Desa Ustadz yang Keturunan Maling
Jeda

Desa Ustadz yang Keturunan Maling

Lidah tak terjaga petinggi Kejaksaan bisa kembali meruntuhkan bangunan citra yang tengah direnovasi.

Oleh:
NNC
Bacaan 2 Menit
Desa Ustadz yang Keturunan Maling
Hukumonline

 

Tak mau kalah dengan seniornya, Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Marwan Effendy ingin menyaingi. Saya ingin Kejaksaan nantinya jadi desa ustadz keturunan maling, celetuk Marwan mengomentari judul buku Arman. Jampidsus yang baru seumur jagung menjabat di gedung bundar itu diundang sebagai salah satu pembicara dalam talkshow acara peluncuran buku Arman. Maklum, tema yang diangkat dalam obrolan kali itu adalah, Pemberantasan Korupsi: Prahara Para Penegak Hukum.

 

Marwan memang pejabat teras Kejaksaan yang dikenal ceplas-ceplos dalam berbicara. Ia juga memberikan alasan kenapa pimpinan gedung bundar itu hendak mendirikan desa ustadz yang keturunan maling. Kita ini manusia secara genetis kan sudah maling, ujarnya. Ia kaitkan hal itu dengan kisah manusia pertama Adam dan Hawa (Eva) yang dilempar dari nikmatnya surga karena mencuri buah terlarang. Kalau nenek moyang kita bukan maling, kita sekarang ini masih nikmat-nikmat di surga.

 

Mantan Kepala Pusat Pendidikan dan Pelatihan (Pusdiklat) Kejagung itu lumayan gerah dengan apriori publik terhadap Kejaksaan. Ia tak setuju dengan stigma yang dilekatkan masyarakat pada Kejaksaan. Bahwa semua jaksa itu buruk, tukang peras dan tukang mempermainkan pasal-pasal dalam dakwaan. Memang masih ada yang begitu. Karena seperti saya bilang tadi, kita manusia secara genetis itu sudah maling. Makanya, tolonglah masyarakat ini jangan memukul rata semua jaksa itu buruk. Kasihan jaksa-jaksa yang benar-benar jujur. Masih ada optimisme mengubah maling menjadi ustadz, selorohnya.

 

Ungkapan Marwan itu memancing reaksi dari Nono Anwar Makarim. Pengacara sahabat karib sekampung halaman Arman itu diundang pula sebagai pembicara talkshow bersama dengan mantan wartawan senior Aristides Katoppo. Pada peluncuran buku itu, Arman sebenarnya ikut nimbrung dalam forum lewat komunikasi jarak jauh (teleconference). Sayang, koneksi jarak jauh itu kurang lancar, beberapa kali terputus-putus.

 

Nono pun cepat mengingatkan Marwan. Kejaksaan saat ini citranya sedang amat terpuruk. Prahara suap Artalyta Suryani pada Jaksa Urip Tri Gunawan telah menyeret pejabat teras Kejaksaan. Pada akhirnya, citra Kejaksaan yang sejak dulu sudah dipandang sebelah mata oleh publik, semakin puruk hingga titik terbawah. Saya kurang setuju dengan pernyataan pak Marwan, ujarnya. Ungkapan Marwan itu ia anggap justru terkesan menyalahkan persepsi yang terbangun di tengah publik pada Kejaksaan.

 

Kejaksaan dalam keadaan seperti sekarang ini, ujar Nono, butuh public relation (PR) yang seharusnya menghindari pernyataan-pernyataan blunder. Pernyataan Marwan itu bisa dianggap malah menegaskan bahwa memang Kejaksaan itu seperti yang dicitrakan oleh publik. Sudah hilang harapan.

 

Pak Marwan tolong ingat bahwa Kejaksaan itu adalah perlambang dari kedaulatan rakyat, tutur Nono. Jabatan jaksa, merupakan jabatan pemegang amanah rakyat untuk menegakkan hukum di atas segalanya. Patokannya konstitusi. Kedaulatan rakyat. Kewenangan yang dimiliki jaksa itu adalah amanah dari rakyat pak. Wajar kalau rakyat berharap banyak pada Kejaksaan, imbuhnya.

 

Kejaksaan agaknya butuh humas yang mumpuni untuk membenahi citra yang kadung terpuruk dalam kubangan keruh. Wajar jika Nono sampai mewanti Marwan agar menjaga ucapan dan pernyataan di depan publik. Gara-gara keceplosan setitik, rusak susu sebelanga. Selasa (8/7) kemarin, sejumlah pimpinan media diundang untuk diajak bertukar pendapat tentang citra Kejaksaan di mata media saat ini.

 

Kini, korps Adhyaksa tengah gencar memantau agenda pemberitaan di media massa. Sebuah lembaga konsultan PR sudah dijadikan mitra kerja. Adalah RedWhite Communication, lembaga konsultan komunikasi yang kini ikut tergabung dalam pekerjaan itu. Salah satu staf ahli di lembaga itu, Wakid Qomaruddin membenarkan upaya Kejaksaan tersebut. Selain membuat analisis pemberitaan media, konsultan komunikasi itu juga memberikan masukan pada korps Adhyaksa, respon seperti apa yang sebaiknya diberikan pada publik. Ini diperlukan agar pernyataan yang dikeluarkan ke publik tidak seperti celetukan Marwan di acara itu. Agaknya, Marwan belum sempat mengecap pembekalan komunikasi ala PR kelas tinggi.

Mantan Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh boleh saja tak setuju Kejaksaan disebut kampung maling. Dia juga enggan disebut ustadz meski parasnya sedikit berwarna Timur Tengah. Itulah kenapa, Abdul Rahman yang akrab disapa Arman memberi judul buku memoar karangannya, Bukan Kampung Maling, Bukan Desa Ustadz: Memoar 930 hari di Pucuk Gedung Bundar. Buku setebal 500 halaman karya Arman itu diluncurkan Jum'at (11/7) di Jakarta.

 

Arman memang menolak dijuluki Ustadz di tengah kampung maling. Julukan tersebut diberikan oleh anggota DPR dalam Rapat Kerja Kejaksaan Agung (Kejagung) dengan Komisi III DPR pada 17 Februari 2005. Pernyataan itu sempat menimbulkan kehebohan di gedung Senayan. Sejumlah jaksa yang menghadiri forum rapat kerja meradang, memprotes keras, dan meminta ucapan itu dicabut. Suasana ricuh. Ketika itu, Arman sempat membela diri dan juga korpsnya.

 

Itu kan sebagai reaksi spontan dari saudara ketua, ujar Arman kala itu. Ia tegas menolak dipanggil ustadz lantaran memang bukan ustadz. Dan rekan-rekan saya bukan maling. Ini kan forum anggota DPR. Kalau saya diam, apa jadinya forum ini.

Halaman Selanjutnya:
Tags: