Wakaf, Perbuatan Hukum yang Masih Sering Disalahpahami
Berita

Wakaf, Perbuatan Hukum yang Masih Sering Disalahpahami

Harapan pengurus Yayasan Pendidikan Islam Nurul Amal Cicurug Sukabumi untuk memiliki lahan tempat menjalankan aktivitas awalnya begitu besar. Pengurus mendapatkan wakaf berupa tanah sawah, yang dikuatkan dengan Ikrar Wakaf.

Oleh:
Mys/M-5
Bacaan 2 Menit
Wakaf, Perbuatan Hukum yang Masih Sering Disalahpahami
Hukumonline

 

Pengurus Yayasan Pendidikan bukannya berpangku tangan. Mereka mengajukan bantahan atas sita jaminan itu. Tapi, hingga ke Mahkamah Agung, bantahan pengurus yayasan kandas. Majelis hakim agung dipimpin Titi Nurmala Siagian menyatakan menolak permohonan kasasi pengurus Yayasan Pendidikan Islam Nurul Amal.

 

Kasus ini menjadi salah satu problem yang dihadapi pengelola tanah wakaf bila berurusan dengan hukum. Putusan MA No. 3404 K/Pdt/2002 itu seolah menunjukkan wakaf tak selamanya aman jika tidak ditopang proses yang benar. Wakaf sah apabila dilaksanakan menurut syariah, begitu Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 memberi arahan.

 

Wakaf adalah pranata keagamaan yang berwujud pada suatu perbuatan hukum untuk memisahkan harta agar dimanfaatkan selamanya atau dalam waktu tertentu demi kepentingan ibadah alias kemaslahatan ummat. Karena itu pula, menurut Mustafa Edwin Nasution, acapkali orang miskonsepsi, seolah-olah wakaf hanya untuk kepentingan keagamaan saja. Menurut Wakil Ketua Badan Pelaksana Badan Wakaf Indonesia (BWI) itu, miskonsepsi lain terjadi manakala orang beranggapan bahwa wakaf hanya dalam bentuk tanah saja. Atau, wakaf diciptakan sebagai aset abadi, sesuatu yang berkaitan dengan akhirat, dan bukan sebagai entitas hukum yang terus memproduksi barang dan jasa sosial.

 

Lantaran miskonsepsi yang terus terpelihara itu, diakui Mustafa Edwin, wakaf di Indonesia masih dikelola secara tradisional dan tidak efisien. Apalagi nazhir yang diangkat tak memiliki keahlian manajerial dan profesionalisme, semata-mata karena yang bersangkutan pemuka agama di daerah setempat. Oh ya, nazhir adalah pihak yang menerima harta benda wakaf dari pewakaf (wakif) untuk dikelola dan dikembangkan sesuai peruntukannya.

 

Pekan pertama Agustus lalu, BWI coba mengundang para pemangku kepentingan untuk duduk bersama membahas masalah wakaf mutakhir, termasuk mendatangkan para pengelola wakaf di negara tetangga yang relatif berhasil seperti Mesir. BWI berharap dihasilkan suatu pandangan tentang wakaf produktif. Dalam acara itulah Mustafa Edwin mengungkap kondisi perwakafan nasional saat ini.

 

Senada dengan Mustafa, hampir semua yang ikut urun rembug di Hotel Sultan awal Agustus lalu sepakat, pengelolaan wakaf sebagai entitas hukum dan perbuatan hukum belum dikelola secara maksimal. Harta benda wakaf masih dikelola secara tradisional, sekalipun terletak di kota besar dengan aktivitas bisnis yang cepat. Tata kelola harta benda wakaf yang buruk, jelas Mustafa, pada akhirnya membuat wakaf tidak produktif, berubah tujuan. Malahan aset wakaf tidak terjaga, bahkan hilang.

 

Data yang dihimpun BWI menunjukkan wakaf berupa aset tanah saja mencapai 268.653,67 hektare, tersebar di 366.595 lokasi. Angka ini hanya menunjukkan potensi wakaf berupa aset tanah. Potensi lain bisa berupa wakaf uang, wakaf properti, surat berharga, dan logam mulia. Pada intinya, kata Ketua Badan Pelaksana BWI KH Tholhah Hasan, wakaf harus dikembangkan agar lebih produktif.

 

Sayang, yang terjadi di lapangan berkata lain. Nazhir wakaf masih menganggap aset yang diwakafkan seseorang demi investasi akhirat tak bisa diutak-atik. Wakaf seolah-olah diciptakan sebagai aset abadi,  bukan sebagai entitas hukum yang terus memproduksi barang dan jasa. Padahal, harap Menteri Agama M. Maftuh Basuni, potensi wakaf yang demikian besar perlu terus digali. Terutama untuk mengatasi problem kemiskinan. Bersamaan dengan seminar BWI itu juga Menteri Matfuh mencanangkan Gerakan Wakaf Produktif.

 

Mustafa Edwin mencontohkan produktivitas wakaf untuk mengatasi kemiskinan. Pemberian beasiswa untuk pendidikan dan pelatihan; subsidi kesehatan; serta pembelian aset produktif dan modal kerja. Hasil wakaf produktif juga bisa digunakan untuk menyediakan public utilities seperti jalan, saluran air bersih, listrik, dan sanitasi.

 

UU No. 41 Tahun 2004, jelas Mustafa Edwin, sebenarnya memberikan dukungan regulasi bagi wakaf produktif. Setidaknya, dukungan itu terlihat dari sejumlah rumusan. Pertama, pasal 7-8 dan pasal 16, memfasilitasi perluasan sumber dana wakaf, berupa perluasan subjek wakaf (perseorangan, organisasi, dan badan hukum) dan perluasan objek harta wakaf (benda bergerak dan benda tidak bergerak).

 

Kedua, memfasilitasi pengelolaan wakaf yang profesional, transparan dan akuntabel seperti terlihat pada tata kelola wakaf berupa pendaftaran dan pengumuman (Bab III), perubahan status harta benda wakaf, pembinaan dan pengawasan wakaf. Demikian pula penentuan imbalan maksimal bagi nazhir (pasal 12).

 

Ketiga, memfasilitasi tujuan wakaf. Wakaf tidak hanya untuk tujuan keagamaan, tetapi juga untuk pendidikan, kesehatan dan peningkatan ekonomi ummat (pasal 22). Keempat, memfasilitasi pengelolaan wakaf tunai secara produktif melalui instrumen syariah dan penjamin investasi syariah.

 

Lantaran  sudah dituangkan dalam Ikrar Wakaf dan diteken sejumlah saksi, dan diketahui aparat kelurahan, pengurus Yayasan Pendidikan merasa yakin telah terjadi proses peralihan hak atas tanah tersebut. Keyakinan itu ternyata harus dipupus ketika Pengadilan Negeri Sukabumi menjatuhkan sita jaminan atas tanah yang terletak di Kelurahan Benteng, Sukabumi itu.

Tags: