Yayasan, Badan Hukum, dan Kerugian Negara (2)
Aliran Dana BI:

Yayasan, Badan Hukum, dan Kerugian Negara (2)

Kekayaan yayasan yang berafiliasi dengan lembaga negara dikualifisir sebagai kekayaan negara. Lalu, mengapa bila yayasan bubar, kekayaan yayasan tidak dikembalikan kepada para pendiri.

Oleh:
Mys/M-1
Bacaan 2 Menit
Yayasan, Badan Hukum, dan Kerugian Negara (2)
Hukumonline

 

Yayasan adalah badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang dipisahkan dan diperuntukkan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan, yang tidak mempunyai anggota. Dijelaskan Untung, suatu yayasan dikatakan sebagai badan hukum apabila telah mendapat pengesahan dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Yang disahkan Menteri adalah akta pendirian yayasan.

 

Masalah status badan hukum ini muncul lantaran akta pendirian YPPI belum mendapat pengesahan dari Menteri. Awalnya nama yayasan ini adalah YLPPI yang  diperkenalkan pada 1970 berdasarkan akta notaris no. 24. Akta pendirian yayasan didaftarkan ke pengadilan pada 12 Maret 2003, dan nama yayasan menjadi YPPI. Mengacu pada UU No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan, ahli Budi Untung berpendapat bahwa yayasan tersebut belum berbadan hukum.

 

Persoalan badan hukum dikaitkan jaksa dengan pertanggungjawaban pidana aliran dana Rp100 miliar dari kas YPPI ke Bank Indonesia yang tidak tercatat pada laporan keuangan. Untung berpendapat bahwa sebelum mendapat status badan hukum, maka yang bertanggung jawab dalam sebuah yayasan adalah para pendiri. Jadi, kalau ada penggunaan dana tidak sesuai dengan tujuan yayasan, yang harus dimintai tanggung jawab adalah para pendiri. Tanggung jawab awal ada pada founders, tegas pengajar Magister Hukum UGM itu.

 

Kalau dikaitkan dengan keuangan, sebelum YPPI berbadan hukum, tandas Untung, keuangan Yayasan masih milik Bank Indonesia. Apakah itu berarti, yang harus dimintai tanggung jawab atas penggunaan dana Rp100 tersebut adalah Dewan Gubernur Bank Indonesia? Terkesan, dalil itulah yang ingin dikejar oleh jaksa. 

 

Pasal 71 UU Yayasan

Namun bukan berarti YPPI tak bisa disebut berbadan hukum. Menurut Ratnawati Prasodjo, pakar hukum perdata yang dihadirkan tim pengacara Burhanuddin, YPPI sudah bisa disebut berbadan hukum berdasarkan pasal 71 UU No. 28 Tahun 2004. Yang disebut terakhir ini adalah Wet yang mengubah UU No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan.

 

Baik Ratnawati maupun Untung sama-sama mendasarkan pendapatnya pada pasal 71, namun nomor undang-undang yang berbeda. Yang satu merujuk pada UU Yayasan 2004, yang lain melihat dari pasal 71 UU Yayasan 2001. Rumusan pasal 71 pada kedua undang-undang sebenarnya mengakui status badan hukum sebuah yayasan asalkan menyesuaikan AD/ART dengan Wet dimaksud.

 

UU No. 16 Tahun 2001

UU No. 28 Tahun 2004

Pasal 71

(1)  Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Yayasan yang telah:

a. didaftarkan di Pengadilan Negeri dan diumumkan dalam Tambahan Berita Negara Republik Indonesia; atau

b. Didaftarkan di Pengadilan Negeri dan mempunyai izin melakukan kegiatan dari instansi terkait;

tetap diakui sebagai badan hukum, dengan ketentuan dalam waktu paling lambat lima tahun sejak mulai berlakunya Undang-Undang ini yayasan tersebut wajib menyesuaikan Anggaran Dasarnya dengan Undang-Undang ini.

Pasal 71

(1) Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Yayasan yang:

a. telah didaftarkan di Pengadilan Negeri dan diumumkan dalam Tambahan Berita Negara Republik Indonesia; atau

b. telah didaftarkan di Pengadilan Negeri dan mempunyai izin melakukan kegiatan dari instansi terkait;

tetap diakui sebagai badan hukum dengan ketentuan dalam jangka waktu paling lambat tiga tahun terhitung sejak tanggal undang-undang ini mulai berlaku, yayasan tersebut wajib menyesuaikan anggaran dasarnya dengan ketentuan undang-undang ini.

 

Untung berpendapat YPPI memperoleh status badan hukum setelah Menteri Hukum dan HAM mengesahkan Akta Notaris No. 48 pada Desember 2003. Setelah mendapat status badan hukum, maka pertanggungjawaban penggunaan dana yayasan adalah organ yayasan (pembina, pengurus, dan pengawas). Masalah muncul karena, sesuai pendapat Untung, YPPI belum berstatus badan hukum ketika dana Rp100 miliar itu mengalir.

 

Kekayaan terpisah

Dalam keterangannya di depan persidangan, Ratnawati Prasodjo menegaskan bahwa kekayaan yayasan dipisahkan dari kekayaan pendiri. Dengan logika ini, mestinya kucuran dana dari Bank Indonesia pada saat pendirian YPPI tidak otomatis menjadikan kekayaan YPPI sebagai kekayaan negara (dalam hal ini kekayaan Bank Indonesia).

 

Keterpisahan kekayaan yayasan itu disinggung dalam pasal 1 angka (1) UU No. 16 Tahun 2001. Pasal 26 ayat (1) menyebutkan: kekayaan yayasan berasal dari sejumlah kekayaan yang dipisahkan dalam bentuk uang atau barang. Ratnawati memperjelas makna keterpisahan kekayaan itu dengan merujuk pada pasal 68 UU yang sama. Berdasarkan rumusan pasal ini, jika suatu yayasan dibubarkan, sisa hasil likuidasinya harus diserahkan ke yayasan atau badan hukum lain yang mempunyai maksud dan tujuan yang sama. Jika tidak, pilihannya adalah menyerahkan sisa likuidasi kepada negara.

 

Rumusan pasal 68 jelas menunjukkan kekayaan yayasan terpisah dari kekayaan pendiri. Itu artinya bahwa harta yayasan tersebut tidak kembali kepada pendiri. Sehingga harta yayasan adalah milik yayasan itu sendiri yang sesuai maksud dan tujuannya, jelas Ratna.

 

Pada kesempatan berbeda, Untung menegaskan bahwa kekayaan yayasan tidak boleh dibagi-bagi, apalagi dipakai tidak sesuai tujuan yayasan. Ia merujuk pada pasal 5 UU No. 16/2001: Kekayaan yayasan baik berupa uang, barang, maupun kekayaan lain yang diperoleh yayasan berdasarkan Undang-Undang ini, dilarang dialihkan atau dibagikan secara langsung atau tidak langsung kepada Pembina, Pengurus, Pengawas, karyawan, atau pihak lain yang mempunyai kepentingan terhadap yayasan.

 

UU Yayasan 2004 semakin memperjelas bahwa pembagian atau pengalihan yang dilarang itu tidak terkecuali dalam bentuk gaji, upah, honorarium, atau bentuk lain yang dapat dinilai dengan uang.

 

Nah, penggunaan dana YPPI senilai Rp100 miliar itulah kini yang tengah dikejar oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Permintaan dana sebanyak itu diputuskan dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) pada 3 Juni 2003, yang dihadiri sejumlah petinggi BI. RDG per 22 Juli 2003 –dimana Anwar Nasution yang ketika itu menjabat Deputi Senior Gubernur BI ikut rapat- juga membahas masalah dana tersebut. Hingga saat ini, yang duduk di kursi pesakitan dari kalangan internal Bank Indonesia adalah Burhanuddin Abdullah, Oey Hoey Tiong, dan Rusli Simanjuntak.

 

Akankah ada nama lain yang terseret ke kursi terdakwa? Jawabannya tergantung hasil penyidikan KPK.

Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi dan auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yakin bahwa bila sebuah yayasan mempunyai hubungan istimewa atau terafiliasi dengan lembaga negara, maka kekayaan yayasan itu bisa dikategorikan sebagai kekayaan negara. Apalagi kalau lembaga negara dimaksud memiliki wewenang campur tangan terhadap yayasan, misalnya memilih pengurus. Keyakinan jaksa dan auditor BPK itu terungkap dalam persidangan di Pengadilan Tipikor dalam perkara Burhanuddin Abdullah, serta Oey Hoey Tiong dan Rusli Simanjuntak. Dalam perkara ini, nama Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI) santer disebut.

 

Keyakinan itu pula yang akhirnya memantik perdebatan tentang hakekat sebuah yayasan, termasuk kapan sebuah yayasan mempunyai status badan hukum. Jaksa coba menghadirkan Untung Budi, ahli yayasan dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

Halaman Selanjutnya:
Tags: