Muncul 'Resistensi' Petinggi Militer, Komnas HAM Jalan Terus
Berita

Muncul 'Resistensi' Petinggi Militer, Komnas HAM Jalan Terus

‘Perlawanan' Departemen Pertahanan dan petinggi militer tidak menyurutkan komitmen Komnas HAM menuntaskan penyelesaian pelanggaran HAM berat di masa lalu.

Oleh:
CRR/NNC
Bacaan 2 Menit
Muncul 'Resistensi' Petinggi Militer, Komnas HAM Jalan Terus
Hukumonline

 

Dengan sejumlah alasan, tiga petinggi militer tidak datang. Tri Sutrisno tidak menghadiri pemanggilan Komnas yang pertama dengan alasan tidak jelas. Wismoyo Arismunandar mengaku belum menerima lantaran sudah pindah alamat rumah. Sedangkan Hendropriyono merasa belum menerima panggilan, persis seperti alasan Wismoyo.

 

Sebagai ketua Tim Penyelidikan Kasus Talangsari, Johny menganggap surat dari Babinkum itu merupakan penafsiran terhadap ketentuan peraturan perudang-undangan tentang pengadilan HAM yang memang sistemnya masih dirasa banyak kekurangan dan bisa multitafsir. Mereka sebagai penasihat hukum juga bebas menafsirkan, ujarnya.

 

Putusan MK yang menyetip kata dugaan dalam Penjelasan Pasal 43 Ayat (2) UU Pengadilan HAM dianggap Babinkum tidak mempunyai konsekuensi  kekuataan mengikat secara hukum. Ini karena menurut penjelasan Babinkum, secara normatif, sebuah penjelasan Undang-undang bukanlah norma yang mengikat. Logika hukumnya memang bisa masuk di situ. Semua bebas menafsirkan untuk kepentingan masing-masing, cetus Johny. Toh sejumlah kalangan menganggap putusan itu tak berdampak jauh pada kesimpangsiuran pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc.

 

Namun demikian, Komnas tetap akan bekerja selaku penyelidik resmi kasus HAM berdasar kewenangan yang dijamin oleh UU No 39 Tahun 1999 tentang  HAM dan UU Pengadilan HAM . Di situ jelas kok Komnas HAM punya kewenangan sebagai penyelidik khusus untuk perkara HAM termasuk HAM berat. Menyelidiki kan berarti bisa memanggil paksa, bisa menggeledah, ujar Johny.

 

Dihubungi terpisah, dosen pidana khusus Mudzakkir dari Universitas Islam Indonesia menilai penafsiran dari Babinkum yang mengatakan Komnas tak bisa melakukan penyelidikan sebelum dibentuk Pengadilan HAM ad Hoc memang berdasar. Ini akibat belum jelasnya pengadilan HAM. Sebaiknya memang setelah putusan MK kemarin, UU itu segera direvisi, ujarnya dari seberang telepon genggam. Penafsiran Babinkum itu, menurut Mudzakir merupakan hal yang wajar. Seseorang yang dipanggil dengan kemungkinan akan menjadi orang yang diadili  berhak tahu ia akan diadili dalam forum pengadilan yang seperti apa.

 

Disambut Menhan

Tiga hari menyusul diterimanya jawaban dari Babinkum, Senin (17/3) kemarin,  terjadi rembugan bersama antara Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono dan Kepala Pembinaan dan Hukum (Babinkum) Departemen Pertahanan Laksda Henry Williem dengan mentan Panglima ABRI Jend Purn Wiranto. Pertemuan ketiganya menghasilkan kesepakatan untuk menghimbau para purnawirawan agar tidak memenuhi panggilan Komnas HAM. Mereka dihimbau cukup memberi keterangan tertulis saja.

 

Johny mengatakan, pemanggilan tidak bisa tergantikan dengan keterangan tertulis. Sebab sebuah keterangan secara tertulis akan membatasi informasi yang bisa digali untuk mengumpulkan keterangan sebanyak-banyaknya. Kalau dengan tanya jawab, pertanyaan dan informasi yang didapat kan bisa berkembang, jelasnya. Kalaupun mau dipaksakan secara tertulis, tambah Johny, tetap harus datang di Komnas HAM agar bisa disambung dengan pertanyaan yang menggali lebih dalam informasi.

 

Sekretaris Eksekutif Imparsial Pungki Indarti menilai kesepakatan dan himbauan Menhan itu sebagai bentuk ketidakberpihakan pemerintah dalam mengungkap Kejahatan HAM berat di masa lalu.

 

Koordinator Kontras Usman Hamid  menganggap himbauan Menhan sudah tidak lagi memiliki legitimasi yang kuat. Situasi sekarang sudah jauh berubah, sehingga perkataan Menhan itu tidak berpengaruh apa-apa terhadap status hukum dari pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM besar, seperti kasus Trisakti dan kasus-kasus HAM yang terjadi sebelum tahun 2000 ujar Usman.

 

Menurut Usman, langkah Menhan itu secara kelembagaan  cenderung melindungi atau mungkin menghalangi Komnas HAM untuk tidak menyentuh purnawirawan-purnawirawan. Bisa juga  hanya sebatas himbauan pribadi yang tidak ada hubungannya dengan lembaga Menhan. Untuk itu, ujar Usman, Kami ingin mencoba berdialog dengan Menhan dan mempertanyakan apa maksud dari himbauan itu? kami rasa, sulit untuk memisahkan kapasitasnya sebagai pribadi (Juwono) dan kapasitasnya sebagai Menhan.

 

Jika memang pernyataan Menhan dianggap sebagai suatu bantuan hukum bagi para purnawirawan, menurut Usman  sebaiknya TNI tidak lagi menggunakan energi lewat Babinkum. Purnawirawan, lanjut Usman,  berhak atas bantuan hukum seperti layaknya orang biasa ketika dihadapkan pada proses hukum. Namun menjadi sebuah pertanyaan ketika tanggung jawab itu dibebankan kepada TNI  melalui Babinkum.

 

Kenapa pemerintah tidak menunjuk pengacara-pengacara dari Posbakum untuk memberikan jasa pengacaranya kepada para purnawirawan tersebut? ini masih menjadi tanda tanya besar, selorohnya. Ia meminta agar dalam penyelesaian pengusutan HAM berat ini purnawirawan tidak memanfaatkan bekas institusinya untuk melakukan perlindungan.

 

Sedangkan Johny sebenarnya tidak begitu mempersoalkan keluarnya surat dari Babinkum dan himbuan dari Menhan. Sebagai pemangku tugas untuk mengusut tuntas kasus HAM berat di masa lalu, Komnas akan terus bekerja. Kita hargai alasan pihak Babinkum. Kita hanya mau menegaskan keterangan yang kami minta dari mereka bukan dalam rangka menjerat dengan kesalahan, ujarnya. Pokoknya pekerjaan kita jalan terus. Kalau memang harus melakukan pemanggilan paksa, secara hukum kami sangat-sangat mungkin melakukannya.

 

Namun lantaran terhadap beberapa jenderal yang mangkir dari panggilan tersebut telah melekat sejumlah penghargaan dari kalangan militer atas jasa-jasa yang pernah mereka lakukan, ujar Johny, mungkin akan banyak hambatan kalau Komnas harus memanggil paksa.

 

Ke depan  jika tidak berhasil memanggil ketiga purnawirawan yang dianggap paling memahami peristiwa Talangsari itu, Ya nanti kita serahkan saja hasil yang kami dapat itu untuk diteruskan disidik di Kejaksaan Agung. Kita beri catatan bahwa ada beberapa yang belum memenuhi panggilan. Maklum, imbuh Johny, Pekerjaan Komnas kan masih banyak. Masih ada beberapa perkara lain yang juga butuh perhatian selain Talangsari.

 

Kasus Talangsari terjadi pada 6-7 Februari 1989. Korem Garuda Hitam 043 Lampung menyerang kelompok pengajian di Way Jepara, Talangsari, yang dituduh sebagai aliran sesat, mendirikan negara Islam, dan anti-Pancasila. Akibat serbuan itu jatuh banyak korban jiwa. Banyak pula korban hilang dan belum ditemukan hingga saat ini.

 

Dari pemanggilan pertama, bekas Menteri Koordinator Bidang Polhukam Sudomo telah memenuhi panggilan Komnas HAM terkait kasus Talangsari pada akhir Februari lalu. Waktu itu ia menerangkan pada Komnas bahwa dalam operasi di Talangsari itu yang paling bertanggungjawab adalah Hendropriyono selaku Komandan Resimen Garuda Hitam 043 (waktu itu).

 

Saat pemeriksaan purnawirawan Angkatan Laut ini malah berjanji akan siap memberikan kesaksian jika rekomendasi soal kasus Talangsari dari Komnas HAM akan dibawa ke pengadilan. Andai nantinya bisa diungkap kembali dan dibawa ke persidangan, Sudomo menyatakan siap memberi keterangan sejauh yang ia ketahui.

 

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) tetap akan melanjutkan pemeriksaan terhadap sejumlah purnawirawan meski muncul himbauan dari Menteri Pertahanan kepada para mantan petinggi militer agar tak perlu memenuhi panggilan Komnas HAM.

 

Anggota Komisioner Komnas HAM Johny Nelson Simanjuntak, Selasa (18/3),  mengatakan, Komnas pada Jumat pekan lalu menerima Surat dari Badan Pembinaan Hukum Mabes TNI selaku penasihat hukum sejumlah purnawirawan yang dipanggil Komnas untuk menjalani pemeriksaan terkait kasus Talangsari, Lampung 1989.

 

Surat yang diterima Komnas pada Jum'at (14/3) itu berisi jawaban dan tanggapan Babinkum atas pemanggilan  Komnas  terhadap tiga jenderal. Tiga Jenderal yang dipanggil Komnas untuk kedua kali dan surat panggilannya ditembuskan ke Babinkum itu antara lain Try Sutrisno (bekas Pangab), AM Hendropriyono (bekas Komandan Korem 043 Garuda Hitam, Lampung) dan Wismoyo Arismunandar (bekas Panglima Kodam IV Diponegoro).

 

Dalam surat tersebut Babinkum menegaskan bahwa sesuai Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM, Komnas tidak mempunyai kewenangan untuk memanggil sejumlah purnawirawan sebelum pengadilan HAM Ad Hoc terbentuk, apalagi melakukan pemanggilan paksa. Mereka menafsirkan Komnas tidak punya kewenanganan melakukan penyelidikan termasuk memanggil paksa para Jenderal itu, jelas Johny. 

 

Padahal, lanjutnya, panggilan terhadap mantan petinggi militer itu hanya dalam rangka meminta keterangan dari para Jenderal yang dianggap sebagai saksi non korban pada waktu kejadian. Tiga mantan petinggi TNI itu, menurut Komnas sedianya hendak diperiksa pada Selasa-Rabu (18-19) ini. Pada panggilan pertama Komnas terhadap 7 mantan petinggi TNI itu, ketiga petinggi militer tersebut tidak datang dengan alasan surat pemanggilan belum mereka diterima.

Tags: