Tiga Mantan Direksi BI Resmi Tersangka
Berita

Tiga Mantan Direksi BI Resmi Tersangka

Jakarta, hukumonline. Kejaksaan Agung (Kejagung) menetapkan tiga mantan Direksi Bank Indonesia sebagai tersangka dalam kasus dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Ketiga mantan direksi tersebut adalah Hendro Budianto, Paul Sutopo dan Chaerul Supraptomo.

Oleh:
Tri/Ari/APr
Bacaan 2 Menit
Tiga Mantan Direksi BI Resmi Tersangka
Hukumonline

Muljohardjo, Kapuspenkum Kejagung dalam jumpa pers yang  di Gedung Kejaksaan Agung pada Selasa (20/2) malam menyatakan bahwa penetapan ketiga manta orang penting di BI tersebut menjadi tersangka dilakukan setelah kejaksaan mendapatkan bukti awal terjadinya penyalahgunaan wewenang jabatan atau kedudukan yang dilakukan ketiga oleh mantan Direksi Bank Indonesia tersebut. Semasa ketiga orang tersebut aktif, mereka telah tidak melaksanakan wewenangnya untuk melakukan stop clearing bagi bank yang mengalami saldo debet.

Bank Indonesia sebagaimana diatur dalam SK Dir BI No. 14/35/KEP/Dir/UPPB jo SEBI No. 14/8/UPPB tanggal 10 September 1981 jo SEBI No. 22/227/UPJ tanggal 31 Maret 1990, seharusnya melakukan penyetopan clearing bagi bank-bank yang mengalami saldo debet. Ketiga manta Direksi BI tersebut juga tidak pernah memberikan sanksi kepada bank penerima yang menyalahgunakan BLBI.

Dijelaskan oleh Muljohardjo bahwa penyalahgunaan yang dilakukan oleh Direksi BI tersebut dapat terlihat dari PT Bank Harapan Santosa (PT BHS, milik kakak dari Edi Tansil ) yang pada 22 Agustus 1997 telah mengalami saldo debet yang terus berlanjut sampai dengan tanggal 31 Oktober 1998. Atas posisi saldo debet tersebut, Direksi BI tidak melakukan stop clearing dan malah memberi izin saldo debet dan bahkan PT BHS terus dapat menarik dana secara tunai.

Hal tersebut dilakukan berdasarkan keputusan rapat Direksi BI tanggal 15 Agustus 1997 dan 20 Agustus 1997 yang pada pokoknya menentukan bahwa bank-bank yang mengalami kesulitan likuiditas atas saldo debet diberi kelonggaran berupa fasilitas saldo debet sampai gejolak pasar uang mereda.

Muljo juga mengatakan bahwa penyalahgunaan yang dilakukan oleh Direksi BI tersebut juga terlihat kepada PT Bank BDNI yang mengalami saldo debet sejak 15 Oktober 1997 sampai 30 Desember 1997. Para direksi tersebut tetap memperbolehkan PT BDNI ikut serta dalam clearing dan melakukan penarikan uang tunai (yang lagi-lagi) berdasarkan pada keputusan hasil rapat Direksi BI pada 15 Agustus 1997 dan pada 20 Agustus 1997.

Dikatakan oleh Muljo bahwa sebenarnya para Direksi BI tersebut mengetahui adanya penyimpangan penggunaan dana BLBI oleh bank penerima, seperti Bank BDNI dan PT BHS. Namun, tetap tidak menggunakan kewenangannya untuk melakukan stop clearing dan malah tetap mengijinkan bank tersebut bersaldo debet dan melakukan clelaring.

Dalam rapat antara Pemerintah, BI, dan DPR pada 17 Nopember 2000 silam, Menteri Perekonomian Rizal Ramli telah mengumumkan hasil dari investigasi yang dilakukan oleh BPK. Rizal mengatakan penanggung jawab atas kerugian BLBI,  dibagi dalam 2 (dua) periode.  Periode pertama, 3 September 1997 sampai 11 Februari 1998. Selain itu dijelaskan pula siapa-siapa saja yang bertanggung jawab pada level-level  level kebijakan strategis, pada level pembuat kebijakan teknis.

Pada level kebijakan teknis yang bertanggung jawab adalah jajaran Direksi BI yang menjabat pada saat itu. Untuk itu Rizal meminta kepada Kejaksaan Agung, atas nama tim kerja kerja BLBI, untuk segera melakukan proses hukum terhadap Direksi BI yang melakukan abuse of power. "Ada Direksi BI  pada saat itu, yang memanfaatkan kekuasaan," ujar Rizal waktu itu tanpa mau menyebutkan namanya.

Apakah mungkin yang dimaksudkan oleh Rizal adalah ketiga orang tersebut atau mungkin ada nama lain. Pasalnya, sampai saat ini pejabat sementara Deputi Gubernur  Miranda Goeltom, Iwan Prawiranata, dan Aulia Pohan saat ini masih intens diperiksa sebagai saksi berkaitan dangan dana BLBI.

Tags: