Belajar dari Tragedi Columbine, Tarik Sebelum Tertembak
Fokus

Belajar dari Tragedi Columbine, Tarik Sebelum Tertembak

Mahkamah Agung Amerika Serikat diminta menangani perkara kepemilikan senjata api setelah banyak terjadi insiden penembakan. Bagaimana dengan Indonesia?

Oleh:
CRD
Bacaan 2 Menit
Belajar dari Tragedi <i>Columbine</i>, Tarik Sebelum Tertembak
Hukumonline

 

Peraturan tersebut pada intinya melarang warga untuk memiliki senjata api, kecuali bagi aparat atau pensiunan aparat penegak hukum. Tidak hanya itu, peraturan ini juga mewajibkan pemilik senjata laras panjang dan senjata berburu untuk selalu mengosongkan atau mengunci senjata mereka. Pada pengadilan tingkat pertama gugatan Heller cs ditolak, tetapi ketika banding dimenangkan. Saat ini, perkaranya tengah ditangani Mahkamah Agung (MA) Amerika. Banyak kalangan memprediksi apapun putusan MA akan mengubah potret hak kepemilikan senjata api di seluruh negara bagian Amerika.

 

Fakta Peredaran Senjata di Indonesia

Apa yang diperdebatkan di Amerika terjadi juga di Indonesia. Konstitusi Indonesia memang tidak memuat ketentuan tentang hak kepemilikan senjata api, tetapi fakta lapangan berbicara lain. Tahun lalu, Asosiasi Pemilik Senjata Bela Diri Indonesia (Apsindo) pernah melansir bahwa jumlah senjata api yang beredar di masyarakat cukup besar, yakni mencapai 17 ribu unit. Dari jumlah itu, sekitar 50%-nya atau lebih dari 8 ribu unit beredar di sekitar Jabodetabek.

 

Fakta yang lebih mencengangkan, sejumlah kalangan dari profesi tertentu mengaku selalu membekali dirinya dengan senjata api. Hotman Paris Hutapea adalah salah satu contohnya. Advokat ternama yang sering mendampingi kalangan artis ini, misalnya, berdalih advokat merupakan profesi yang rawan bahaya. Setali tiga uang, kalangan artis juga menjadi profesi yang lekat dengan senjata api. Peristiwa kalapnya komedian Parto yang menembakkan senjatanya ke udara karena tidak kuasa menghadapi keroyokan infotainment, menjadi contoh nyata bahwa senjata api yang dimiliki oleh sipil rawan disalahgunakan.

 

Secara normatif, Indonesia sebenarnya termasuk negara yang cukup ketat menerapkan aturan kepemilikan senjata api untuk kalangan sipil. Ada sejumlah dasar hukum yang mengatur mengenai hal ini, mulai dari level undang-undang yakni UU Darurat No. 12 Tahun 1951, Perpu No. 20 Tahun 1960 dan UU No. 28 Tahun 1997. Selebihnya adalah peraturan yang diterbitkan oleh Kepolisian, seperti SK Kapolri No. Skep/244/111/1999, Juklak Kapolri No. 10/111/1991, dan SK Kepala Polri Nomor 82 Tahun 2004 tentang Pelaksanaan Pengawasan dan Pengendalian Senjata Non-Organik.

 

Kebijaksanaan kami, senjata api yang boleh diperjualbelikan untuk kalangan sipil hanya yang non-organik. Bila ada yang menjual yang organik, maka itu ilegal, jelas Kadiv Humas Mabes Polri Abubakar Nataprawira, dihubungi via telepon (25/3),Kalau organik itu kan dari dulu tidak boleh! Senjata organik yang dimaksud adalah senjata yang hanya diperbolehkan untuk dipakai oleh Kepolisian dan TNI untuk kepentingan dinasnya misalnya FN kaliber 36 dan FN kaliber 38.

 

Berdasarkan SK tahun 2004, persyaratan untuk mendapatkan senjata api ternyata relatif mudah. Cukup dengan menyerahkan syarat kelengkapan dokumen seperti KTP, Kartu Keluarga, dan lain-lain, seseorang berusia 24-65 tahun yang memiliki sertifikat menembak dan juga lulus tes menembak, maka dapat memiliki senjata api. SK tersebut juga mengatur bahwa individu pemilik senjata api untuk keperluan pribadi dibatasi minimal setingkat Kepala Dinas atau Bupati untuk kalangan pejabat pemerintah, minimal Letnan Satu untuk kalangan angkatan bersenjata, dan pengacara atas rekomendasi Departemen Kehakiman.

 

Tarik Sebelum Tertembak

Seiring dengan meningkatnya kejahatan dengan senjata api, pada tahun 2007 Kapolri Sutanto mengeluarkan kebijakan penarikan senjata api yang dianggap ilegal. Senjata api ilegal adalah senjata yang tidak sah beredar di kalangan sipil, senjata yang tidak diberi izin kepemilikan, atau senjata yang telah habis masa berlaku izinnya. Berdasarkan ketentuan yang berlaku, izin kepemilikan senjata api di Indonesia dibatasi hingga satu tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu yang sama.

 

Abubakar mengakui beberapa senjata kaliber non-TNI dan non-Polri di tangan sipil telah disalahgunakan. Misalnya pada kasus Parto. Menurut dia, sekarang Polri sudah mengambil sikap tegas. Tidak lagi menerbitkan izin kepemilikan baru senjata api yang dimiliki oleh sipil sejak 2007.  Abubakar menekankan untuk senjata baru tidak lagi diterbitkan izin kepemilikan. Gerakan Polri ini bertujuan untuk mengurangi kepemilikan senjata api oleh sipil karena banyak penyalahgunaan senjata api oleh masyarakat. Meskipun sudah ada upaya preventif dengan mewajibkan calon pemilik mengikuti psikotes terlebih dahulu sebelum mendapat izin kepemilikan senjata. 

 

Mengenai senjata yang terlanjur dimiliki secara sah izinnya oleh sipil, Abubakar menyatakan, masalah perpanjangan perizinan tetap harus dilakukan warga. Warga yang diharapkan untuk memperpanjang izin adalah warga sipil yang telah memiliki senjata sebelum tahun 2007 atau sebelum penghentian penerbitan izin kepemilikan baru. Sebagai tindak lanjut, Polri menyerukan agar kalangan sipil yang memiliki senjata api segera melapor ke Polda-Polda setempat. Sejauh ini, menurut Abubakar, telah terdaftar 17 ribu senjata api yang dimiliki sipil. Namun baru 10 ribu yang diregistrasi. Dari 7 ribu sisanya ada masih berlaku dan ada yang sudah habis izinnya. Oleh karena itu, senjata api yang masih dikuasai sipil, dihimbau Abubakar untuk diperpanjang izinnya.

 

Panduan Bagi Pemilik : Prosedur Penggudangan

Prosesnya dimulai dengan pemilik memperpanjang izin ke Polda setempat dengan membawa senjatanya, urai Abubakar mengenai prosedur baru perpanjangan izin senjata api, Kemudian senjata dititipkan ke Polda setempat dengan membuat Berita Acara Penitipan yang ditandatangani kedua belah pihak, yaitu petugas polisi di Sendak itu dan orang yang menitipkan. Proses perizinannya sendiri dikirim dari Polda ke Baintelkam-Mabes Polri. Setelah selesai, surat izin dikeluarkan namun senjata masih dalam penitipan di gudang Polda setempat. izin tersebut harus dipegang pemilik sepanjang penggudangan untuk membuktikan keabsahan kepemilikan senjata apinya. 

 

Abubakar menekankan berkali-kali bahwa tujuan pendataan dan penggudangan ini semata untuk registrasi.  Pada saat perpanjangan izin senjata api oleh pemilik, pemilik tetap harus mengajukan perpanjangan izin tersebut namun senjata apinya kami gudangkan dulu sesuai pemilik senjata tersebut berdomisili, jelasnya. Senjata yang digudangkan adalah senjata bela diri yang terdiri dari senjata peluru tajam, senjata peluru karet, dan senjata gas. Kalibernya pun bukan standard TNI-Polri.

 

Bila pemilik menolak memperpanjang senjata api, Abubakar menegaskan bahwa pemilik senjata api tersebut dinyatakan memegang senjata api ilegal. Bila kepolisian nantinya melakukan tindakan represif terhadap pemilik senjata api yang tidak memperpanjang izinnya, kami kenakan UU Darurat No. 12/Tahun 1951, tandas Abubakar. Dalam Pasal 1 ayat (1) UU Darurat No. 12/Tahun 1951 dinyatakan Barang siapa, yang tanpa hak memasukkan ke Indonesia membuat, menerima, mencoba memperoleh, menyerahkan atau mencoba menyerahkan, menguasai, membawa, mempunyai persediaan padanya atau mempunyai dalam miliknya, menyimpan, mengangkut, menyembunyikan, mempergunakan, atau mengeluarkan dari Indonesia sesuatu senjata api, amunisi atau sesuatu bahan peledak, dihukum dengan hukuman mati atau hukuman penjara seumur hidup atau hukuman penjara sementara setinggi-tingginya dua puluh tahun.

 

Untuk pemilik senjata api yang hilang senjatanya karena kecurian, dia tidak perlu memperpanjang izin sepanjang izinnya masih berlaku, Abubakar melanjutkan,meskipun begitu dia harus melaporkan kehilangan tersebut , pertama kepada polisi mengenai perampokan itu sendiri dan kedua kepada Polda yang mengeluarkan izin atas senjatanya untuk memperpanjang izinnya. Bila senjata itu ditemukan, senjata itu akan digudangkan namun pemilik tetap memiliki izin. Celah hukum diminimalisir dengan kewajiban pelaporan kehilangan oleh pemilik. Bila senjata tidak ditemukan atau sudah digudangkan tanpa perpanjangan izin, kepolisian tidak akan memberikan izin lagi kepada pemilik yang tidak melapor tersebut karena dia dianggap melanggar hukum, tegas Abubakar.

 

Pemilik senjata api yang telah digudangkan senjatanya, baik yang telah memperpanjang izin maupun tidak, untuk sementara tidak diperkenankan meminta senjata apinya untuk berbagai alasan sampai ada kebijakan baru mengenai hal ini. Kami tidak izinkan dulu permintaan kembali oleh pemilik, kata Abubakar menenangkan, Yang penting proses perpanjangan jalan terus. Nanti bila sudah tertib dan bila ada ada kebijakan lain yang memperbolehkan pemilik kembali memegang (senjatanya-red), pemilik masih memiliki izin atas senjatanya.

 

BUJP dan Perbakin bisa bernafas lega

Khusus untuk BUJP dan Perbakin, Polri tetap mengizinkan untuk dipakai sepanjang senjata tersebut milik dari BUJP dan Perbakin. Abubakar menjamin keamanan penggunaan senjata tersebut karena hanya akan dipakai sesuai batasannya seperti untuk pengawalan uang dan pertandingan menembak serta akan disimpan di gudang milik BUJP dan Perbakin. Jadi tidak ditenteng pulang oleh individu untuk maksud di luar kepentingan perusahaan atau organisasi. Pengecekan dilakukan Polri pada saat pelaporan tahunan oleh BUJP dan Perbakin dengan membawa senjata yang dimiliki perusahaan atau organisasi. Abubakar menerangkan bahwa kepolisian akan menyocokkan dan memeriksa daftar inventaris senjata yang dimiliki  perusahaan atau organisasi.

 

Abubakar menanggapi singkat, Dari kami memang belum ada secara tertulis. Memang banyak pertimbangan. Sebagai penutup, Abubakar menyampaikan himbauan, Bagi pemilik senjata api yang izinnya habis tidak usah takut untuk segera memperpanjang izinnya kepada Polda setempat. Perpanjangan ini tidak dikenakan sanksi. Mengenai kemungkinan denda, polisi kan tidak mengenakan denda. Ini bermanfaat bagi penelusuran kepemilikan senjata api berdasarkan registrasi yang sedang gencar dilakukan Polri.

 

Selasa siang, 20 April 1999. Ketika sebagian besar siswa sedang menikmati santap siang di kantin, Columbine High School di Littleton, Colorado, Amerika Serikat dikagetkan dengan suara desingan peluru. Tidak lama, tersiar kabar 12 pelajar dan seorang guru tewas, sisanya luka-luka.

 

Setelah itu, jumlah korban bertambah karena dua pelaku pembunuhan --- lebih tepatnya pembataian -- menghabisi nyawa mereka sendiri di lokasi yang sama setelah menunaikan ‘hajat'. Tragedi tersebut yang dikenal dengan Columbine High School Massacre, sontak membahana di seluruh pelosok Negeri Paman Sam. Semua bertanya mengapa dua remaja 18 tahun itu bisa seenaknya menenteng dan bahkan menggunakan ‘mainan' yang seharusnya hanya diperkenankan untuk orang dewasa, khususnya militer. Usut punya usut, ternyata pangkal masalahnya justru berasal dari iklim kebebasan yang selalu dibangga-banggakan oleh Amerika Serikat.

 

Berangkat dari kondisi tersebut, Michael Moore, sutradara film, kemudian membuat film dokumenter dengan judul Bowling for Columbine (BFC) pada tahun 2002. Di film itu, Moore dengan gaya khasnya menelanjangi betapa mudahnya mendapatkan senjata api di Amerika. Begitu mudahnya, bahkan sebuah bank memberikan senjata api lengkap dengan katalognya untuk setiap nasabah baru yang membuka jenis rekening tertentu. 

 

Tragedi Columbine hanyalah satu contoh buruk dampak dari liberalisasi penggunaan senjata api di Amerika. Di luar itu, sebagaimana diungkapkan dalam BFC, lebih dari 11 ribu pembunuhan dengan senjata api terjadi di sana. Ironisnya, kebebasan justru dilegitimasi oleh Konstitusi Amandemen Kedua yang berbunyi ‘A well regulated Militia, being necessary to the security of a free state, the right of the people to keep and bear arms, shall not be infringed'.

 

Soal kepemilikan senjata api memang menjadi debat klasik di kalangan masyarakat Amerika. Perdebatannya mengerucut antara kubu yang pro liberalisasi dengan kubu yang menginginkan pemakaian senjata dikontrol. Baru-baru ini, perdebatan ini bahkan sampai bermuara ke meja hijau dalam kasus District of Columbia v Heller. Sebagaimana diberitakan the Economist edisi 22-28 Maret 2008, adalah seorang petugas keamanan bernama Dick Heller bersama lima rekannya menggugat Pemerintah Kota Columbia karena menerbitkan the Firearms Control Regulations Act of 1975.

Tags: