MK Rancang Penyelesaian Sengketa Pilkada Teleconference
Utama

MK Rancang Penyelesaian Sengketa Pilkada Teleconference

MK kerja sama dengan sejumlah fakultas hukum di daerah. MK menyediakan perangkat teleconference untuk memudahkan pihak berperkara. Tempatnya, di ruang pengadilan semu masing-masing fakultas hukum.

Oleh:
Ali
Bacaan 2 Menit
MK Rancang Penyelesaian Sengketa Pilkada Teleconference
Hukumonline

 

Penggunaan teleconference ini memang bukan hal yang baru di MK. Hakim Konstitusi Mukhtie Fadjar menyatakan pada penyelesaian perselisihan hasil Pemilu 2004, MK telah menggunakan metode ini. Kala itu, MK meminjam fasilitas yang dimiliki Mabes Polri untuk melakukan pemeriksaan jarak jauh melalui video conference terhadap saksi-saksi yang ada di daerah.  

 

Namun, kebijakan MK ini bukan tanpa kekurangan. Sengketa Pilkada dan Pemilu yang sering menyulut kerusuhan bisa berkembang ke kampus. Bila pada Pemillu 2004, proses aman-aman saja tak lain karena tempat persidangan teleconference dilakukan di sejumlah Polres. Jimly bukan tak tahu hal ini. Karenanya, ia meminta agar hal ini dibahas dalam Rapat Koordinasi MK, Dekan Fakultas Hukum dan Pusat Kajian Konstitusi di Jakarta, 20-22 Juni 2008.

 

Hukum Acara

Bila persoalan teknis hampir beres, MK masih punya segudang pekerjaan yang harus dilakukan. Diantaranya, adalah mempersiapkan hukum acara terkait kewenangan MK dalam memutus sengketa perselisihan hasil Pilkada. Kewenangan baru saja diberikan dengan keluarnya UU No.12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah (Pemda). Revisi UU Pemda itu memang telah mengalihkan sengketa Pilkada dari MA ke MK.   

 

Mukhtie menyatakan saat ini MK telah menyiapkan draft Peraturan MK tentang penyelesaian perselisihan hasil penghitungan suara Pilkada. Ia mengatakan walau UU MK dan Revisi UU Pemda belum mengatur hukum acaranya, tapi pada dasarnya tata caranya hampir sama dengan perselisihan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.

 

Rancangan Hukum Acara Perselisihan Hasil Pilkada

Versi Mukhtie Fadjar

 

a)      Pemohonnya adalah pasangan calon kepala daerah/wakil kepala daerah;

b)      Termohonnya adalah KPU Provinsi atau Kabupaten/Kota;

c)       Objek yang diperselisihkan adalah penetapan hasil penghitungan suara pilkada yang dilakukan KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota;

d)      Tenggat pengajuan keberatan 3x24 jam setelah KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota menetapkan hasil penghitungan suara pilkada;

e)      Tenggat penyelesaiannya oleh MK untuk memutus perselisihan hasil pilkada adalah 14 hari kerja sejak permohonan keberatan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi.

 

Sumber: Naskah Pidato Mukhtie dalam rapat koordinasi MK, Dekan FH, dan Pusat Kajian Konstitusi

 

Sedangkan Jimly menawarkan penyelesaian sengketa hasil pilkada ala MK yang berbeda dengan yang dilakukan MA sebelumnya. Pertama, bila di MA ada pemisahan Pilkada Kabupaten/Kota yang diselesaikan di Pengadilan Tinggi dan Pilkada Gubernur di MA, maka di MK berbeda. Karena tak punya cabang di daerah, maka MK akan menyelesaikan semua sengketa hasil pilkada langsung dari Jln. Medan Merdeka Barat No. 6 Jakarta.

 

Kedua, Jimly berjanji akan memanggil semua pihak terkait untuk didengar keterangannya. Kalau di MA, contoh Jimly, saat sengketa pilkada Depok yang diajukan oleh Badrul Kamal, pihak terkait Nurmahmudi Ismail tak dipanggil oleh Pengadilan Tinggi Jawa Barat. Nurmahmudi hanya mengirim surat saja.

 

Namun, nanti di MK akan berbeda. Bahkan, Jimly mengatakan tak hanya pihak yang vis a vis bersaing saja yang dipanggil, tapi semua pasangan yang ikut proses pilkada. Kalau ada lima pasangan akan kita panggil semua, tambahnya. Ia beralasan bila ada suara yang dibatalkan, maka akan mempengaruhi perolehan semua pasangan.

 

Jimly memang harus berusaha seadil mungkin. Kalau di MA masih dikenal upaya peninjauan kembali (PK), maka di MK tak ada upaya itu. Sifat putusan MK adalah final dan mengikat. Ketika diketok palu, putusan harus dianggap sudah benar. Tinggal laksanakan. Kalau tak puas silahkan mengadu ke Allah SWT, pungkasnya.

Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie pernah mengatakan kultur yang sedang ia coba bangun di MK adalah kultur akademis. Ia mengungkapkan tugas seorang hakim konstitusi hanya tiga. Membaca sebanyak-banyaknya, berdebat sekeras-kerasnya, dan menulis sesering mungkin, tuturnya beberapa waktu lalu. Latar belakang sejumlah hakim konstitusi memang mendukung hal tersebut. Mereka adalah pengajar di sejumlah perguruan tinggi, bahkan tak sedikit yang menyandang gelar guru besar ilmu hukum.   

 

Proyek teranyarnya kembali menegaskan bahwa MK merupakan lembaga negara yang academic oriented. Dalam proyek penempatan teleconference, MK tak melakukan kerja sama dengan lembaga penegak hukum lain. Tapi justru melakukan kerja sama dengan Dekan Fakultas Hukum dari 33 Provinsi. Kerja sama ini terkait tugas MK dalam menyelesaikan sengketa perselisihan pemilihan kepala daerah (Pilkada) serta pemilihan umum (Pemilu).  

 

Jimly berharap kerja sama ini akan membuat peradilan menjadi efektif dan efisien. Kalau ada sidang, (pihak berperkara,-red) tak perlu ke Jakarta, jelasnya di Jakarta, Jumat (20/6). Nantinya, tambah Jimly, persidangan tetap dilakukan di MK tetapi untuk pembuktian atau mendengarkan keterangan saksi maupun ahli bisa dilakukan di masing-masing daerah.

 

Lebih lanjut, Jimly menegaskan upaya ini merupakan bentuk pengajaran dalam memanfaatkan teknologi informasi. Mahasiswa juga akan mendapatkan manfaatnya. Selain bisa merasakan suasana sidang sesungguhnya, peralatan teleconference ini bisa juga menjadi multifungsi untuk kuliah online yang sedang dirintis Jimly. Apalagi, dana yang dikeluarkan juga tak terlalu mahal. Hanya 250 juta per alat (teleconference,-red), ungkap Sekretaris Jenderal MK Janedjri M. Gaffar.

 

Uniknya, lokasi yang dijadikan tempat teleconference adalah ruang sidang pengadilan semu (mootcourt) di fakultas hukum tersebut. Ruang itu akan disulap menjadi ruang sidang yang nyata, tak lagi semu. Nantinya bisa jadi ruang pengadilan MK, jelas Guru Besar Hukum Tata Negara (HTN) Universitas Indonesia ini.

Tags: