Berlindung di Balik Aturan Bank Sentral
Berita

Berlindung di Balik Aturan Bank Sentral

UU Bank Indonesia memberi kekebalan hukum bagi pejabat Bank Indonesia yang melaksanakan tugas sesuai amanat UU bank sentral tersebut. Lalu bagaimana jika kebijakan itu justru menghalalkan suap. Apakah pejabatnya masih bisa diberikan perlindungan hukum?

Oleh:
Mon/Sut
Bacaan 2 Menit
Berlindung di Balik Aturan Bank Sentral
Hukumonline

Direktur Hukum BI Ahmad Fuad menjelaskan perubahan yang dilakukan tidak banyak. "Hanya merubah klausul yang multitafsir, yaitu Pasal 5 dan 6 PDG tentang bantuan hukum (PDG No 4/13/PDG/2002-red)," ujarnya kepada hukumonline, Sabtu (17/5). Salah satu bentuk perlindungan hukum diberikan BI adalah mengupayakan pembebasan pejabat BI yang ditahan. Ketentuan itu dinilai KPK sebagai bentuk penyuapan BI terhadap aparat hukum. Padahal, praktek tersebut menyalahi pasal tentang gratifikasi dan suap dalam UU Tindak Pidana Korupsi (UU No 20/2001 tentang Perubahan Atas UU No 31/1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi).

Namun, beleid itu kini sudah diubah oleh PDG 17/2005 tadi. "Perlindungan hukum yang diberikan saat ini berupa pendampingan dari penasihat hukum saja," jelas Ahmad. Terkait dengan pendampingan hukum tersebut, BI hingga kini masih menopang biaya bantuan hukum kepada eks tiga pejabatnya yang kini meringkuk di tahanan KPK, karena terbelit kasus aliran dana BI. Mereka adalah Burhanuddin Abdullah (Gubernur BI), Oey Hoey Tiong (Direktur Hukum BI), dan Rusli Simanjuntak (Pimpinan BI Surabaya). Status ketiganya saat ini sudah dinonaktifkan dari BI. "Orang namanya pelaksana tugas. Selama itu pelaksana tugas yah dibiayai. Kalau tidak ada perlindungan hukum mana mau orang kerja," kata Ahmad Fuad.

Munculnya ketentuan soal bantuan hukum bukan tanpa alasan. Dalam buku laporan tahunan BI tahun 2006 disebutkan, Dewan Gubernur memberi perlindungan hukum bagi setiap pelaksana tugas kedinasan BI kepada semua pegawainyaI, termasuk mantan pegawai dan tenaga honorer. Alasannya, sebagai subyek hukum, BI dalam melaksanakan tugas tidak lepas dari berbagai gugatan keperdataan maupun Tata Usaha Negara (TUN) atas kebijakan yang telah dikeluarkan.

Berdasarkan catatan BI, sampai dengan 31 Desember 2006 otoritas monoter dan perbankan itu terbelit 113 perkara. Rinciannya: 98 perkara perdata, 11 perkara TUN, satu perkara uji materiil dan satu perkara di Pengadilan Niaga. Dari seluruh perkara tersebut terdapat beberapa perkara gugatan kepada BI yang bisa berdampak pada keuangan bank sentral tersebut, yaitu gugatan sebesar Rp3,47 miliar dan 5,66 juta dollar Singapura, tanah seluas 218.243 m2 dan bangunan seluas 57.318 m2 di Lido. Kemudian gugatan terhadap serta 108.336.181 lembar saham, tanah dan bangunan seluas 832 m2 di Ambon, tanah seluas 1.109 m2 di Cawang dan Kalisari dan tanah dan bangunan seluas 74.600m2 di Pasar Minggu dan/atau tagihan senilai Rp18,65 miliar.

Kepala Humas BI Filianingsih Hendarta, menuturkan perlindungan hukum itu sesuai dengan UU BI (UU No 23/1999 sebagai telah diubah oleh UU No 3/2004). Fili -panggilan akrab Filianingsih- menyatakan bantuan hukum bisa diberikan jika pejabat BI melaksanakan suatu kebijakan sesuai ketentuan dan tidak menyimpang dari ketentuan yang ada. Bahkan, kata dia, pejabat BI tidak dapat dihukum sepanjang melakukan tugas sesuai dengan kebutuhan.

Pasal 45 UU BI

Gubernur, Deputi Gubernur Senior, Deputi Gubernur, dan/atau pejabat Bank Indonesia tidak dapat dihukum karena telah mengambil keputusan atau kebijakan yang sejalan dengan tugas dan wewenangnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini sepanjang dilakukan dengan iktikad baik.

Penjelasan Pasal 45

Ketentuan ini dimaksudkan untuk memberikan perlindungan hukum atas tanggung jawab pribadi bagi anggota Dewan Gubernur dan/atau pejabat Bank Indonesia yang dengan iktikad baik berdasarkan kewenangannya telah mengambil keputusan yang sulit tetapi sangat diperlukan dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya.

Pengambilan keputusan dapat dianggap telah memenuhi iktikad baik apabila:

  1. dilakukan dengan maksud tidak mencari keuntungan bagi diri sendiri, keluarga, kelompoknya sendiri, dan/atau tindakan-tindakan lain yang berindikasikan korupsi, kolusi dan nepotisme;

  2. dilakukan berdasarkan analisis yang mendalam dan berdampak positif;

  3. diikuti dengan rencana tindakan preventif apabila keputusan yang diambil ternyata tidak tepat;

  4. dilengkapi dengan sistem pemantauan.

Yang dimaksud dengan pejabat Bank Indonesia adalah pegawai Bank Indonesia yang berdasarkan keputusan Dewan Gubernur diangkat untuk jabatan tertentu dan diberi hak mengambil keputusan sesuai dengan batas wewenangnya.

Dalam penjelasan Pasal 45 jelas disebutkan bahwa keputusan yang diambil oleh pejabat BI harus memenuhi itikad baik. Jika keputusannya ternyata untuk mencari keuntungan bagi diri sendiri, keluarga, kelompoknya sendiri, dan atau tindakan-tindakan lain yang berindikasikan korupsi, kolusi dan nepotisme, maka BI sebagai korps tidak bisa lagi melindungi pegawainya.

Lantas bagaimana dengan Burhanuddin, Oey dan Rusli yang diduga melakukan tindak pidana korupsi? "Nanti saja ya," jawab Ahmad, seraya menutup pembicaraan. Ahmad nampaknya enggan mengomentari masalah itu.

Di sisi lain, pakar hukum pidana Rudi Satrio Mukantardjo, mengatakan perlindungan hukum hanya bisa diberikan jika terkait pelaksanaan tugas kedinasan, misalnya untuk menjadi saksi ahli suatu perkara. "Jika sudah menjadi tersangka untuk suatu kegiatan tindak pidana, itu menjadi urusan pribadi. Tidak seharusnya dibiayai dengan uang publik," ujar Rudi. Penggunaan dana dari BI untuk bantuan hukum perkara pribadi, lanjut Rudi, termasuk tindakan melawan hukum yang bertentangan dengan Pasal 2 UU Tindak Pidana Korupsi. 

 

Pembenahan Peraturan Dewan Gubernur Bank Indonesia (PDG BI) yang digagas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) belum menunjukan titik terang. Dari tiga peraturan internal BI yang isinya berbau koruptif, cuma PDG No 4/14/PDG/2002 tentang Manajemen Logistik BI yang baru diubah isinya. Itu pun cuma satu pasal, yakni Pasal 34. Pasal yang membolehkan pegawai BI menerima gratifikasi dari rekanan BI itu kini dinyatakan tidak berlaku lagi sejak Januari 2008.

Sementara dua peraturan lainnya, statusnya masih menggantung. PDG No 4/13/PDG/2002 tentang Perlindungan Hukum Dalam Rangka Kedinasan Bank Indonesia dan PDG No 8/18/PDG/2006 tentang Perjalanan Dinas Anggota Dewan Gubernur BI itu masih dibahas BI dan KPK. Pembahasannya juga masih alot. Padahal nota kesepahaman untuk revisi aturan tersebut sudah digagas dua tahun silam.

Wakil Ketua KPK bidang pencegahan Haryono Umar membenarkan peraturan tentang pemberian bantuan hukum buat pejabat BI sudah dicabut. Peraturan itu diganti dengan PDG No 7/16/PDG/2005 tanggal 13 Juli 2005. Namun KPK belum mengetahui substansi perubahannya. Karena itu, KPK dan BI akan membahas kembali, apakah ketentuan yang dimuat masih bersifat multiinterpretatif atau sudah diubah.

Halaman Selanjutnya:
Tags: