Menggugat Pasal 29 UU Kepailitan
Oleh: Imam Nasima *)

Menggugat Pasal 29 UU Kepailitan

Perdebatan mengenai hak buruh dalam proses kepailitan yang bersumber dari permohonan uji konstitusionalitas yang diajukan serikat buruh Federasi Ikatan Serikat Buruh Indonesia (FISBI), barangkali masih lekat di telinga kita.

Bacaan 2 Menit
Menggugat Pasal 29 UU Kepailitan
Hukumonline

 

Harta Pailit dan Kewenangan Debitor Pailit

Prinsip paling mendasar dari kepailitan adalah jatuhnya sita umum atas segala harta kekayaan debitor. Begitu dirinya dinyatakan pailit, maka pada prinsipnya segala harta kekayaan debitor akan dianggap sebagai sebuah hal yang harus dilihat lepas dari penguasaan debitor, menjadi apa yang disebut harta pailit. Pasal 21 telah dengan tegas menyatakan bahwa kepailitan meliputi seluruh kekayaan debitor saat putusan pailit diucapkan, berikut segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan.

 

Meski begitu, UU Kepailitan membuka adanya beberapa perkecualian dari aturan umum di atas. Dalam beberapa hal, bukan tidak mungkin harta kekayaan debitor dapat dikecualikan dari harta pailit. Tentu, apabila ada dasar yang sahih untuk pengecualian, seperti misalnya pengecualian benda yang benar-benar dibutuhkan debitor pailit untuk menyambung hidupnya (pasal 22).

 

Kembali ke prinsip harta pailit. Dengan adanya sita umum yang melingkupi seluruh harta kekayaan debitor pailit, bahkan termasuk melingkupi apa yang diperoleh harta ini selama proses kepailitan berlangsung, maka logis apabila debitor pailit kehilangan haknya untuk menguasai dan mengurus harta kekayaan yang telah menjadi harta pailit (pasal 24 ayat 1).

 

Sehingga dapat disimpulkan, harta kekayaan debitor yang dinyatakan pailit dianggap sebagai sebuah kesatuan terpisah dari debitor bernama harta pailit dan debitor tidak lagi berhak untuk menguasai dan mengurus harta tersebut. Pertanyaannya, siapa yang kemudian berwenang mengurus harta tersebut? Menurut UU Kepailitan kuratorlah yang mendapat tugas untuk melaksanakan kewenangan ini (pasal 69 ayat 1 UU Kepailitan).

 

Sampai di sini, mungkin masalah belum begitu rumit. Akan menjadi menarik untuk kemudian mempertanyakan: bagaimana dengan status gugatan/tuntutan hukum yang sedang berjalan? Apabila debitor tidak lagi berhak menguasai dan mengurus harta kekayannya, maka gugatan/tuntutan hukum yang ditujukan atau akan berpengaruh pada harta kekayaan tersebut tidak lagi dapat diperjuangkan/dipertahankan oleh debitor pailit. Lalu bagaimana nasib gugatan/tuntutan hukum yang masih berjalan tersebut?

 

Gugatan dan Tuntutan Hukum yang Sedang Berjalan

Setelah memahami hakekat harta pailit dan berpindahnya hak pengurusan debitor pailit seperti telah dijelaskan di atas, maka akan sangat mudah untuk memahami logika UU Kepailitan. Karena hubungan debitor dan harta kekayaannya telah digantikan dengan hubungan kurator dan harta tersebut, tentu masuk akal apabila segala tuntutan mengenai hak dan kewajiban harta pailit (dulunya harta kekayaan debitor) juga mungkin menjadi tanggung jawab kurator. Karena, pada prinsipnya, kuratorlah yang akan memperjuangkan/mempertahankan hak yang mengalir dari harta pailit (pasal 26 ayat 1). Namun begitu, apabila pihak penggugat dalam suatu proses gugatan yang melibatkan debitor pailit memang sengaja meneruskan perkara tersebut terhadap debitor pailit, maka debitor sendirilah yang akan menanggung akibatnya (pasal 26 ayat 2). Dengan pertimbangan, keputusan untuk hal ini tetap ada pada pihak penggugat.

 

Pada prinsipnya, perkara yang sedang berjalan yang berhubungan dengan debitor pailit dapat kita bedakan menjadi dua: (1) gugatan yang diajukan oleh debitor dan (2) tuntutan hukum terhadap debitor. Untuk kedua hal tersebut, UU Kepailitan telah menetapkan dua ketentuan yang berbeda pula.

 

Apabila debitor bertindak sebagai penggugat dalam sebuah perkara yang sedang berjalan, maka ada tiga situasi yang mungkin terjadi.

 

Pertama, tergugat dapat meminta hakim untuk menangguhkan perkara tersebut dan memberi kesempatan kepada kurator untuk mengambil alih (pasal 28 ayat 1). Apabila kurator mengambil alih perkara tersebut, maka hak dan kewajiban debitor sepenuhnya akan menjadi hak dan kewajiban kurator sebagai pengurus harta pailit.

 

Kedua, jika kurator menolak untuk menghadap atau menolak mengambil alih perkara tersebut, maka tergugat berhak memohon supaya perkara tersebut digugurkan (pasal 28 ayat 2 dan 3).

 

Ketiga, apabila kurator menolak untuk mengambil alih perkara tersebut dan permohonan menggugurkan perkara tidak dimohonkan, maka perkara tersebut akan tetap berjalan antara debitor sebagai penggugat dengan pihak lawannya (pasal 28 ayat 2). Ketentuan-ketentuan tersebut tidak mengurangi kewenangan kurator untuk mengambil alih perkara dari debitor (pasal 28 ayat 4) dan hak kurator untuk meminta pembatalan atas perbuatan debitor sebelumnya, sepanjang perbuatan tersebut merugikan harta pailit dan pihak lawan mengetahui hal ini (pasal 30).

 

Meskipun UU Kepailitan cukup jeli dan hati-hati dalam mengatur situasi di mana debitor bertindak sebagai penggugat, tidak begitu halnya dengan situasi di mana debitor bertindak sebagai tergugat. Menurut UU Kepailitan, tuntutan hukum terhadap debitor yang perkaranya sedang berjalan di pengadilan dan bertujuan untuk memperoleh pemenuhan kewajiban dari harta pailit, dianggap gugur demi hukum dengan adanya putusan pernyataan pailit (pasal 29).

 

Adanya aturan tersebut tentu sangat merugikan pihak penggugat debitor (yang kemudian) pailit. Hal ini setidaknya dapat dinilai dari dua sudut pandang.

 

Pertama, secara teoretis sulit mempertahankan pendapat bahwa hak-hak penggugat dapat dihilangkan begitu saja, hanya karena adanya putusan pailit. Belum tentu seorang debitor yang dinyatakan pailit meninggalkan harta kekayaan yang nilainya nol. Tegasnya lagi, apabila ada pihak mengajukan gugatan di Pengadilan, sudah pasti ada sebuah usaha untuk meraih pemenuhan hak berdasar kebenaran. Paling tidak, kebenaran menurut pihak tersebut. Proses peradilan sendiri ditujukan sebagai sebuah forum untuk memperjuangkan kebenaran obyektif, dengan kata lain, dengan memperhatikan kebenaran dari sudut pandang pihak-pihak yang berselisih. Bukankah akan sangat mudah bagi kurator untuk cukup tidak mendatangi sidang tersebut demi menghindari adanya tagihan baru dan membiarkan debitor tetap menanggung sendiri penghukuman yang mungkin dijatuhkan terhadapnya (pasal 26 ayat 2)? Apakah ini adil bagi pihak penggugat?

 

Kedua, secara praktis akan sulit menentukan dasar alasan dan nilai tagihan yang – karena tidak dapat dipastikan lewat proses gugatan yang gugur – diajukan kepada kurator. Tagihan tersebut belum tentu berdasar, karena masih mengandung sengketa. Apa yang membuat seorang kurator yakin bahwa tagihan tersebut benar adanya? Besar kecilnya jumlah tagihan barangkali masih bisa diperselisihkan dalam rapat pencocokan, tapi kalau menyangkut dasar tagihan itu sendiri? Selain masalah tersebut, ada masalah yurisdiksi yang akan mempersulit tugas Hakim Pengawas. Katakanlah sengketa tersebut menyangkut hak-hak pekerja. Apakah sengketa tersebut akan diputuskan sendiri oleh Hakim Pengawas atau Majelis Hakim melalui prosedur renvoi?

 

Dari pengalaman seorang hakim niaga senior pada PN Jakarta Pusat, penulis mendengar adanya pendapat untuk mengembalikan permasalahan tersebut kepada Majelis Hakim Pengadilan Hubungan Industrial (PHI). Alasannya, selain masalah yurisdiksi atau kewenangan, seperti sudah penulis kemukakan di atas, akan tidak adil bagi buruh (penggugat) jika hak mereka dikesampingkan begitu saja.

 

Mungkin timbul pertanyaan: kalau tidak diatur seperti itu, maka seperti apa pilihannya? Dalam hal ini, menurut hemat penulis, akan menarik untuk melihat ketentuan serupa di dalam UU Kepailitan 1998 dan Faillissementswet Belanda.

 

Sekilas Perbandingan     

Sebelum dilakukan perubahan pada tahun 2004, ketentuan di dalam UU Kepailitan 1998 sebenarnya memberi ruang yang lebih adil untuk sengketa gugatan terhadap debitor yang (bisa jadi) dilanjutkan oleh kurator (d/h Balai Harta Peninggalan).

 

Menurut pasal 27 UU Kepailitan 1998, pihak yang mengajukan tuntutan hukum terhadap debitor (yang kemudian) pailit, berhak untuk menarik Balai Harta Peninggalan (istilah yang dulu juga dapat berarti kurator) dalam sengketa perkara yang sedang berlangsung (ayat 1). Apabila Balai Harta Peninggalan (BHP) mengambil alih perkara tersebut, maka debitor pailit demi hukum dibebaskan dari perkara bersangkutan (ayat 2). Akibatnya, dalam proses selanjutnya, BHP-lah yang akan bertanggung jawab atas nama harta pailit.

 

Apabila BHP sewaktu menghadap hakim langsung mengakui gugatan tersebut, maka biaya perkara akan dianggap di luar tanggung jawab harta pailit (ayat 3). Tapi jika BHP membantah gugatan tersebut dan melanjutkan proses perkara, sementara pada akhirnya gugatan dikabulkan, maka gugatan yang dikabulkan tersebut akan dianggap sebagai utang harta pailit. Logikanya, setelah diambil alih oleh BHP, maka sengketa yang terjadi adalah sengketa antara penggugat dan BHP atas nama harta pailit. Apa yang akan terjadi apabila BHP tidak hadir di persidangan? Bukankah gugatan akan berlanjut terhadap debitor dan – apabila kemudian gugatan dikabulkan – penghukuman terhadap debitor tidak mengikat harta pailit (pasal 24 ayat 2 UU Kepailitan 1998)?

 

Untuk mengantisipasi adanya ketentuan di atas, maka pasal 27 UU Kepailitan 1998 mengatur adanya perkecualian atas ketentuan tersebut (ayat 4). Intinya, kalau memang gugatan atas debitor pailit akhirnya dikabulkan, BHP tidak bisa menghindari pertanggungjawaban harta pailit, dengan membiarkan gugatan tersebut terus diajukan terhadap debitor. Bukankah pihak penggugat telah memberi kesempatan pada kurator untuk mengambil alih?

 

Kalau tidak ada perkecualian seperti ini, maka BHP atas nama harta pailit akan dengan mudah menghindari kemungkinan pertanggungjawaban atas materi gugatan, cukup dengan tidak menghadiri sidang. Sementara pemenuhan kewajiban yang dituntut, bersumber dari (dulunya) harta kekayaan debitor yang kemudian menjadi harta pailit.

 

Dalam hal ini terlihat adanya perlindungan yang memadai bagi hak penggugat. Memang benar bahwa gugatan yang diajukan penggugat belum tentu benar. Namun, gugatan tersebut belum tentu pula salah, bukan?

 

Apabila ketentuan tersebut dianggap merupakan sebuah ketentuan yang lapuk, karena merupakan bagian dari UU Kepailitan lama, maka ada baiknya melihat ketentuan terbaru dalam Faillissementswet yang masih berlaku di Belanda sampai saat ini (terakhir diubah pada tahun 2002 dan berlaku efektif sejak 1 januari 2003).

 

Logika yang dipakai oleh Faillissementswet tidak berbeda dengan logika yang digunakan oleh UU Kepailitan 1998. Pada intinya, penggugat berhak untuk memohon adanya penangguhan, apabila tergugat dinyatakan pailit. Penangguhan tersebut ditujukan untuk memberi kesempatan memanggil kurator (art. 28 lid 1 Faillissementswet). Kehadiran kurator akan berakibat pada tersingkirnya debitor dari perkara tersebut (lid 2). Kuratorlah (atas nama harta pailit) yang kemudian menjadi pihak yang menggantikan posisi debitor.

 

Persis seperti ketentuan di dalam UU Kepailitan 1998, pengakuan kurator akan membebaskan harta pailit dari kewajiban membayar biaya perkara (lid 3). Sebaliknya, apabila kurator tetap meneruskan perkara tersebut dan pada akhirnya dijatuhi hukuman, maka biaya perkara dan gugatan yang dikabulkan akan menjadi utang harta pailit. Begitu pula dengan ketentuan yang mengatur adanya perkecualian atas pertanggungjawaban harta pailit seperti sudah disinggung di atas tadi (pasal 27 ayat 4 UU Kepailitan/art. 28 lid 4 Faillissementswet).

 

Kesimpulannya, ketentuan dalam UU Kepailitan 1998 justru memberikan perlindungan hukum yang lebih baik dari UU Kepailitan 2004 menyangkut hak penggugat terhadap kekayaan debitor (yang kemudian) pailit, begitu pernyatan pailit diucapkan. Lalu apa yang bisa dilakukan oleh pihak-pihak yang berada dalam posisi penggugat seperti ini untuk memperjuangkan haknya atas jaminan dan perlindungan hukum yang memadai?

 

Hak Penggugat sebagai Hak Konstitusional?

Sebagaimana sudah dituturkan di atas, ketentuan pasal 29 UU Kepailitan telah mengebiri hak penggugat atas suatu proses peradilan yang adil, yaitu dengan menyatakan gugatan penggugat terhadap debitor (yang kemudian) pailit gugur demi hukum. Dalam prakteknya pun, jika akhirnya penggugat mencoba untuk mengajukan tuntutannya melalui proses pencocokan dalam kepailitan (hingga mungkin akhirnya timbul perselisihan dengan kurator), tak mudah bagi Hakim Pengawas atau Majelis Hakim – apabila ada prosedur renvoi – untuk memutuskan sengketa yang ada di luar yurisdiksinya.

 

Situasi seperti ini akan selalu berpotensi mengundang masalah hukum. Bagi penggugat, nasibnya akan sangat tergantung pada kebijakan Hakim Pengawas dan/atau Majelis Hakim-nya saja. Sejauh mana hakim akan menggunakan diskresinya untuk memerintahkan penyelesaian perkara tersebut pada pengadilan yang bersangkutan, serta kekuatan hukum penggunaan diskresi seperti ini, sementara ketentuan UU Kepailitan telah menyatakan proses di pengadilan tersebut gugur demi hukum. Bukankah sebenarnya ketentuan UU tersebut tetap dianggap berlaku? Dan gugurnya perkara tersebut terjadi tanpa perlu ada tindakan hakim; gugatan gugur demi hukum. Jurang antara norma dan rasa keadilan yang nyata, akibat adanya ketentuan pasal 29, tentu telah menghilangkan adanya kepastian hukum bagi khalayak pencari keadilan; dalam hal ini penggugat debitor (yang kemudian) pailit.

 

Kegagalan ketentuan pasal 29 memberikan jaminan dan perlindungan hukum yang memadai bagi penggugat debitor pailit, akan berakibat timbulnya pelanggaran atas hak konstitusional penggugat. Menurut pasal 28D ayat 1 UUD 1945, hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil adalah hak yang dijamin di dalam konstitusi. Sehingga, tidak tertutup kemungkinan bagi pihak yang haknya dilanggar, untuk mengajukan permohonan pengujian pasal tersebut ke MK.

 

Tulisan ini sedikit banyak telah mencoba untuk mengupas adanya masalah yang ditimbulkan oleh pasal 29 UU Kepailitan, berikut kemungkinan jalan keluar yang lebih adil yang bahkan sudah diatur di dalam UU Kepailitan lama. Paling tidak, pihak yang berkepentingan (penggugat debitor yang kemudian dinyatakan pailit) dapat menggunakan argumen -argumen dalam tulisan ini untuk mendalilkan adanya pelanggaran konstitusional yang ditimbulkan pasal tersebut.

 

Sehubungan dengan prasyarat formil yang diatur di dalam hukum acara MK, tentu masih perlu dilihat dulu situasi dan kondisi kasus per kasus, sehubungan dengan penyusunan argumentasi menyangkut kedudukan hukum (legal standing) pihak bersangkutan. Untuk hal ini, ada ruang dan waktu yang lebih tepat. Yang jelas, siapa saja yang berada dalam posisi penggugat debitor (yang kemudian) pailit, terkait ketentuan pasal 29, berhak mengajukan permohonan pengujian ini. Barangkali FISBI tertarik mengajukannya lagi?

 

-----

*) Peneliti pada Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK).  

Beberapa waktu yang lalu, dalam forum ini penulis bersama dengan Eryanto Nugroho, telah membahas permasalahan yang intinya bersumber pada pembagian harta pailit. Tak lama berselang, dapat kita baca pula tulisan Ricardo Simanjuntak dengan tema yang kurang lebih serupa. Di samping membahas permasalahan pembagian harta pailit, Ricardo Simanjuntak juga menyinggung putusan Mahkamah Konstitusi (Putusan No. 2/PUU-VI/2008) yang menyatakan tidak menerima permohonan yang diajukan oleh FISBI.

 

Pertimbangan Mahkamah Konstitusi (MK) yang tidak menerima permohonan tersebut, dengan alasan Mahkamah menilai para Pemohon tidak bersungguh-sungguh membuktikan kerugian hak-hak konstitusionalnya yang diakibatkan oleh berlakunya pasal-pasal UU Kepailitan dan PKPU yang dimohonkan pengujian, mungkin telah dapat diterima oleh pihak pemohon. Paling tidak, sebelum memutus, MK telah cukup bijaksana memberikan waktu yang wajar bagi pihak pemohon untuk mengajukan bukti-bukti yang melambari permohonannya. Ternyata, sampai waktu yang telah ditentukan, pemohon gagal memenuhi permintaan MK.

 

Bagaimanapun juga, setelah mempelajari duduk perkara sebenarnya, penulis melihat masih ada satu permasalahan tersisa yang belum terbahas dalam artikel penulis sebelumnya. Pokok permohonan yang diajukan oleh FISBI ternyata menyangkut dua hal yang sama sekali terpisah: (1) permohonan uji konstitusionalitas pasal 29 UU Kepailitan dan (2) permohonan uji konstitusionalitas pasal 55, 59 dan 138 UU Kepailitan. Dua hal yang sama sekali terpisah, karena di sini ada dua pokok perkara berbeda yang dimohonkan: (1) menyangkut gugurnya tuntutan hukum terhadap debitor pailit dan (2) posisi istimewa kreditor separatis terhadap hak atas pembayaran upah dan hak-hak buruh. 

 

Pada kesempatan kali ini, penulis tidak akan mengupas lagi materi poin kedua di atas. Pendapat penulis mengenai tingkatan/urutan tagihan kreditor dalam proses kepailitan dapat anda baca dalam tulisan penulis dan Eryanto Nugroho sebelumnya.

 

Apa yang menurut penulis masih perlu diulas panjang lebar lagi di sini, adalah poin pertama, yaitu mengenai gugurnya tuntutan hukum terhadap debitor pailit. Sebelum kita melangkah ke pokok permasalahan ini, maka ada baiknya untuk menyegarkan kembali ingatan kita mengenai prinsip-prinsip kepailitan, yaitu mengenai ruang lingkup kepailitan (pasal 21) dan hilangnya kewenangan debitor setelah dirinya dinyatakan pailit (pasal 24).

Halaman Selanjutnya:
Tags: