Menggali Cerita Di Balik Indeks Korupsi
Berita

Menggali Cerita Di Balik Indeks Korupsi

Budaya berpotensi menjadi spektrum anti korupsi, tetapi di sisi lain bisa berpotensi memicu terjadinya korupsi.

Oleh:
Rzk/CR1
Bacaan 2 Menit
Menggali Cerita Di Balik Indeks Korupsi
Hukumonline

 

Pembagian dua kelompok daerah survey dirancang untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan bagaimana sebuah daerah bisa mendapat skor baik atau buruk. Atau usaha-usaha apa yang sudah dilakukan pemerintah daerah merespon hasil suvei indeks. Tidak ketinggalan juga diteliti konteks sosial budaya dari fenomena korupsi di masing-masing daerah.

 

Wonosobo, Pare-pare, Yogyakarta, Gorontalo menunjukan perbaikan yang signifikan dalam performa pelayanan publik setelah merapikan sistem satu pintu, dan cukup efektif untuk mengurangi pungli (pungutan liar), papar Frenky mengutip kesimpulan riset.

 

Kesimpulan lain, TII mendapati ada daerah yang tidak cukup responsif menyikapi hasil survei indeks, salah satunya Cilegon. Sebaliknya, daerah yang responsif adalah Gorontalo. TII juga menyatakan sektor pengadaan barang dan jasa publik masih menjadi sarang korupsi. Penyebabnya, karena penerapan Keputusan Presiden No. 80 Tahun 2003 terkesan masih setengah hati. Namun di sisi lain, pelayanan satu pintu terbukti ampuh mengurangi tindak pidana korupsi dalam pelayanan publik sehingga tercipta efisiensi.

 

Budaya dan korupsi

Temuan TII yang paling menarik adalah terkait kedudukan budaya dalam fenomena korupsi di Indonesia. Budaya berpotensi menjadi spektrum anti korupsi, tetapi di sisi lain bisa berpotensi memicu korupsi, ujar Frenky. Nilai-nilai budaya yang masih dilengkapi pranata sosial yang lengkap, seperti di Yogyakarta, sebenarnya potensial digunakan sebagai aset pemberantasan korupsi. Agar berhasil, maka syarat mutlak harus ada adalah komitmen dari pemimpin daerah setempat. Terkait hal ini, Frenky menyebut kisah Bupati Sragen Untung Wiyono, seorang profesional yang dipandang berhasil menularkan nilai-nilai profesional kepada stafnya.

 

Contoh dampak buruk budaya terhadap perilaku korupsi, tergambar dari hasil penelitian TII di Tanah Datar. Kabupaten yang terletak di provinsi Sumatera Barat ini, masih kokoh memegang pepatah adat Minangkabau baraia sawah di ateh, lambok sawah di bawah. Pepatah yang berarti jika seseorang mendapat rezeki atau jabatan maka orang di sekelilingnya akan turut menikmati, mendorong perilaku nepotisme. 

 

Korupsi bukan budaya, demikian judul besar kesimpulan riset TII. Selama ini, banyak kalangan yang mengaitkan korupsi dengan budaya sehingga muncul anggapan korupsi yang membudaya. Anggapan ini, menurut Frenky, jelas menyesatkan karena memunculkan kesan korupsi tidak bisa dihilangkan. Fakta yang terjadi adalah ada oknum-oknum yang menggunakan elemen budaya sebagai legitimasi budaya korupsi.

 

Perlu diwaspadai usaha revitalisasi nilai budaya yang sarat muatan politis karena berpotensi menciptakan sistem pemerintahan yang korup, ujar Frenky membacakan rekomendasi TII.

 

Hasil riset TII disambut apresiasi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Doni Muhardyansah, Direktur Litbang KPK, mengatakan data TII menunjukkan aspek pencegahan korupsi masih kurang dioptimalkan. Sebagai lembaga yang memiliki misi khusus, kondisi ini tentunya menjadi tantangan bagi KPK.

 

KPK, lanjut Doni, sebenarnya juga memiliki acuan tersendiri yang disebut survei integritas. Melalui survei ini, KPK mengukur cara pandang masyarakat terhadap korupsi, tingkat integritas pejabat publik dan sistem administrasi yang berjalan. Menurut KPK masyarakat kita masih permisif terhadap korupsi, ujar Doni mengutip "secuil" kesimpulan Survei Integritas KPK.

Malam itu, dalam sebuah acara talkshow televisi, Todung Mulya Lubis berdebat dengan Sisno Adiwinoto. Sentral pembahasan adalah hasil suvei Transparency International Indonesia (TII) yang menempatkan Kepolisian sebagai lembaga terkorup. Perdebatan kedua tokoh itu cukup memanaskan situasi. Bahkan, kehadiran anggota DPR Effendi Simbolon seolah-olah tidak dianggap. Talkshow serasa milik Todung dan Sisno.

 

Sisno yang ketika itu menjabat Kadiv Humas Polri, bahkan sempat melontarkan kata tai kucing. Intinya, Sisno bersikap defensif dan tidak mau begitu saja percaya hasil survey TII. Ia justru mencurigai survei tersebut disponsori pihak-pihak tertentu. Perdebatan semakin liar ketika Sisno mengkritik kiprah Todung sebagai advokat. Todung yang di TII menjabat sebagai Ketua Dewan Pengurus, dituding inkonsisten dalam membela klien.

 

Perseteruan itu telah lama berlalu. Sisno pun sudah hijrah ke Makassar menjabat sebagai Kapolda Sulawesi Selatan. Namun, keraguan Sisno, terlepas dari komentar bernada pedasnya, adalah gambaran dari sikap sebagian masyarakat yang juga kerap kali mengerenyitkan dahi saat membaca indeks korupsi yang diluncurkan TII. Angka-angka yang terpampang pada indeks atau survei korupsi seharusnya bisa berarti banyak, tidak hanya semata peringkat.

 

Metode survei korupsi memang tidak bisa menjawab, karena metode kuantitatif, sehingga tidak mampu menjawab secara lebih mendalam terhadap fenomena dimasyarakat, aku Frenky Simanjuntak, Anggota Tim Policy and Research TII, saat jumpa pers di Jakarta (26/11).

 

Menyadari hal itu, TII menggelar riset kualitatif berjudul Analisa Mendalam Fenomena Korupsi di 10 Daerah di Indonesia. Target narasumber mulai dari pejabat publik, pelaku bisnis lokal, dan masyarakat umum. Riset dilakukan di 10 kota dan kabupaten yang dipilih secara sengaja. Detilnya, lima daerah dengan indeks korupsi terburuk yakni Maumere, Mataram, Gorontalo, Denpasar dan Cilegon. Sisanya, lima daerah dengan indeks korupsi terbaik Palangkaraya, Wonosobo, Pare-Pare, Tanah Datar, dan Yogyakarta.

Tags: