WAKAI, Potret Sistem Mediasi Negeri Sakura
Resensi

WAKAI, Potret Sistem Mediasi Negeri Sakura

Buku ini menggambarkan kelebihan dan kelemahan yang perlu diatasi sistem mediasi di Jepang. Mulai ditiru Indonesia lewat Perma No. 1 Tahun 2008.

Oleh:
RZK
Bacaan 2 Menit
WAKAI, Potret Sistem Mediasi Negeri Sakura
Hukumonline

Nugi -bukan nama sebenarnya- tampak kesal. Perjalanan puluhan kilometer dari kediamannya di bilangan Bintaro ke Pengadilan Negeri Jakarta Utara yang terletak di kawasan Sunter ternyata sia-sia. Sebagaimana ditugaskan oleh redaktur, jurnalis muda pada sebuah harian nasional ini awalnya berniat meliput sebuah perkara perdata besar. Menyadari jarak antara rumahnya dengan lokasi liputan cukup jauh, Nugi pun rela berangkat di saat matahari baru nongol.

“Sial, redaktur nggak bilang kalau ini sidang perdana,” keluhnya. Walaupun belum genap setahun liputan di bidang hukum, Nugi cukup paham bahwa sidang perdana perkara perdata pasti hanya mengagendakan pemanggilan para pihak. Jadi, jangan berharap perkara perdata berjalan secepat perkara pidana. Kalaupun para pihak lengkap hadir, majelis hakim paling-paling hanya membuka sidang lalu menyarankan para pihak menempuh jalur perdamaian.

“Kalau begitu, balik aja beberapa minggu lagi pasti gugatan dimulai.” Nugi jelas bukan paranormal, sehingga berani meramal proses mediasi akan gagal. Ia hanya bermodalkan menghafal rutinitas sidang perkara perdata yang selama ini ia liput. Mayoritas perkara perdata di Indonesia memang tidak tuntas pada tahap mediasi. Dengan kata lain, para pihak cenderung lebih senang bertempur melalui persidangan yang memakan banyak tenaga dan biaya. Mediasi pun hanya menjadi rutinitas formal belaka.

Kondisi inilah yang beberapa tahun lalu begitu merepotkan Mahkamah Agung (MA). Semakin banyak proses mediasi yang gagal, maka semakin tinggi tumpukan perkara mulai dari pengadilan tingkat pertama, banding, dan kemudian bermuara ke MA. Ketua MA Bagir Manan berulang kali mengeluhkan beratnya beban kerja hakim agung akibat warisan tumpukan perkara dari pendahulu mereka.

Bagir bukannya bicara tanpa data. Berdasarkan Laporan Tahunan MA 2007, jumlah tumpukan perkara masih berkisar puluhan ribu. Data terbaru hingga Agustus 2008 menunjukkan sisa akhir perkara pada akhir Desember 2007 mencapai 10.827 perkara. Perkara masuk Januari 2008-30 Agustus 2008 berjumlah 7.522 perkara, dan perkara yang diputus selama periode itu adalah 9.902 perkara. Sehingga sisa akhir perkara yang masih berjalan saat ini ‘tinggal' 8.447 perkara. Yang pasti jumlahnya masih ribuan.

Masalah ini coba disiasati MA setidaknya dengan dua metode. Pertama, peningkatan produktivitas hakim. Kedua, mencari metode penyelesaian perkara alternatif. Metode pertama diklaim Bagir relatif berhasil yang ditandai dengan tren berkurangnya sisa perkara di MA per tahunnya.

Sementara, metode kedua masih terus dimatangkan konsepnya. Selain dengan menerbitkan peraturan, yang teranyar adalah Perma No. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, MA juga rajin mengintip contoh praktik di negara lain. Jepang, salah satu negara yang dijadikan target studi banding. Sejumlah hakim agung dikirim untuk mempelajari sistem mediasi yang berlaku di Negeri Sakura itu.       

Tags: