Rizal Ramli: IMF Berada di Balik Pembentukan UU Kepailitan
Berita

Rizal Ramli: IMF Berada di Balik Pembentukan UU Kepailitan

Di Amerika Serikat yang superkapitalis sekalipun, posisi buruh masih berada di atas kreditur separatis.

Oleh:
Ali
Bacaan 2 Menit
Rizal Ramli: IMF Berada di Balik Pembentukan UU Kepailitan
Hukumonline

 

Bila terjadi pailit dalam sebuah perusahaan, kreditor separatis lebih didahulukan dari buruh. Dalam praktek, buruh acapkali gigit jari tak mendapat apa-apa karena sebagian besar harta pailit sudah habis untuk kreditor separatis. FISBI menilai semua ketentuan ini bertentangan dengan Pasal 28D ayat (2) UUD 1945. 

 

Rizal mengkritik pasal-pasal yang dianggapnya mengebiri hak buruh ini. Ia pun mencontohkan pembagian jenis kreditur yang berlaku di Amerika Serikat dan sebagian negara di Eropa. Di negara super kapitalis seperti AS saja, posisi buruh berada di atas secure creditor (kreditor separatis), katanya. Ia mengaku heran dengan apa yang berlaku di Indonesia. Kok bisa di Indonesia, buruh berada di bawah kreditor separatis, tambahnya.

 

Di Amerika Serikat, lanjut Rizal terdapat hierarki pihak-pihak yang didahulukan untuk dibayar dengan harta pailit. Pertama, biaya administrasi. Kedua adalah statuta claim, dimana pajak dan gaji serta tunjangan buruh yang belum dibayar termasuk di dalamnya. Ketiga, kreditor pemegang jaminan atau secure creditor (kreditur separatis). Keempat, kreditor bukan pemegang jaminan atau unsecure creditor. 

 

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Pemerintah selaku pembentuk UU tak tinggal diam. Mereka menjelaskan mengapa ketentuan UU Kepailitan berlaku seperti itu. Dirjen Administrasi Hukum Umum (AHU) Dephukham Syamsuddin Manan Sinaga mengatakan ketentuan tersebut justru memberikan kepastian hukum terhadap semua jenis kreditor. Baik kreditor separatis, preferen, konkuren, maupun buruh sendiri.    

 

Benturan UU

Anggota Komisi III DPR RI Nursyamsi Nurlan berpendapat perlindungan terhadap kreditor separatis secara otomatis juga melindungi kepentingan rakyat. Prakteknya, yang bertindak sebagai kreditor separatis adalah bank yang memberikan pinjaman kepada perusahaan dengan jaminan. Sehingga, ketika bank sebagai pemberi pinjaman dilindungi bila terjadi pailit, berarti nasabah yang menabung di bank tersebut juga dilindungi. Ini perlindungan hukum bagi nasabah bank yang ribuan jumlahnya, tuturnya.

 

Dosen Perburuhan di Fakultas Hukum Universitas Atmajaya, Surya Candra mengakui peliknya persoalan ini. Ia membandingkan adanya dua UU yang seakan berbenturan. Yaitu UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan UU Kepailitan. Bila UU Kepailitan mendahulukan kreditor separatis, UU Ketenagakerjaan justru lebih mendahulukan buruh.

 

Surya mengutip Pasal 95 ayat (4) UU Ketenagakerjaan. Ketentuan tersebut berbunyi 'Dalam hal perusahaan dinyatakan pailit atau dilikuidasi berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka upah dan hak-hak lainnya dari pekerja/buruh merupakan utang yang didahulukan pembayarannya'.

 

Nursyamsi sempat mengkritik bahwa perbenturan antara dua UU bukanlah kewenangan MK. Menurutnya MK hanya berwenang menguji UU terhadap UUD'45. Namun, Surya berpendapat lain. Kalau ada benturan dua UU, maka kita kembalikan ke konstitusi. Langkah pemohon ini sudah tepat, kata Direktur Eksekutif Trade Union Right Centre (TURC) ini. Ia pun menyerahkan sepenuhnya kepada Mahkamah untuk berpihak kepada siapa. Protektif kepada badan hukum (kreditor separatis) atau kepada manusia (buruh)? tuturnya. 

 

Para Hakim Konstitusi pun mulai tertarik dengan perdebatan hukum ini. Hakim Konstitusi Maruarar Siahaan mengaku tertarik dengan hierarki kreditur yang menempatkan buruh di atas kreditur separatis. Namun, ia belum menerima keterangan dari ahli yang diajukan pemohon itu. Perlu juga didengarkan keterangan ahli pemerintah, pungkasnya. Pada sidang berikutnya, persidangan memang mengagendakan mendengarkan keterangan ahli dari pemerintah.

Perkara Pengujian UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU Kepailitan) semakin hangat. Permohonan pengujian yang diajukan oleh pengurus Federasi Ikatan Serikat Buruh Indonesia (FISBI) dan 137 mantan buruh PT Sindoll Pratama ini memang untuk yang kedua kalinya. Sebelumnya, permohonan FISBI dinyatakan tak dapat diterima oleh Mahkamah Konstitusi (MK) karena FISBI tak bisa menghadirkan ahli atau saksi untuk mendukung permohonannya.

 

Kali ini, FISBI sepertinya tak mau main-main lagi. Mantan Menko Perekonomian pada era Presiden Gus Dur, Rizal Ramli dihadirkan. Rizal mengungkapkan sekelumit pengetahuannya mengena UU Kepailitan itu. UU Kepailitan dibentuk oleh antek asing, tuturnya di ruang sidang MK, Selasa (26/8). Ia mengatakan latar belakang pembentukan UU itu adalah untuk melindungi modal asing dan sebagai turunan dari kesepakatan Letter of Intent antara International Monetary Fund (IMF) dengan Pemerintah Indonesia.

 

Rizal memang sangat menyayangkan isi UU Kepailitan yang lebih mengedepankan perlindungan terhadap pemodal di banding hak buruh. Ia mengungkapkan yang membentuk UU Kepailitan ini bukanlah orang yang bodoh. Tapi mereka punya kepentingan semua, tambahnya.         

 

Sekedar mengingatkan, pemohon mempersoalkan sejumlah pasal dalam UU Kepailitan. Yaitu Pasal 29, Pasal 55 ayat (1), Pasal 59 ayat (1) serta Pasal 138. Inti persoalannya, pasal tersebut dianggap memposisikan posisi buruh dibawah kreditor separatis yang memegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan dll.

Halaman Selanjutnya:
Tags: