Cara Membongkar KDRT melalui Peradilan Agama
Resensi

Cara Membongkar KDRT melalui Peradilan Agama

Meski di luar kewenangannya, peradilan agama merupakan institusi strategis untuk menelusuri suatu tindak KDRT. Hakim pengadilan agama pun harus memaksimalkan perannya.

Oleh:
M-3
Bacaan 2 Menit
Cara Membongkar KDRT melalui Peradilan Agama
Hukumonline

 

Sementara pada kenyataannya, masalah KDRT bisa dibilang barang baru bagi para hakim peradilan agama. Para hakim tersebut perlu berbekal pengetahuan mengenai KDRT untuk dapat menyelesaikan perkara agar seirama dengan rasa keadilan yang diinginkan oleh masyarakat. Penguasaan UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU KDRT) saja bukanlah bekal yang cukup. Persoalan KDRT perlu juga disampaikan dalam perspektif hukum Islam sebagaimana juga hukum nasional.

 

Melihat keadaan tersebut dan berbekal cukupnya pengalaman di lapangan, Komnas Perempuan menerbitkan sebuah buku berjudul Referensi bagi hakim peradilan agama tentang Kekerasan dalam rumah tangga. Buku yang merupakan hasil kerja sebuah tim penulis, yang terdiri dari Faqihuddin Abdul Kodir dan Ummu Azizah Mukarnawati, serta Lies Marcoes, bisa dibilang lebih tepat sebagai suatu diktat yang berisi panduan-panduan teoritis dan praktis.

 

REFERENSI BAGI HAKIM PERADILAN AGAMA

TENTANG KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

 

Tim Penulis: Faqihuddin Abdul Kodir & Ummu Azizah Mukarnawati

Editor: Ismail Hasani

Penerbit: Komnas Perempuan

Tahun: April 2008

 

Buku yang terdiri dari lima bab ini diawali dengan bab pendahuluan yang berisi latar belakang dibuatnya buku ini. Bab ini menjelaskan tentang peran strategis pengadilan agama dalam rangka menghapus segala jenis KDRT. Untuk itulah penulis merasa perlu untuk memulai buku ini dari suatu teks agama, yaitu fiqh.

 

Fiqh yang dipahami dalam hukum Islam sebagai Ilmu yang membahas mengenai hukum-hukum syari'at menyangkut perbuatan-perbuatan manusia, yang dipahami dari teks-teks syar'i yang kasuistis ini dianggap fleksibel. Anggapan ini muncul karena fiqh lahir, hidup, dan bergelut bersama realitas. Namun demikian, fiqh tetap berdasarkan panduan-panduan dan dasar-dasar dari teks-teks; yaitu al-Qur'an dan Hadist. Panduan-panduan yang fleksibel ini diharapkan dapat diterapkan ke dalam penyelesaian perkara KDRT.

 

His story

KDRT memang sulit dilepaskan dari permasalahan ketimpangan gender. Pembahasan mengenai relasi yang adil antara laki-laki dan perempuan menjadi inti Bab II buku ini. Serangkaian penjelasan mengenai ketimpangan gender diuraikan, dengan didukung oleh faktor historis dan sosiologis, serta adanya contoh-contoh putusan hakim. Pengakuan-pengakuan korban KDRT juga dapat membuka cakrawala serta pintu hati hakim dalam memandang suatu perkara KDRT. Hal ini pun disambut positif oleh Kunthi Tridewiyanti yang merupakan Ketua Asosiasi Pengajar dan Peminat Hukum Berperspektif Gender (APPHGI) se-Indonesia.

 

Penggambaran ketimpangan gender dalam bab ini juga didukung dengan adanya gambar garis dominasi dan hegemoni antara laki-laki dan perempuan. Gambar ini menunjukkan adanya perebutan pengaruh dan penguasaan antara laki-laki dan perempuan, yang biasanya lebih condong ke laki-laki. Misalnya saja, istilah sejarah dalam Bahasa Inggris disebut sebagai history dari his story. Yang dicatat dan diapresiasi adalah sejarah para lelaki.

 

Terkait dengan kekuasaan, bab ini juga menggambarkan roda kekerasan yang merupakan akibat dari ketimpangan kekuasaan laki-laki dibandingkan perempuan. Hal ini menyebabkan munculnya sudut pandang laki-laki dalam berbagai produk hukum. Salah satu bentuknya tercermin dalam definisi pemerkosaan dalam Pasal 285 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Pasal ini menjelaskan bahwa perkosaan terjadi harus bukan pada istri sendiri dan harus dalam bentuk hubungan seksual. Selain itu, tidak dianggap sebagai KDRT. Berangkat dari permasalahan ketimpangan gender tersebut, bab ini pada akhirnya merumuskan perspektif hukum yang adil bagi gender.

 

Adil bagi gender

Perspektif hukum yang adil bagi gender ini kemudian dilihat aplikasinya berdasarkan KDRT dalam perspektif Islam pada Bab III. Penyelesaian permasalahan KDRT dalam Pengadilan Agama memang pada akhirnya akan mengacu pada Hukum Islam. Dalam hal ini, tim penulis menyatakan bahwa Tauhid dapat dijadikan basis relasi yang adil.

 

Ketua Pengadilan Tinggi Agama Jakarta A. Nawawi Ali mengaku tertarik dengan pembahasan bab III. Nawawi menjelaskan, pada saat peluncuran buku ini (2/7),  bahwa sejak awal dikumandangkan, Islam merupakan pembawa rahmat bagi seluruh alam. Islam memperbaiki, mengangkat, dan mensejajarkan kedudukan status laki-laki dan perempuan yang terbukti pada ayat-ayat Alqur'an dan Sunnah Rasul, ujarnya.

 

Sementara kelanjutan mengenai ketimpangan aplikasi hukum yang adil bagi gender dalam perspektif hukum nasional dibahas secara lebih lanjut dalam bab IV. Bab ini menjelaskan bahwa jenis kekerasan yang diatur dalam UU KDRT dapat dikatakan lebih variatif dibandingkan dengan pemahaman pada KUHP. Variasi ini menunjukkan bahwa selain kekerasan seksual, UU KDRT juga mengenal adanya kekerasan ekonomi dan kekerasan psikis.

 

UU KDRT juga mengenal pengakuan hak-hak korban secara terpadu sehingga korban tidak perlu bolak-balik untuk memperjuangkannya. Namun demikian, persoalan KDRT ini memang bukan kewenangan hakim pengadilan agama, ujar Zainuddin Fajari, Direktur Pratalak PPA Ditjen Badilag Mahkamah Agung Republik Indonesia. Hakim bersifat pasif merupakan asas yang dijunjung tinggi dalam penyelesaian perkara perdata, tambah Zainuddin.

 

Mengenai penanganan KDRT di Pengadilan Agama merupakan pembahasan dalam Bab V buku ini. Dalam menyelesaikan perkara, Hakim Pengadilan Agama seharusnya lebih berpihak pada korban KDRT. Kiranya diktat ini dapat menjadi bahan pembelajaran bagi para hakim Pengadilan Agama untuk merealisasikan hal tersebut.

 

Meski buku ini ditujukan sebagai panduan Hakim Pengadilan Agama, buku ini juga dapat menjadi referensi bagi siapapun yang membacanya. Misalnya saja, bagi para korban KDRT yang belum siap mengungkap penderitaannya. Membaca buku ini dapat menjadi sarana untuk mengatakan bahwa mereka bukan satu-satunya korban. Hal tersebut bisa menjadi suatu kekuatan positif bagi para korban KDRT dan memberikan panduan langkah apa yang harus mereka tempuh. Ke Pengadilan Agama, misalnya.

 

Sebab, mengutip hal 79 buku ini, bahwa Pengadilan Agama adalah pintu pertama terkuaknya berbagai kekerasan dalam rumah tangga yang sebelumnya tertutup rapi di tengah rumah tangga, dapat dikatakan memang benar adanya.

 

Dari sekian pujian terhadap diktat ini, ada satu kritikan yang disuarakan oleh hakim agung Abdul Gani saat menjadi keynote speaker acara peluncuran, Sayang, ada satu hal yang mengganggu di cover ini hakim wanitanya tidak berjilbab, ujarnya yang langsung disambut riuh tawa hadirin.

Perkara Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) bukanlah hal baru yang terjadi di Indonesia. Bahkan, jumlahnya semakin meningkat. Tayangan infotainment dapat menjadi salah satu buktinya. Seringkali infotainment menayangkan adanya artis yang menjadi korban ataupun pelaku tindak KDRT. Tidak sedikit pula yang akhirnya berakhir dengan perceraian.

Apa yang dialami para artis itu mungkin hanya segelintir dari banyaknya perkara KDRT yang terjadi di Indonesia. Hanya kebetulan mereka adalah public figure sehingga perkaranya di-blow up oleh media-media. Pada kenyataannya, masih banyak lagi perkara KDRT yang menimpa keluarga-keluarga di Indonesia. Selama tahun 2007 saja, tercatat ada 8.555 kasus KDRT yang ditangani oleh 43 pengadilan agama.

 

KDRT memang bukan sembarang kekerasan. Masalah keluarga yang selayaknya disimpan di masing-masing rumah memang sulit untuk dibawa keluar. Banyak korban KDRT yang memilih mendekam di rumah karena malu dan takut untuk mengakui bahwa mereka memang korban. Untuk itulah, diperlukan lembaga-lembaga yang dapat membantu mereka keluar dari derita KDRT. Mengingat banyaknya korban KDRT adalah perempuan, maka Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) adalah salah satu lembaga yang banyak terlibat dalam menyelesaikan suatu perkara KDRT.

 

Setelah sepuluh tahun berjuang mencari keadilan bagi korban KDRT, Komnas Perempuan melihat adanya kelemahan dalam penegakan keadilan bagi korban KDRT. Terlebih lagi bagi mereka yang memilih jalan perceraian sebagai solusi akhir. KDRT memang seharusnya merupakan bagian dari peradilan umum. Namun, dalam hal terjadi perceraian, pada akhirnya hal tersebut menjadi kewenangan pengadilan agama.

Tags: