaitu, kesejahteraan. Hampir setiap hari, aksi demonstrasi buruh hingga mogok kerja guna menuntut kenaikan upah dan hak lainnya yang layak kerap menghiasi pemberitaan di berbagai media baik cetak maupun elektronik.

 

Namun apa yang dilakukan oleh Serikat Pekerja Nasional (SPN) di Kabupaten Sukoharjo dan Kabupaten Semarang sepertinya patut untuk ditiru. Betapa tidak, mereka dengan jeli mampu melihat isu lain yang mungkin belum pernah dibidik oleh serikat buruh lainnya. DPC SPN Sukoharjo melakukan advokasi terhadap Disnakertrans setempat, sedangkan Kabupaten Semarang menuntut peningkatan anggaran daerah untuk pendidikan.

 

Seperti diketahui, pemerintah berkewajiban untuk melakukan pengawasan ketenagakerjaan. Di daerah, kewajiban itu dilaksanakan oleh Disnakertrans. Ada beberapa instrumen hukum yang menegaskan hal itu. Sebut saja UU 3/1951 tentang Pernyataan Berlakunya UU Pengawasan Perburuhan 1948, hingga UU No 21/2003 tentang Pengesahan Konvensi ILO tentang Pengawasan Ketenagakerjaan dalam Industri dan Perdagangan.

 

Pengawasan ketenagakerjaan ini berfungsi untuk melakukan pemeriksaan dan atau pengujian di perusahaan terhadap hak normatif buruh. Jika ditemukan adanya pelanggaran hak buruh, maka petugas pengawas bisa menindaklanjuti dengan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 182 UU No. 13 Tahun 2003.

Tags: