Dihukum Peradi, Todung Banding ke KAI
Berita

Dihukum Peradi, Todung Banding ke KAI

Mengajukan ke KAI, menurut Peradi sama saja menambah persoalan baru dan bertentangan dengan semangat UU Advokat.

Oleh:
Crd/Rzk
Bacaan 2 Menit
Dihukum Peradi, Todung Banding ke KAI
Hukumonline

 

Putusan kita akan serahkan pada Majelis Ad Hoc yang harus kita jaga netralitasnya supaya memutus dengan proposionalitas dan objektivitas, ujar Roberto menegaskan objektivitas DK Adhoc.

 

Menyambung koleganya, Ahmad Yani mengatakan pembentukan DK Adhoc semata-mata karena ada permohonan diajukan. Kita tidak sekonyong-konyong saja, kalau tidak ada permohonan maka KAI tidak akan memeriksa, tukasnya. Penegasan Roberto dan Yani seolah-olah ingin menyampaikan bahwa pembentukan DK Adhoc bukanlah suatu rekayasa.

 

Apalagi, Presiden KAI Indra Sahnun Lubis mengaku telah mendapat restu dari Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan. Bagir setuju sekali, bandingnya dipercayakan kepada KAI, ungkapnya bersemangat. Indra sendiri berpendapat putusan DKD DKI Jakarta Peradi mengandung kejanggalan, karena sepanjang pengetahuannya, tidak ada pelanggaran yang dilakukan Todung.

 

Dihubungi hukumonline (17/6), Laica Marzuki membenarkan bahwa dirinya telah diminta untuk menjadi anggota DK Adhoc. Pemberitahuannya memang mendadak, beberapa hari yang lalu, tidak sampai hitungan satu minggu, imbuhnya. Karena mendadak, Laica pun mengaku belum mengetahui siapa-siapa saja yang turut menjadi anggota DK Adhoc tersebut. Soal materi perkara, Guru Besar Universitas Hasanuddin ini menolak berkomentar.

 

Menanggapi langka KAI, Ketua DKP Peradi Leonard P. Simorangkir menyerahkan sepenuhnya pada penilaian masyarakat. Ini kembali pada subjeknya dan masyarakat, tukasnya. Pada akhirnya, menurut Leonard, masyarakat yang menilai siapa yang berani menghadapi resiko dan siapa yang melarikan diri.  

 

Pengacara punya kebiasaan mencari jalan keluar dan jalan melarikan diri, cetusnya datar. Namun, Leonard menegaskan bahwa pernyataannya ini tidak mengarah pada Todung. Dia juga menolak mengomentari materi perkara tersebut. Pasalnya, prosesnya masih berjalan dan yang bersangkutan masih memiliki kesempatan waktu untuk mengajukan banding di PERADI.

 

Salah seorang Ketua DPN Peradi Denny Kailimang berharap Todung mengajukan banding melalui mekanisme yang berlaku di Peradi. Saya sudah bicara dengan dia (Todung, red.), akunya. Jika mengajukan ke KAI, Denny memandang langkah tersebut sama saja menambah persoalan baru. Oleh karenanya, ia berharap Todung berkenan mempertimbangkan untuk mengurungkan niat mengajukan banding via KAI.

 

Pikirkan dengan tenang, lebih baik mengikuti proses hukum yang berlaku di Peradi karena putusan asalnya dari sini (Peradi, red.), kata Denny. Mengajukan ke KAI berarti langkah mundur, karena semangat UU Advokat justru menginginkan proses penegakan etik yang terintegrasi di bawah satu wadah tunggal.    

 

Surat IBAHRI

Gonjang-ganjing perkara Todung ternyata juga menyita perhatian pihak di luar Indonesia. International Bar Association's Human Rights Institute (IBAHRI) sampai merasa perlu melayangkan surat ke PERADI, Senin lalu (16/6). Dalam suratnya, IBAHRI justru mengendus adanya indikasi benturan kepentingan (conflict of interest) yang mempengaruhi putusan DKD DKI Jakarta Peradi terhadap Todung.

 

IBAHRI mengkritik putusan DKD DKI Jakarta Peradi dengan merujuk pada UN Basic Principles on The Role of The Lawyers. Menurut penilaian IBAHRI, tidak ditemukan fakta bahwa adanya pelanggaran kode etik yang dilakukan Todung. Oleh karenanya, tidak selayaknya izin advokat Todung dicabut. IBAHRI pun mendesak Peradi untuk mengembalikan izin beracara Todung jika prosesnya tidak berjalan secara fair.

 

Denny Kailimang menolak mengomentari surat IBAHRI. Setahu saya memang ada (suratnya, red.) tapi belum saya baca, dalihnya. Sementara, Leonard yang juga mengaku belum membaca surat tersebut berujar singkat, Kalau organisasi luar hanya menanyakan, boleh.

Advokat senior Todung Mulya Lubis akhirnya menegaskan sikap. Merasa keberatan atas putusan Dewan Kehormatan Daerah (DKD) DKI Jakarta Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) yang mem-PHK dirinya, Todung mengajukan banding pada 11 Juni lalu. Uniknya, banding tersebut tidak dialamatkan ke Dewan Kehormatan Pusat (DKP) Peradi, tetapi ke Dewan Kehormatan (DK) Adhoc bentukan Kongres Advokat Indonesia (KAI).

 

Komposisi DK Adhoc versi KAI terdiri dari mantan Hakim Konstitusi Laica Marzuki, Guru Besar Universitas Sumatera Utara Ningrum Sirait dan Muhammad Abduh, mantan Hakim Agung Adi Andojo, dan Ahli Hukum Administrasi Negara Universitas Islam Indonesia Yogyakarta SF Marbun. Sekretaris DK Adhoc dijabat oleh TM Lutfi Yazid.

 

Dalam jumpa pers di Jakarta (17/6), Sekretaris Jenderal KAI Roberto Hutagalung mengatakan banding diajukan Todung atas instruksi Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin), tempat dimana alumnus LBH Jakarta itu bernaung. Sebagaimana diketahui, saat ini Ikadin terpecah menjadi dua yakni Ikadin pimpinan Otto Hasibuan dan Ikadin pimpinan Teguh Samudera. Yang disebut terakhir adalah Ikadin yang merapat ke KAI.

 

Roberto menjelaskan DK Adhoc dibentuk untuk mengisi kekosongan sampai DK permanen terbentuk. Selintas, langkah KAI persis sama dengan yang dilakukan Peradi ketika membentuk DKD DKI Jakarta Adhoc terlebih dahulu sebelum kemudian membentuk DKP. Dasar hukumnya pun sama, yakni Pasal 27 ayat (1) UU Advokat yang memberi kewenangan kepada organisasi advokat membentuk Dewan Kehormatan di tingkat pusat maupun daerah.

 

Walaupun beda jalur, Roberto membantah kalau dikatakan pengajuan banding ini salah alamat. Selain UU Advokat, ia menegaskan pembentukan DK Adhoc juga sejalan dengan prosedur yang berlaku di Kode Etik Advokat Indonesia (KEAI). Misalnya, terkait tenggat waktu pengajuan. Pasal 18 ayat (2) KEAI menetapkan permohonan beserta memori banding diajukan dalam 21 hari. Menurut perhitungan Roberto, putusan terhadap Todung dibacakan pada 16 Mei lalu, maka jatuh temponya 20 Juni nanti.

Halaman Selanjutnya:
Tags: