Dalam Status Skorsing pun, Upah Pekerja Wajib Dibayar
Berita

Dalam Status Skorsing pun, Upah Pekerja Wajib Dibayar

Apapun bentuknya, entah skorsing atau bukan, ketika pengusaha menghalangi buruh bekerja, ia wajib membayar upah dan hak buruh lainnya.

Oleh:
IHW
Bacaan 2 Menit
Dalam Status Skorsing pun, Upah Pekerja Wajib Dibayar
Hukumonline

 

Keterangan yang dibeberkan Anton kontan membuat penasehat hukum terdakwa bingung. Kami keberatan kalau keterangannya dianggap sebagai ahli, karena jelas-jelas dia adalah saksi fakta, terang Syahril Muhammad, penasehat hukum terdakwa di persidangan.

 

Meski begitu, JPU Rini Hartatie tidak kehilangan akal. Ia lantas bertanya beberapa hal yang bisa menunjukan keahlian Anton. Mengacu pada pasal 155 Ayat (3) UU Ketenagakerjaan, selama skorsing, upah pekerja tetap harus dibayar, jelas Anton. Dengan demikian, dalam perkara ini Anton berpendapat bahwa manajemen Hotel Sultan telah melakukan pelanggaran karena tidak membayar upah Johnson dkk.

 

Wajib Dibayar

Di lain pihak, sikap penasehat hukum terdakwa dalam memandang perkara ini masih sama. Syahril Muhammad pernah menyatakan bahwa berdasarkan Kepmenakertrans No. 150 Tahun 2000, perlu dibedakan antara buruh yang tidak boleh bekerja karena skorsing, dengan buruh yang tidak boleh bekerja bukan karena skorsing. Itu dibedakan. Implikasinya juga berbeda, cetusnya saat itu.

 

Pernyataan Syahril itu kembali diungkapkan di dalam persidangan. Ia ingin menegaskan bahwa JPU keliru karena telah memaksakan pasal 186 Ayat (1) UU Ketenagakerjaan sebagai dasar hukum dakwaan. Menurutnya, karena Jhonson c.s diskorsing, maka upaya hukum yang lebih tepat untuk menagih upah selama proses itu adalah dengan menggugat di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI), bukan dengan melaporkan pidana.

 

Pasal 93 UU Ketenagakerjaan

(1) Upah tidak dibayar apabila pekerja/buruh tidak melakukan pekerjaan.

(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku, dan pengusaha wajib membayar upah apabila:

f. pekerja/buruh bersedia melakukan pekerjaan yang telah dijanjikan tetapi pengusaha tidak mempekerjakannya, baik karena kesalahan sendiri maupun halangan yang seharusnya dapat dihindari pengusaha.

Pasal 186 Ayat (1) UU Ketenagakerjaan

Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 93 ayat (2), Pasal 137 dan Pasal 138 ayat (1), dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).

 

Reytman Aruan, Kasubag Hukum dan Organisasi Ditjen Pembinaan Hubungan Industrial dan Jamsostek Depnakertrans yang didapuk JPU sebagai ahli kedua, menyanggah pendapat Syahril. Menurut Reytman, apapun jenis pelarangan terhadap pekerja, pengusaha tetap harus membayarkan upah. Apapun alasannya. Mau itu dirumahkan, diskorsing, didiamkan atau apapun, sepanjang pengusaha yang menghalang-halangi pekerja untuk bekerja, upah harus tetap dibayarkan, tegasnya.

 

Reytman lantas menyitir ketentuan Pasal 155 UU Ketenagakerjaan dimana pada intinya menjelaskan bahwa hubungan kerja hanya bisa diputuskan melalui penetapan lembaga penyelesaian hubungan industrial. Sepanjang belum diputus, baik pekerja maupun pengusaha, tetap melaksanakan kewajibannya. Pengusaha berhak menetapkan skorsing, namun ia tetap berkewajiban membayar upah dan hak pekerja yang biasa ia terima.

 

Penasehat hukum terdakwa berusaha mencari celah pada keterangan ahli. Syahril mengungkapkan bahwa pada Juni 2007, pihak manajemen sudah membayarkan gaji Johnson dkk hingga hari ini. Apakah ketentuan pasal 186 masih bisa diberlakukan ketika pengusaha belakangan sudah membayarkan upah pekerja? tanya Syahril.

 

Terhadap pertanyaan itu, Reytman lugas menjawab. Pasal 186 masih bisa digunakan, tegasnya. Menurut Reytman, secara a contrario dari pasal 189 UU Ketenagakerjaan terlihat bahwa pembayaran  upah dan hak-hak pekerja lainnya, tidak berarti menghilangkan sanksi pidana bagi pengusaha yang melanggar undang-undang.

 

Anda masih ingat dengan Acep Saefudin? Dia adalah Manajer HRD The Sultan Hotel yang kini duduk di kursi pesakitan sebagai terdakwa tindak pidana ketenagakerjaan. Acep dianggap melanggar Pasal 186 Ayat (1) UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan karena tidak membayar gaji empat pegawainya, masing-masing Jhonson Simanjuntak, Valentino Pasaribu, Rupi Parman dan Yoyo Haryono. Acep tidak membayarkan upah dan hak lainnya setelah Jhonson dkk dijatuhi hukuman skorsing sejak Desember 2006.

 

Kini persidangan perkara ini sudah memasuki tahap pembuktian. Jaksa Penuntut Umum (JPU) malah sudah melontarkan seluruh amunisi untuk menguatkan dakwaan. Semua bukti dan saksi sudah diajukan ke muka persidangan. Terakhir, JPU menghadirkan dua orang ahli untuk memberi keterangan yang bisa menguatkan dakwaan.

 

Ahli pertama yang didatangkan JPU adalah Antonius K. Waruwu. Mediator pada Disnakertrans DKI Jakarta ini menerangkan bahwa dirinya mengetahui perihal perselisihan antara Jhonson dan kawan-kawan (dkk) dengan manajemen The Sultan Hotel. Beberapa pekerja mendatangi Disnakertrans untuk mengadukan nasibnya ketika manajemen hotel itu tidak menanggapi kerisauan pekerja lantaran perubahan nama hotel, jelas Anton. Seperti diketahui, pada Agustus 2006, Hotel Hilton berubah nama menjadi The Sultan Hotel.

 

Namun apa daya. Belum juga kerisauan para pekerja terjawab, pihak manajemen malah melayangkan 'surat cinta' berisi skorsing. Setahu saya, pihak perusahaan malah memberi surat skorsing kepada para pekerja, Anton menuturkan. Sejak skorsing itu dijatuhkan, para pekerja tidak pernah menerima upahnya.

Tags: