Pemerintah dan Pengusaha Ingin Kembali Laksanakan Kontrak
Royalti Batu Bara:

Pemerintah dan Pengusaha Ingin Kembali Laksanakan Kontrak

PP No. 144/2000 dianggap sebagai biang kerok perselisihan antara pemerintah dengan pengusaha tambang batu bara. Pasalnya, peraturan ini disinyalir bisa menjadi tameng bagi produsen batu bara untuk tidak dikenakan PPN. Pemerintah akan mencari mekanisme agar para pengusaha batu bara mendapat perlakuan khusus.

Oleh:
CRF/Sut
Bacaan 2 Menit
Pemerintah dan Pengusaha Ingin Kembali Laksanakan Kontrak
Hukumonline

 

Dan Kelima, selain SBY, Purnomo Yusgiantoro yang sekarang menjabat Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) harus dilibatkan, karena telah membiarkan PP 144/2000 tetap ada. Selain itu, kata Maimunah, Purnomo juga membiarkan perusahaan menunggak royalti batu bara sampai tujuh tahun lebih.

 

Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Berry Nahdian Furqon menambahkan, masalah tunggakan royalti bisa teratasi jika pemerintah mengelola perusahaan batu bara yang ada saat ini. Permintaan ini sebelumnya juga dikatakan oleh Presiden Center for Banking Crisis (CBC) Achmad Deni Daruri belum lama ini.

 

Sebenarnya, pemerintah dan pengusaha batu bara sendiri sudah menjajaki perdamaian guna menyelesaikan sengketa ini. Senin siang (11/7), Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Muhammad Lutfi memanggil pimpinan lima perusahaan batu bara yang sedang bermasalah dengan pemerintah. Kelima perusahaan tersebut adalah PT Adaro Indonesia, PT Arutmin Indonesia, PT Kaltim Prima Coal, PT Berau Coal, dan PT Kideco Jaya Agung. 

 

Status Istimewa

Dalam siaran persnya Lutfi menjelaskan, pencekalan beberapa orang direksi dan mantan direksi perusahaan tambang batu bara oleh pemerintah tidak bisa disalahkan. Soalnya hal itu dalam rangka penegakan hukum. Begitu juga dengan permintaan pengusaha batu bara atas pembayaran restitusi pajak dari pemerintah. Menurutnya, permintaan tersebut masuk akal, karena kelima perusahaan tersebut diistimewakan.

 

Kelima perusahaan batu bara menurut hukum punya status istimewa karena mereka masuk dalam kategori PKP2B (Perjanjian Karya Pengusahaan Penambangan Batu Bara) Generasi-1 yang ditandangani pada tahun 1982. Status istimewa perlu untuk ditawarkan pemerintah RI saat itu karena semua perusahaan batu bara di masa itu adalah perusahaan asing sehingga tunduk peraturan invetasi yang berbeda dengan perusahaan lokal, tuturnya.

 

Namun, kata Lutfi, saat ini semua perusahaan tersebut sudah berubah status menjadi perusahaan nasional melalui proses divestasi. Nah di sinilah sumber perbedaan di antara pemerintah dan pengusaha dalam menginterpretasikan PKP2B Generasi-1, imbuhnya. 

 

Ia menjelaskan, status istimewa dari perusahaan PKP2B Generasi-1 berarti bahwa pungutan-pungutan yang berlaku adalah pengutan-pungutan pada saat PKP2B ditandatangani antara pemerintah dan kontraktor batu bara. Dengan kata lain, PKP2B Generasi-1 dilindungi dari berbagai peraturan baru yang ditetapkan setelah PKP2B ditandantangani.

 

Yang jelas, kata Lutfi, BKPM akan menjalankan arahan Menteri Keuangan bahwa semua pihak harus kembali mengacu pada seluruh ketentuan pokok PKP2B Generasi-1. Dalam kesempatan itu, Lutfi berhasil meminta komitmen tertulis dari masing-masing pimpinan perusahaan batu bara kategori PKP2B Generasi-1. Dimana mereka akan menghormati seluruh ketentuan pokok PKP2B, termasuk bila ada tunggakan pembayaran royalti kepada Negara.

 

Sebelumnya, Kamar Dagang Indonesia (Kadin) bersedia untuk menjadi mediator penyelesaian sengketa restitusi pajak dan royalti antara pengusaha batu bara dengan pemerintah. Menurut Ketua Kadin MS Hidayat, pemerintah dan pengusaha batu bara harus duduk bersama dalam menyelesaikan konflik ini. Saya akan coba mediasi, kata Hidayat akhir pekan lalu.

 

Ia mengatakan meski perkaranya belum terlalu parah, namun hal ini tidak boleh dibiarkan berlalut-larut. Alasannya, konflik tersebut bisa berimbas pada terganggunya iklim usaha di sektor pertambangan.

 

Ketua Asosiasi Pengusaha Batubara Indonesia (APBI) Jeffrey Mulyono pernah berujar, pihaknya tetap bersikukuh menuntut pemerintah membayar sejumlah dana yang dibayar pengusaha untuk menalangi pembayaran PPN. Mantan Presdir PT Berau Coal yang ikut kena cekal ini mengatakan, berdasarkan PKP2B Generasi-1 pengusaha batu bara berhak menagihkan sejumlah biaya yang ditalangkan untuk membayar PPN. Karena alasan itu lah, maka pengusaha batu bara menahan dana hasil produksi batu bara (DHPB), serta kewajiban lainnya seperti royalti.

 

Pernyataan Jeffrey disambut Bambang Setiawan. Direktur Jenderal Mineral Batu Bara dan Panas Bumi (Dirjen Minerba dan Panas Bumi) Departemen ESDM ini mengatakan, pihaknya keberatan atas tindakan perusahaan tambang tersebut. Menurut Bambang, DHPB merupakan kewajiban perusahaan yang harus disetor ke pemerintah sebagai penerimaan negara bukan pajak, selain kewajiban lainnya seperti royalti.

 

Seperti dilansir detik.com, Bambang menjelaskan, alasan perusahaan memotong langsung setoran DHPB itu sebagai kompensasi untuk membayar Pajak Pertambahan Nilai (PPN) setelah berlakunya PP 144/2000. Ketentuan ini memasukkan batu bara ke dalam kelompok barang bukan kena pajak. Akibatnya, PPN masukan yang telah disetorkan perusahaan kepada pemerintah tak bisa direstitusi.

 

Kembali ke Kontrak

Namun Bambang mengakui, jika mengacu pada PKP2B Generasi-1, perusahaan punya alasan untuk tetap minta restitusi. Hal itu sesuai pasal 11 Ayat 1 PKP2B yang menyatakan, selama kontrak berlangsung, perusahaan tidak terkena perubahan aturan pajak (nail down). Kalau restitusi itu dibayarkan, perusahaan akan bayar lagi DHPB kepada pemerintah. Tetapi, biar hukum yang menilai, ujar Bambang.

 

Sikap melunak ditunjukan Sri Mulyani. Menteri Keuangan yang merangkap Menko Perekonomian ini menjelaskan, saat ini baik pemerintah maupun pengusaha sama-sama ingin kembali melaksanakan kontrak. Persoalannya adalah dari pajak penjualan menjadi PPN dan menjadi barang tidak kena pajak, itu persoalan yang akan kita selesaikan. Mekanismenya Menteri ESDM dan Dirjen Pajak akan melihat bagaimana melakukan klasifikasi dari batubara yang sesuai dengan kontrak. Kalau kemudian mereka mendapatkan pajak masukan dari reimbursement, nah reimbursement bagaimana itu yang kita bahas, ujarnya.

 

Meski belum selesai, namun sengketa antara pemerintah dan pengusaha batu bara mulai menemui titik terang. Pemerintah akan mencari mekanisme agar para pengusaha batubara mendapat perlakuan khusus dari PP 144/2000. Sekarang sudah ada titik terang, kita harus membuat formula reimbursement agar PP 144/2000 tidak dikenakan kepada mereka (pengusaha batubara), kata Bambang Setiawan saat mengunjungi pameran Indo Mining and Energy 2008 di Jakarta (12/8).

 

Sementara, Jeffrey Mulyono saat dihubungi kembali oleh hukumonline, menolak berkomentar mengenai perkembangan kasus tersebut. Hal ini sudah sampai tahap lobi dan Kadin sudah ambil alih. Bagi saya itu sudah cukup, saya tidak mau komentar apa-apa lagi, ujarnya singkat.

Kisruh antara pemerintah dengan sejumlah pengusaha batu bara terkait tunggakan royalti belum mereda. Pemerintah didesak untuk segera menyelesaikan konflik dengan pengusaha batu bara ini. Jika persoalan ini berlarut, dikhawatirkan akan timbul dampak negatif bagi sektor pertambangan.

 

Menurut Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Siti Maimunah ada lima hal yang menjadi masalah pokok dalam tunggakan royalti batubara. Pertama, perusahaan batu bara yang menunggak royalti serakah dalam memproduksi perusahaannya. Mereka telah meraup keuntungan yang banyak sehingga menguasai 60 persen produksi batu bara di Indonesia yang sebagian besar di ekspor keluar negeri, ujarnya dalam jumpa pers di Jakarta, Selasa (12/8).

 

Kedua, pada prinsipnya perusahaan tambang batubara di Indonesia mendapat subsidi publik. Artinya fasilitas umum yang rusak yang berada di sekitar daerah pertambangan tidak ditanggung perusahaan, sebaliknya ini ditanggung oleh pemerintah melalui anggaran APBD. Ketiga, bentuk kontrak karya pertambangan membuat pemerintah Indonesia sejajar dengan pihak perusahaan. Akibatnya kontrol pemerintah terhadap perusahaan menjadi sangat lemah. Jika perusahaan terlibat dalam kelakuan buruknya, dia bisa menggunakan kontrak sebagai perlindungan dan perusahaan terbebas dari jerat hukum.

 

Lalu keempat, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mesti bertanggung jawab atas tunggakan royalti yang belum dibayar oleh kelima perusahaan tersebut. Pasalnya, SBY pernah menjabat Menteri Pertambangan dan Energi di era kepemimpinan Abdurrahman Wahid. Menurut Maimunah, SBY-lah yang menelurkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 144 Tahun 2000 tentang Jenis Barang dan Jasa Yang Tidak Dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Peraturan ini, kata Maimunah, bisa dijadikan tameng bagi para pengusaha tambang untuk tidak dikenakan PPN dalam mengeksplorasi hasil pertambangan.

Halaman Selanjutnya:
Tags: