Masih Ada LBH Kampus yang Dilarang 'Berpraktek'
Berita

Masih Ada LBH Kampus yang Dilarang 'Berpraktek'

ILRC dalam penelitiannya mengungkapkan, banyak aktivis LBH kampus yang dilarang aparat berpraktek sebagai advokat. Alasannya basi, yakni dilarang Pasal 31 UU Advokat. Padahal pasal itu sudah dibatalkan MK empat tahun lalu.

Oleh:
Ali
Bacaan 2 Menit
Masih Ada LBH Kampus yang Dilarang 'Berpraktek'
Hukumonline

Fulthoni, peneliti ILRC lebih rinci lagi. Menurutnya, aparat yang sering menggunakan Pasal 31 adalah polisi. Toni -biasa Fulthoni disapa- menjelaskan, pelarangan itu terjadi tatkala pengurus LBH kampus mendampingi kliennya di tingkat penyelidikan maupun penyidikan.

Berbeda jika kasusnya beracara di pengadilan. Pengurus LBH kampus yang non advokat tak bisa mendampingi kliennya, tanpa mengantongi izin advokat dari Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi). Rujukannya adalah surat himbauan Sekretaris Mahkamah Agung No 07/SEK/01/I/2007 tanggal 11 Januari 2007.

Keprihatinan atas ulah polisi itu lah yang disesalkan Toni. Ia dan lembaganya lantas mensosialisasikan pasal yang telah dicabut itu kepada aparat. Setelah dijelaskan, banyak aparat yang kemudian bisa menerima hal tersebut. Tapi, tak sedikit juga aparat yang keras kepala menggunakan pasal yang sudah dibatalkan MK itu.

"Ada kesalahan persepsi, bahwa LBH kampus dianggap bukan sebagai profesi advokat," tutur pria yang akrab disapa Toni itu, usai menyampaikan hasil penelitian ILRC kepada Ketua MK Jimly Asshiddiqie, di Gedung MK, Jakarta, Rabu (28/5).

Penelitian ILRC itu diamini Jimly. Guru Besar Penuh Ilmu Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI) ini mengakui masih banyak aparat yang tak mengetahui isi putusan institusinya. Ia mengungkapkan Polda Sragen pernah menyuratinya hanya untuk menanyakan isi putusan itu. "Apa benar pasal itu dicabut?" ujar Jimly, mengutip isi surat yang disampaikan Polda Seragen itu.

Sejak saat itu, Jimly baru sadar bahwa pihaknya perlu mengadakan kerja sama dengan Kapolri. Tujuannya, agar polisi di daerah mengetahui putusan MK. Dan tak lagi menggunakan pasal yang sudah dibatalkan MK itu.

Urusan Penegak Hukum

Baik Toni maupun Jimly sepakat, masalah utama dari persoalan ini adalah kurangnya sosialisasi putusan MK. "Jadi ada problem sosialiasi sehingga belum menyebar luas ke seluruh aparat yang ada di daerah," ujar Toni.

Menurut Toni, harusnya pemerintah lah yang melaksanakan peran ini. Pemerintah, lanjutnya, jangan hanya mensosialisasikan UU yang baru terbit saja. Tapi juga UU yang sudah dibatalkan melalui putusan MK. "UU yang dibatalkan itukan norma baru juga," tuturnya.

Jimly menilai, persoalan ini bukan lagi menjadi urusan MK. "Inikan masalah implementasi norma," ujar pria kelahiran Palembang, 17 April 1956 ini. Ketika norma itu tak dijalankan, katanya, maka menjadi urusan penegak hukum. Ia mencontohkan seperti halnya norma yang melarang pencurian. "Tapi, masih ada saja orang yang mencuri tiap hari," Jimly mencontohkan.

Jebolan FH UI tahun 1982 ini juga mengakui bahwa selama ini ada pihak yang mengeluh kalau putusan MK yang tak bisa dieksekusi. Namun, Jimly berkilah, "Putusan MK itu tak perlu dieksekusi, tapi harus diimplementasikan."

Masih ingat cerita Tongat? Empat tahun silam, Kepala Laboratorium Konsultasi dan Pelayanan Hukum (LKPH) Universitas Muhammadiyah Malang itu, mengukir sejarah di ranah hukum Indonesia. Tongat kala itu tersenyum dan puas tatkala Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan Pasal 31 UU No 18/2003 tentang Advokat dibatalkan, seperti yang ia minta.

Pasal itu memang sempat menjadi momok bagi para pengurus Lembaga Bantuan Hukum (LBH) kampus. Pasalnya, pengurus LBH kampus yang bukan advokat, bisa dijerat pidana bila menjalankan tugasnya dalam memberikan bantuan hukum kepada masyarakat.

Sekedar mengingatkan, Pasal 31 UU Advokat menyatakan, "Setiap orang yang dengan sengaja menjalankan pekerjaan profesi Advokat dan bertindak seolah-olah sebagai Advokat, tetapi bukan Advokat sebagaimana diatur dalam undang-undang ini, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah)."

Setelah dicabut, artinya pasal tersebut tak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat. Dan LBH kampus bisa leluasa menjalankan tugasnya sebagai pembela hukum bagi masyarakat tidak mampu. Tapi fakta berbicara lain. Ternyata, masih banyak LBH kampus yang dilarang berpraktek oleh aparat penegak hukum. Ironisnya, si aparat yang melarang itu masih saja menggunakan Pasal 31 yang nyata-nyata sudah dicabut.

Hasil penelitian Indonesian Legal Resource Center (ILRC) mengungkapkan, masalah ini timbul lantaran banyak aparat yang tidak tahu kalau pasal itu telah dicabut. Aparat yang dimaksud adalah aparat di tingkat penyelidikan dan penyidikan.

Tags: