Putusan Civil Death ala Dewan Kehormatan
Utama

Putusan Civil Death ala Dewan Kehormatan

Teradu menegaskan tidak ada conflict of interest karena Departemen Keuangan membuat pernyataan tertulis yang menyatakan tidak keberatan.

Oleh:
Rzk/NNC/M-1
Bacaan 2 Menit
Putusan Civil Death ala Dewan Kehormatan
Hukumonline

 

Selang empat tahun kemudian, Todung, masih menurut berkas pengaduan, berganti posisi mewakili keluarga Salim. Sebagai bukti keterlibatan Todung, pengadu mengajukan beberapa berkas perkara di beberapa pengadilan di Lampung, dimana Todung berkedudukan sebagai kuasa hukum dari pihak keluarga Salim.

 

Berdasarkan dalil-dalil yang diajukan, pengadu menyatakan teradu telah melanggar sejumlah pasal Kode Etik Advokat Indonesia (KEAI). Di antaranya Pasal 4 huruf j tentang conflict of interest dan Pasal 3 huruf b tentang larangan advokat mengejar imbalan semata. Para Teradu juga dianggap telah melanggar Pasal 6 UU Advokat, karena mengabaikan dan menelantarkan  kepentingan klien.

 

Rangkaian sidang majelis telah dimulai sejak 28 Maret lalu yang kemudian diikuti dengan ajang pembuktian dan pemeriksaan saksi. Pada akhirnya, majelis ketuk palu menyatakan Todung terbukti melanggar Pasal 4 huruf j dan Pasal 3 huruf b KEAI. Sementara, LSM tidak bisa diposisikan sebagai teradu dua, karena merujuk pada SK DKP No. 2 Tahun 2007, kantor hukum tidak bisa menjadi teradu.

 

Hukuman yang dijatuhkan adalah yang terberat dalam tingkatan hukuman yang dikenal dalam KEAI. Pencabutan izin advokat yang bersangkutan. Persis dengan permintaan pengadu. Dalam pertimbangannya, ketua majelis Jack R. Sidabutar menyatakan konflik kepentingan yang dituduhkan pengadu telah terbukti. Kedua, Majelis sangat-sangat  menyayangkan beliau ini (Todung, red) yang merupakan tokoh advokat panutan, dihormati, dan dianggap paham KEAI, kok malah melanggar kode etik.

 

Putusan majelis diwarnai beda pendapat (dissenting opinion) dari dua anggota majelis yang intinya tidak sepakat dengan jenis hukuman yang dijatuhkan. Mereka berpendapat seharusnya hukumannya adalah pemberhentian sementara selama satu tahun. Sayangnya, berbeda dengan praktek di pengadilan pada umumnya, identitas dua pencetus dissenting opinion terkesan dirahasiakan. Bahkan, pihak teradu pun mengaku tidak tahu. 

 

Putusan majelis DKD DKI Jakarta juga menyinggung bahwa Todung sebagai anggota IKADIN, pernah dihukum oleh Dewan Kehormatan Pusat IKADIN No 01/VI/DKP/2004 tertanggal 14 Juni 2004 dengan hukuman berupa peringatan keras.

 

Selepas pembacaan putusan, Todung tak mengeluarkan sepatah katapun. Hanya, Maqdir Ismail  selaku kuasa hukum Todung, yang sempat berkomentar singkat. Putusan ini melebihi putusan Tuhan, ucapnya.

 

Sebaliknya, Hotman menilai putusan majelis DKD DKI Jakarta merupakan precedent bagus bagi dunia advokat. Dengan putusan ini, Hotman memandang tidak seharusnya seorang advokat melakukan perbuatan yang jelas-jelas bertentangan dengan produk yang ia hasilkan sebelumnya. Analoginya begini, ibaratnya seorang penyidik menjadi pembela dari tersangka. Itu analoginya atas hal yang di BAP, ujarnya. Putusan ini, menurut Hotman, juga menjadi bukti bahwa PERADI saat ini mempunyai kekuatan yang sangat besar, karena hidup matinya karir seorang advokat dapat ditentukan oleh PERADI.

 

Selang beberapa jam, Todung akhirnya menggelar konferensi pers di kantornya di bilangan Sudirman. Didampingi sejumlah koleganya, Todung membantah telah terjadi conflict of interest dalam perkara keluarga Salim yang ditanganinya di Lampung. Sama sekali tidak ada, tegasnya. Sebagai penguat argumen, Todung mengaku telah mendapatkan surat pernyataan dari Departemen Keuangan yang intinya menyatakan tidak keberatan dan tidak ada benturan kepentingan.

 

Penjelasan Todung seputar materi perkara berhenti di situ. Saya tidak akan masuk soal detil seperti itu, karena ini akan kami lakukan ketika mengajukan banding ke Dewan Kehormatan Pusat PERADI, ujarnya. Berdasarkan ketentuan KEAI, Todung harus menunggu salinan putusan paling lama 14 hari. Setelah itu, dalam 21 hari, Todung diberi kesempatan untuk mengajukan permohonan banding beserta memori banding.     

 

Lebih lanjut, Todung menilai putusan majelis merupakan bentuk kesewenang-wenangan yang melampaui batas. Ini adalah suatu kezhaliman, serunya. Putusan ini tidak hanya menginjak-injak keadilan dan etika, tetapi juga telah melanggar HAM. Pasalnya, bagi Todung, putusan ini sama saja dengan kematian perdata (civil death) karena telah membunuh hak profesinya sebagai advokat.

 

Dalam sejarah Indonesia, mungkin saya advokat pertama yang diberhentikan secara permanen. Setahu saya belum pernah ada, kata Todung, seraya menegaskan bahwa dirinya tidak bersalah. I'm innocent, I'm not guilty, ujarnya lirih. 

 

Bak petir di siang bolong. Jum'at (16/5) siang menjelang sore, Todung Mulya Lubis mendengar langsung kabar mencengangkan dari mulut Jack R. Sidabutar. Bertempat di homebase teranyar DPN PERADI gedung Ariobimo di bilangan Kuningan, Jack memimpin rekan-rekannya yang terdiri dari Alex R. Wangge, Daniel Panjaitan, Antonius PS Wibowo, dan Andang L. Binawan. Selaku majelis, mereka membacakan putusan atas pengaduan yang dilayangkan Hotman Paris Hutapea ke Dewan Kehormatan Daerah (DKD) DKI Jakarta.

 

Berdasarkan salinan berkas pengaduan tertanggal 18 Desember 2007 yang diperoleh hukumonline, Hotman menyertakan dua teradu sekaligus Todung dan kantornya Lubis, Santosa & Maulana Law Offices (LSM). Keduanya, menurut pengadu, telah melakukan tindakan tidak terpuji dan pelanggaran kode etik serta UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat.

 

Rinciannya, baik Todung maupun kantornya dituduh telah bertindak mewakili dua klien yang masing-masing kepentingannya berbenturan (conflict of interest) karena terkait perkara yang sama. Dua klien dimaksud adalah Pemerintah cq Departemen Keuangan dan keluarga Salim.

 

Kejadiannya berawal pada tahun 2002, ketika Todung bersama sejumlah advokat lainnya diminta Pemerintah untuk melakukan legal audit atas kepatuhan dan pelanggaran Master Settlement and Aquisition Agreement (MSAA). Salah satu objek auditnya adalah keluarga Salim beserta sejumlah perusahaannya. Hasil audit menyatakan keluarga Salim telah melanggar MSAA dan merugikan keuangan negara.  

Tags: