Tidak seperti di pengadilan yang proses ‘jawab menjawab' melalui surat. Kesempatan untuk membacakan isi surat gugatan atau jawaban pun kecil Dianggap dibacakan saja yah, begitu biasanya hakim menyarankan. Proses surat menyurat pun bisa molor. Tergantung kesiapan para pihak. Belum lagi, jika hakim yang menyidangkan punya kepentingan lain sehingga waktu sidang bisa terganggu.
Lewat jalur arbitrase, kemungkinan intervensi dari pihak lain kecil. Sebab para pihak dapat memilih arbiter sendiri. Objektivitasnya lebih terasa, tandasnya. Sementara, majelis hakim di pengadilan ditunjuk oleh ketua pengadilan. Dengan maksimalnya perdebatan ditambah arbiter yang objektif, penyelesaian kasus lebih cepat. Tidak bertele-tele, tambah Wahyu.
Falsafah arbitrase memang mengedepankan penyelesaian sengketa secara damai. Bukan sekedar memutus perkara atau perselisihan. Pihak yang posisinya kuat tidak dimenangkan secara mutlak. Sebaliknya, yang lemah tidak kalah total. Yang dikedepankan adalah win win solution, agar para pihak setelah bersengketa bisa bekerja sama lagi. Menarik bukan?
Jika anda tertarik menempuh jalur arbitrase, Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) bisa menjadi pilihan. Di sini (BANI) kita bisa melampiaskan kejujuran, kebenaran, keterbukaan dan keadilan, kata ketua BANI, Priyatna Abdurrasyid saat ditemui hukumonline, Kamis (18/9) dikantor BANI.
Kelebihan itu, kata Priyatna, disebabkan para pihak berdaulat dan memiliki otoritas atas perkaranya. Para pihak berkuasa penuh menentukan arbiter, pilihan hukum dan prosedur penyelesaian untuk menyelesaikan sengketa. Semuanya ditentukan atas dasar kesepakatan para pihak.
Di BANI ada 120 orang arbiter, 35 diantaranya adalah arbiter asing. Kesemuanya adalah ahli di berbagai bidang, antara lain ahli hukum, asuransi, perbankan, telekomunikasi dan angkasa. Tidak sembarang orang bisa masuk jadi arbiter di BANI, kata Priyatna yang juga mantan wakil jaksa agung itu.
Semua arbiter BANI adalah orang pilihan yang ditunjuk berdasarkan keahlian. Yang ngelamar banyak, tapi kita tolak, terang Priyatna. Bisa dipastikan berperkara di BANI akan dipegang oleh ahlinya. Jika tidak ada ahli yang dibutuhkan dalam pemeriksaan, BANI akan menunjuk ahli sebagai arbiter. Sampai sekarang tidak pernah terjadi, tandasnya.
Uniknya, tidak jarang orang Indonesia memilih arbiter asing. Konsekuensi pilihan itu adalah biaya perkara menjadi tinggi. Sebab arbiter asing dibayar jasanya per jam, ditambah dengan biaya transport. Priyatna menerangkan, pernah terjadi karena biaya tinggi, pihak yang berperkara tidak bisa memenuhi pembayaran, akhirnya si arbiter tidak bisa didatangkan. Ujungnya, penyelesaian perkara jadi tidak maksimal.
Anda tidak perlu khawatir dengan kualitas arbiter Indonesia. Tidak kalah dengan arbiter asing. Negara lain sudah mengakui kualitas arbiter Indonesia. Arbiter BANI juga tercatat sebagai arbiter di Korea, Jepang, Singapura, Amerika, Inggris dan Perancis. BANI sendiri terafiliasi dengan lembaga arbitrase asing. Yakni The Japan Commercial Arbitration Association, The Nedherlands Arbitration Institue, The Korean Commercial Arbitration Board, Australian Centre for International Commercial Arbitration, The Philipines Dispute Resolution Centre, Hong Kong International Arbitration, The Foundation for International Commersial Arbitration and Alternative Dispute Resolution, dan Singapore Institute of Arbitrators.
Klausule arbitrase
Tapi patut diingat, penentuan BANI sebagai domisili hukum penyelesaian sengketa harus dituangkan secara tegas dalam perjanjian yang biasa disebut ‘klausul arbitrase'. Jika tidak, BANI tidak segan menolak permohonan yang masuk. Klausul itu harus memuat antara lain identitas para pihak dan penjabaran objek sengketa.
Para pihak yang sepakat menggunakan jalur arbitrase nantinya harus menanggung biaya perkara secara tanggung renteng. Sekedar informasi, pendaftaran biaya perkara di BANI sebesar Rp2 juta. Sedang biaya perkara itu dilihat dari nilai klaim, makin tinggi nilai klaim, makin tinggi biaya perkara.
Tidak hanya itu, gugatan balik (rekonvensi) juga kena biaya. Sebab terkadang, tuntutan balik justru menuntut klaim yang lebih tinggi dari gugatannya. Ini untuk menjaga agar klaim wajar, kata Priyatna. .
Rencananya, BANI akan membuat aturan pengusaha kecil dapat besengketa di BANI secara gratis. BANI tidak melihat perkara dari nilai uang tapi komplikasi sengketa, terang Priyatna. Hingga kini BANI masih menyusun kategori pengusaha kecil yang bisa berperkara di BANI.
Tingkat Keberhasilan Tinggi
Sejak didirikan tahun 1977, dari ratusan kasus yang masuk ke BANI hanya 11 kasus yang dimintakan pembatalan ke pengadilan. Dari 11 permohonan pembatalan itu, tiga kasus ditarik kembali, tujuh dikalahkan, satu lagi masih menggantung. Menurut Priyatna tingkat kepatuhan para pihak melaksanakan putusan BANI 99,9 persen.
Saat ditanya apa yang membuat tingkat keberhasilan tinggi, Priyatna menyatakan hal itu disebabkan arbiter BANI berusaha melayani apa yang diinginkan para pihak yang bersengketa. Kita ini adalah pelayan, bukan mengatur, ujarnya.
Daftar Jenis Perkara BANI Periode 2003-2007 | |||
Jenis Perkara | Prosentase | Jenis Perkara | Prosentase |
Konstruksi | 37 persen | Energi | 2 persen |
Jual Beli | 18 persen | Pertambangan | 1 persen |
Sewa Menyewa | 12 persen | Telekomunikasi | 1 persen |
Investasi | 10 persen | Pertambangan | 1 persen |
Keuangan | 5 persen | Pertanahan | 1 persen |
Migas | 4 persen | Lingkungan | 1 persen |
HKI | 3 persen | Lain-lain | 1 persen |
Tingkat kelihaian arbiter dalam mendamaikan juga menjadi faktor penentu. Arbiter itu harus jujur, bisa kerja sama dan mengerti mereka. Kalau kita gagal, selesai. Tercela sedikit, selesai kita (BANI, red), tandas Priyatna. Ada tiga landasan yang harus menjadi pijakan arbiter BANI yaitu itikad baik, kerja sama, dan tidak konfrontasi demi menyelesaikan masalah.
Dari rentang waktu 2003 hingga 2007, perkara yang diselesaikan dalam waktu kurang dari 90 hari sebanyak 39 persen. Penyelesaian kasus dalam waktu 90 hari sampai 150 hari sebesar 35 persen. Perkara yang diselesaikan dalam waktu 150 sampai 180 hari sebanyak 14 persen. Penyelesaian perkara paling lama yaitu 180 hari hanya 12 persen.
Saingan Pengadilan
BANI yang didirikan atas prakarsa Prof. R Surbekti, Priyatna, Harjono Tjitrosoebono saat awal berdiri sempat dianggap sebagai ‘saingan' pengadilan. Saat itu perkara yang masuk nihil. Hingga sepuluh tahun berselang BANI baru menangani perkara sebanyak 27 kasus.
Pada sepuluh tahun kedua yaitu 1987-1996 perkaranya meningkat menjadi 56 kasus. BANI baru kebanjiran perkara pada fase sepuluh tahun ketiga yaitu tahun 1997-2006 sebanyak 215 kasus. Tahun 2007 perkara yang ditangani kembali menurun yaitu 26 kasus.
Peningkatan jumlah perkara itu salah satunya ditengarai berkat lahirnya UU No. 30 Tahun 1999. Beleid itu memberikan prosedur yang diperlukan, baik untuk berlangsungnya perkara maupun penegakan putusan arbitrase. Ada kepastian hukum, tegas Priyatna.
Lebih enak menyelesaikan perkara lewat arbitrase dibanding ke pengadilan, begitulah ungkapan Wahyu Hargono ketika dihadapkan pada dua opsi penyelesaian kasus hukum. Setidaknya, ada tiga alasan yang mendasari pilihan pengacara dari kantor hukum KarimSyah itu. Yakni dilihat dari waktu, efektifitas dan objektifitas penyelesaian kasus.
Sifat arbitrase yang tertutup, kata Wahyu, membuat para pihak lebih terbuka dalam mengungkapkan dalil-dalil hukumnya. Para pihak bisa berdebat secara langsung. Dengan begitu, para pihak bisa lebih maksimal dalam menyuarakan keinginannya. Lebih ekspresif, tandas Wahyu.