RUU Pornografi Disahkan Dalam Suasana Kontroversial
Berita

RUU Pornografi Disahkan Dalam Suasana Kontroversial

Bukan hanya F-PDIP dan F-PDS yang melakukan walk out, dua anggota F-PG asal Bali juga melakukan hal yang sama.

Oleh:
CRF/Rzk
Bacaan 2 Menit
RUU Pornografi Disahkan Dalam Suasana Kontroversial
Hukumonline

 

Pasal berikutnya yang dipersoalkan F-PDIP terkait dengan peran serta masyarakat, yakni Pasal 20 sampai Pasal 22. Dalam pasal ini terlihat bahwa RUU memberikan peran masyarakat yang terlalu besar dan luas. Tjahjo khawatir masyarakat tertentu yang cenderung anarkis dapat menyebabkan kekacauan.

 

Tidak hanya batang tubuh, bagian penjelasan juga tidak luput dari protes F-PDIP. Penjelasan Pasal 4 menyebutkan terminologi persenggamaan yang menyimpang. Ketentuan ini, menurut Tjahjo, bertentangan dengan aturan World Health Organization (WHO) tahun 1993. WHO menyatakan homoseksualitas dan lesbian tidak tergolong sebagai penyimpangan.

 

Penolakan serupa juga datang dari Fraksi Partai Damai Sejahtera (F-PDS). Ketua F-PDS Carlo Daniel Kadang mengatakan fraksinya menolak karena menangkap kesan RUU Pornografi disahkan terburu-buru. Padahal, seperti halnya F-PDIP, Carlo mencatat ada amanat Bamus yang belum dirampungkan yakni  sosialisasi. Dengan ini kami secara resmi menolak pengesahan RUU ini, tegasnya.

 

Aksi walk out ternyata tidak hanya dilakukan oleh fraksi, dua anggota DPR dari Fraksi Partai Golkar juga melakukan hal serupa. Mereka, Ni Nyoman Tisnawati Karna dan Gede Sumarjaya, berpendapat RUU Pornografi belum pantas dijadikan UU. Sumarjaya bahkan mendapat kesan RUU dipaksakan untuk disahkan, karena seingatnya baru tadi malam (29/10) diagendakan akan dibicarakan.

 

Walaupun diwarnai walk out dan interupsi, RUU Pornografi akhirnya mulus disahkan berdasarkan persetujuan delapan fraksi lainnya.

 

Ancaman terhadap HAM

Tidak lama setelah pengesahan, dua lembaga yakni Komnas Perempuan dan Elsam langsung menerbitkan siaran pers. Komnas Perempuan menyatakan pengesahan RUU Pornografi terlalu dipaksakan. Baik DPR maupun pemerintah, dinilai Komnas Perempuan telah terjebak dalam politisasi moralitas dan agama.

 

Komnas Perempuan menyesalkan pengesahan RUU Pornografi siang ini oleh DPR di tengah kontroversi yang masih sangat besar di antara masyarakat tentang perlu atau tidaknya undang-undang ini, demikian bunyi siaran pers Komnas Perempuan.

 

Nasi sudah menjadi bubur, tuntutan yang disuarakan Komnas Perempuan pun lebih diarahkan pada implikasi dari penerapan UU Pornografi. Komnas Perempuan meminta Kapolri, Jaksa Agung, dan Ketua MA untuk meningkatkan kesigapan aparatnya terhadap aksi-aksi masyarakat tertentu yang atas nama undang-undang berpotensi melakukan kekerasan.

 

Tuntutan juga dialamatkan ke Menteri Dalam Negeri. Komnas Perempuan meminta Mendagri mengawasi terbitnya peraturan-peraturan daerah imbas dari UU Pornografi. Peraturan dimaksud dikhawatirkan dapat melanggar hak-hak asasi kaum perempuan dan kalangan minoritas.

 

Sementara, Elsam tegas menyatakan pengesahan RUU Pornografi merupakan ancaman terhadap perlindungan HAM di Indonesia. Pengesahan ini, menurut Elsam, merupakan bukti bahwa DPR mengabaikan prinsip dasar penyusunan sebuah peraturan yakni efektivitas. Elsam menyoroti sejumlah pasal yang dianggap bermasalah, seperti Pasal 1 terkait definisi ponografi yang dianggap terlalu luas.

Perjalanan pembahasan RUU Pornografi yang selama ini sarat kontroversi dan perdebatan akhirnya berakhir. Hari ini (30/10), melalui Rapat Paripurna DPR, RUU yang sedianya bertitel RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi ini disahkan.

 

Sebagaimana proses pembahasannya, pengesahan RUU Pornografi juga berjalan tidak mulus. Interupsi dari sejumlah anggota DPR saling bersahutan, baik yang pro maupun yang kontra. Kubu terakhir yang paling ngotot menyuarakan aspirasinya. Ketua Fraksi Partai Demokrasi Perjuangan Indonesia (F-PDIP) Tjahjo Kumolo, misalnya, menegaskan sikap penolakan fraksinya. Menurut Tjahjo, RUU tersebut memuat dua pelanggaran yakni prosedural dan substansial.

 

Kami menolak pengesahan RUU ini, dan melakukan walk out! ujarnya lantang sambil meninggalkan ruangan sidang (walk out) dan diikuti beberapa rekannya sesama fraksi.

 

Pelanggaran prosedural yang dimaksud adalah tidak dijalankannya catatan dari Badan Musyawarah (Bamus) DPR agar dilakukan sosialisasi kepada masyarakat. Sosialisasi ini sedianya dijalankan sebelum pengesahan RUU dilakukan. Artinya pemerintah diharapkan dapat melakukan sosialisasi kepada masyarakat umum, khususnya sejumlah daerah yang resisten seperti Bali dan Sulawesi Utara.

 

Menurut Tjahjo, F-PDIP menolak pengesahan karena didasari oleh beberapa alasan yang dianggap substansial. Pertama penyelundupan pengaturan pornoaksi dalam definisi pornografi. Spesifik, Tjahjo menyebut Pasal 1 dan Pasal 10 yang mencantumkan kata pornoaksi, gerak tubuh, dan pertunjukkan di muka umum. Ketentuan ini, lanjutnya, melanggar kaidah penyusunan peraturan perundang-undangan yang diatur Pasal 5 UU No. 10 Tahun 2004.

Tags: