Jurnalis Minta Upah Layak? Yaiyo-yaiyo...
Jeda

Jurnalis Minta Upah Layak? Yaiyo-yaiyo...

Seniman Sujiwo Tejo menyihir puluhan hadirin lewat monolog dan lagu kritisnya. Dalang edan mantan wartawan Kompas ini mendukung kampanye upah layak jurnalis.

Oleh:
Ycb
Bacaan 2 Menit
Jurnalis Minta Upah Layak? <i>Yaiyo-yaiyo...</i>
Hukumonline

 

Selanjutnya Tejo mengajak bernyanyi para pengunjung. Dia menawarkan lagu album terbarunya, Yaiyo. "Yaiyo-yaiyo itu ungkapan para sinden (penyanyi pengiring dalang wayang -red). Itu jika sinden sudah tidak tahu ngomong apa lagi," tuturnya yang kembali mengundang tawa.

 

Kalau aku jadi presiden di sini, aku akan yaiyo-yaiyo

Kalau ada orang iseng menantangkan, aku akan yaiyo-yaiyo

Kalau aku jadi presiden

Aku akan dan tak akan tapi akan...

Yaiyo-yaiyo...

 

Bohemian

Bambang Wisudo punya kesan tersendiri yang masih membekas. Maklum, baik Bambang maupun Tejo sama-sama dibesarkan dari rahim  Kompas. "Dia senior saya. Sekitar tiga tahun di atas saya. Kami sama-sama di desk Humaniora," ujar Wisudo, jurnalis yang dipecat Kompas pada Desember 2006 karena aktivitasnya di serikat pekerja.

Menurut Wisudo, Tejo adalah seniman tulen. "Dia punya dua kaki, satu di jurnalistik, satu di kesenian," ujarnya sambil tergelak. Nah, jeleknya, Dia sering ngilang dari kantor beberapa lama. Jadi kayak seenaknya, sambung Wisudo.

 

Hingga satu saat, masih menurut Wisudo, Tejo memutuskan memang benar-benar mantap total di dunia seni. Tejo adalah pemain teater dus dalang cum pemusik. Selain alat musik tradisional Jawa, Tejo mahir meniup saksofon dan memetik gitar. Film fenomenalnya adalah Kafir, duet dengan Merriam Bellina. Tejo juga berperan apik dalam film Telegram, saduran novel karya Putu Wijaya. Uniknya, telegram bercerita tentang kehidupan wartawan.

 

Meski berjiwa bebas alias bohemian -sebagai penghalus atas istilah seenaknya, Tejo tak pernah kehilangan jiwa kritisnya. Kalau diajak demo sesekali dia mau, ujar Wisudo mengungkapkan rasa kagumnya. Wisudo mengenang, waktu itu masa Departemen Penerangan.

Di era Orde Baru, Menteri Penerangan merangkap Ketua Dewan Pers. Kala itu Majalah Tempo dinilai pemerintah bermasalah. Tejo rela pentas wayang seorang diri di depan gedung departemen itu. Uniknya, wayang kulit yang dia usung berupa potongan banner judul media. Dia berteriak-teriak dengan menyebut nama-nama media. Dan seakan-akan jadi kalimat yang nyambung.

"Waspada! Angkatan Bersenjata!" timpal Wisudo sambil tertawa. Wisudo tak dapat menutupi rasa hormatnya, Tejo adalah salah satu jurnalis terbaik Kompas di bidang seni-budaya.


Malam itu, seusai membeset lagu Yaiyo yang lucu-ceria, tanpa jeda Tejo melanjutkan dengan tembang penutup Titi Kala Mangsa (Pada Suatu Ketika) yang bercorak reflektif. Nomor inilah andalan Tejo pada album debutnya. Bahkan tembang ini sempat bersaing dengan Cukup Siti Nurbaya milik Dewa 19 pada nominasi MTV Music Award 

Indonesia 1999. Kontan suasana berubah syahdu senyap. Saya yang mendengarnya jadi merinding. Kuduk meremang. Sekujur kulit mengkerut.

Wong takon wosing dur angkoro

Antarane riko aku iki

Sumebar ron-ronaning koro

Janji sabar, sabar sawetara wektu

Kala mangsane, Nyimas

Titi kala mangsa

Pamujiku dibisa

Sinuda korban jiwarga

Pamungkase kang dur angkoro

Titi kala mangsa...

 

(Orang bertanya kapan berakhirnya si angkara murka

Di antara engkau dan aku ini

Bertebaran dedaunan kacang kara

Janji sabar, sabar untuk sementara

Pada saatnya, Dinda

Pada suatu ketika

Doaku semoga bisa

Berkurang korban jiwa-raga

Sebagai penutup nafsu angkara

Pada suatu ketika...)

 

Thank you. Selamat berjuang AJI, pungkas Tejo ditingkahi tepuk riuh rendah. Malam itu memang milik Tejo.

Hujan Selasa malam itu (18/3) masih setia menimpa tanah Pancoran. Meski kecil, ajeg turun. Tanah basah menjadi merah. Di latar rumah paling pojok di kompleks perumahan asri di bilangan Bidakara itu, berdiri sebuah panggung kecil. Ada geber (layar belakang) yang bertuliskan Jurnalis Tolak Amplop Perjuangkan Upah Layak Rp4,1 juta.

Satu per satu tamu hadir. Puluhan kursi yang tertata rapi lamat-lamat penuh sesah. Beberapa hadirin menuju ke meja prasmanan. Ada bakso siap terhidang. Penerima tamu membagikan pin cindera mata.

Ada 
seorang tamu datang. Anehnya, hujan yang melulu turun, sontak berhenti. Seolah mempersilakan si tamu leluasa melenggang bergabung dalam keramaian itu. Rambutnya gondrong kriwil. Orang itu berpeci pun bersarung kayak santri. Baru saja dia datang dari Surabaya. Dan, esok harinya, Rabu, dia harus tiba di Yogyakarta. Rupanya dia si dalang nyentrik, Sujiwo Tejo. Cak Tejo -begitu biasa dia disapa-- memang didapuk mengisi acara malam itu.

 

Hajatan ini bukan kawinan. Bukan pula sunatan. Tapi, yah itu tadi. Sesuai dengan tulisan yang terpajang di backdrop panggung. Acara ini adalah rilis upah layak jurnalis. Empunya acara adalah Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta. Sebuah organisasi profesi kuli tinta yang hampir berusia 14 tahun. AJI menilai seorang jurnalis harus independen. Tolak amplop. Namun, di lain sisi, masih banyak perusahaan media yang mengupah rendah kuli tintanya. Salah satu alasannya, lantaran kesehatan dompet perusahaan.

Pada 2008, Dewan Pers merilis data jumlah media. Terdapat sekitar 850 media cetak. Namun,  hanya 30 persen yang sehat bisnis. Ada 2.000-an stasiun radio dan 115 Stasiun televisi. Sayangnya, baru 10 persen yang layak bisnis.

"Profesi wartawan itu kayak candu. Enak. Sekali merasakan kepengen terus jadi wartawan. Makanya, mungkin karena itu, wartawan tetap rela digaji rendah," tutur Tejo memulai monolog. Tejo sendiri cukup lama mengenyam profesi ini. Delapan tahun dia bekerja di Harian Kompas.

Tejo mendukung kampanye upah layak itu. Namun, Tejo menggugat kualitas wartawan. Wartawan sekarang nyebelin. "Apalagi infotainment," celetuknya spontan. Tejo punya pengalaman yang bikin dia keki. Waktu itu dia menyutradarai sebuah teater yang dibintangi seorang aktris cantik. Si aktris itu menjalin asmara dengan seorang anak Sigit Suharto. Di tengah latihan, banyak wartawan hiburan menyerbu Tejo dan si artis. Alih-alih menanyakan proses latihan teater, mereka malah mencecar soal kasus si aktris. Bahkan, Tejo yang di luar lingkar peristiwa, dipaksa berkomentar sebagai sumber. 

Ketika ada seorang wartawan bertanya tentang latihan teaternya, Tejo bersemangat menjabarkan titik soal. Sayang, satu per satu kamera menarik diri dan mundur teratur. Tinggal satu wartawan itu tadi. "Dan dia dari TVRI," kenang Tejo disambut ger-geran para pengunjung.

 

Ada satu lagi tingkah wartawan yang bikin Tejo dongkol. Menurut Tejo, banyak wartawan yang tidak kritis dalam wawancara. Wartawan hanya terpatok pada pointers daftar pertanyaan dan tidak mengejar pernyataan narasumber dengan kritis. "Kayak gitu kok mau minta Rp4,1 juta?" gugatnya.

Lalu Tejo menyanyikan sebuah lagu. Judulnya Anyam-anyaman Nyaman. "Ini lagu saya awal-awal keluar dari Kompas," ungkapnya tanpa beban. Gelak tawa pengunjung memadati halaman terbuka malam itu.

Anut runtut tansah reruntungan

Munggah-mudun gunung

Banjur samudra

Mantene wus dandan dadi dewa-dewi

Dewaning asmoro gyo mudun bumi

 

(Terlihat selalu berduaan Daki-turun gunung Selami samudra Si pengantin sudah berias menjelma jadi dewa dan dewi Sang Dewa Asmara turunlah ke bumi)

Tags: