Penjualan Saham Freeport ke Bakrie Tidak Ikuti Prosedur
Berita

Penjualan Saham Freeport ke Bakrie Tidak Ikuti Prosedur

Jakarta, hukumonline. Dalam kasus PT Freeport Indonesia, Kejaksaan Agung baru dapat menyimpulkan bahwa penjualan 10% saham PT Freeport Indonesia Company (FIC) kepada PT Bakrie Copperindo Investama/ICICI (Grup Bakrie) dilakukan tanpa mengindahkan prosedur yang berlaku.

Oleh:
Ari/APr
Bacaan 2 Menit
Penjualan Saham Freeport ke Bakrie Tidak Ikuti Prosedur
Hukumonline

Namun terhadap besarnya kerugian, negara belum dapat menghitung secara konkret, karena banyaknya asumsi yang dapat dijadikan parameter kerugian negara. Demikian diungkapkan pihak Kejaksaan Agung dalam rapat dengar pendapat dengan komisi VIII DPR-RI pada 13 Februari 2001.

Kejaksaan Agung belum dapat menentukan berapa besarnya jumlah kerugian negara yang ditimbulkan akibat dari penjualan 10% saham FIC kepada ICICI karena banyaknya asumsi yang dapat digunakan sebagai parameter dalam menghitung kerugian negara.

Kejaksaan Agung sendiri mencontohkan apakah dengan tidak membeli saham FIC tersebut, pemerintah benar-benar menderita kerugian dan apakah saham tersebut mempunyai prospek mendatangkan keuntungan atau sebaliknya. Hal ini mengingat saat ini harga saham FIC mengalami penurunan sangat tajam akibat jatuhnya harga pasaran tembaga dunia.

Kontrak Karya II

Kasus PT FIC ini bermula pada 30 Desember 1991 di mana pada saat itu ditandatangani Kontrak Karya II (KK II) yang merupakan kelanjutan dari KK I. Dalam penandatanganan tersebut, Pemerintah RI diwakili Menteri Pertambangan dan Energi Ir. Ginanjar Kartasasmita dan PT FIC diwakili oleh Hoediono Hoed, SH, Presiden Direktur PT FIC.

Dalam KK II tersebut, terdapat beberapa perubahan, yaitu luas areal penambangan dari 10.000 hektare menjadi 2,6 juta hektare. Selain itu, PT FIC dalam KK II telah berbadan hukum Indonesia. Perubahan lainnya adalah kewajiban memiliki saham di samping pemerintah RI juga memperbolehkan pihak swasta nasional Indonesia. Artinya, harus warga negara Indonesia atau badan hukum yang sah yag dikuasai oleh warga negara Indonesia.

Hal yang menjadi penting dalam KK II adalah bahwa saham Pemerintah Indonesia atau swasta nasional meningkat menjadi 20% pada tahun kelima sampai dengan tahun kesepuluh. Dan untuk selanjutnya mulai tahun kesepuluh, pemilikan saham secara bertahap akan menjadi 51%. Namun ternyata sebelum KK II ditandatangani, telah terjadi penjualan saham dari PT FIC (saat itu masih berbadan hukum asing) kepada ICICI (Grup Bakrie) yang juga berbadan hukum asing.

Atas hal-hal tersebut, diduga telah terjadi kerugian keuangan negara yang timbul dalam proses pembuatan KK II antara Pemerintah RI dan PT FIC. Selain itu, juga diduga telah terjadi penyimpangan pengalihan saham kepada Grup Bakrie sebagai realisasi KK II yang dapat mengakibatkan kerugian negara.

Tags: