Perlindungan Produk Indikasi Geografis Indonesia Masih Tertinggal
Berita

Perlindungan Produk Indikasi Geografis Indonesia Masih Tertinggal

Tantangan terberat adalah penguatan organisasi masyarakat sebagai produsen. Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 2007 menjadi pijakan hukum.

Oleh:
CRS
Bacaan 2 Menit
Perlindungan Produk Indikasi Geografis Indonesia Masih Tertinggal
Hukumonline

 

Penyerahan simbolis sertifikat Kopi Kintamani dilakukan bersamaan dengan seminar Perlindungan Indikasi Geografis di Bali, 11-13 Desember lalu. Hukumonline yang meliput acara tersebut melihat antusiasme sejumlah kalangan untuk terus mengembangkan perlindungan indikasi geografis atas produk lain setelah Kopi Kintamani.

 

Upaya membuat payung hukum indikasi geografis sudah dimulai dalam UU No. 14 Tahun 1997 tentang Merek. Kemudian, TRIPs (Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights) mengharuskan Pemerintah Indonesia mengambil langkah-langkah penting terkait hak kekayaan intelektual. Untuk lebih memberi perlindungan hukum itu pula, tahun lalu Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 51 Tahun 2007 tentang Indikasi Geografis. Pada Juni lalu, Menteri Hukum dan HAM Andi Matalatta membentuk Tim Ahli Indikasi Geografis.

 

Secara normatif, indikasi geografis adalah suatu tanda yang menunjukkan daerah asal suatu barang yang karena faktor lingkungan geografis memberikan ciri dan kualitas tertentu pada barang yang dihasilkan. Lingkungan geografis tadi bisa berupa faktor alam, manusia, atau kombinasi keduanya.

 

Oskar Simanullang menjelaskan lebih lanjut. Kepala Subdirektorat Indikasi Geografis Direktorat Merek pada Ditjen HKI ini mengatakan tanda yang dilindungi indikasi geografis adalah nama tempat, nama daerah dan tanda lainnya yang menunjukkan asal barang. Barang yang dapat dikenai indikasi geografi adalah hasil pertanian, produk olahan, hasil kerajinan tangan dan barang lain, sepanjang memenuhi unsur yang terkandung dalam definisi indikasi geografis, paparnya.

 

Lamban

Kalau Indonesia kaya potensi indikasi geografis, mengapa permohonan dan sertifikasinya berjalan lamban? Ketua Tim Ahli Indikasi Geografis, Surip Mawardi mengakui adanya tantangan. Menurut dia, tantangan terberat adalah penguatan organisasi masyarakat sebagai produsen barang yang dilindungi rezim indikasi geografis. Maklum, proses sertifikasi produk indikasi geografis tidak tergantung pada individu, melainkan pada masyarakat. Sertifikat Kopi Kintamani misalnya diberikan kepada Masyarakat Perlindungan Indikasi Geografis (MPIG).

 

Sebenarnya, menurut Frederico Guicciardini, WIPO sangat memperhatikan perlindungan terhadap hak kekayaan intelektual di negara-negara berkembang seperti Indonesia, termasuk indikasi geografis. Agar perlindungan itu menjadi rujukan bersama, WIPO sudah menggagas Perjanjian Madrid dan Perjanjian Lisbon (1958). Kedua perjanjian ini memberikan perlindungan kepada negara kaya indikasi geografis seperti Indonesia. Frederico berharap pemerintah Indonesia segera meratifikasi kedua traktat tersebut.

 

Perlindungan indikasi geografis –seperti rezim HKI lainnya, butuh dukungan bukan hanya dari produsen, tetapi juga dari Pemerintah. Dukungan politik yang minim dari pemerintah bisa menjadi hambatan. Frederico tak terlalu meyakini ada hambatan dari kalangan pengusaha. Ia mengkhawatirkan jika perlindungan dan dukungan politik tak maksimal, Indonesia akan ketinggalan. Setidaknya, tertinggal dari India dan Thailand yang sudah duluan meratifikasi.

 

Anda pernah dengar Kopi Kintamani, Kopi Gayo, Ubi Cilembu, Beras Solok, Batik Pekalongan, Markisa Medan, dan Kopi Toraja? Produk-produk ini sejatinya khas dari daerah tertentu. Dari perspektif hukum, produk khas suatu daerah perlu dilindungi agar tidak diklaim sebagai indikasi geografis atau indikasi asal negara lain.

 

Menurut Andi Noorsaman Sommeng, Indonesia sebenarnya memiliki banyak potensi produk geografis yang harus dilindungi. Dirjen Hak Kekayaan Intelektual (HKI) Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia ini menyatakan indikasi geografis adalah salah satu komponen hak kekayaan intelektual yang sangat penting diperhatikan, terkait nama daerah dan tempat asal produk. Kekayaan produk indikasi geografis bisa menjadi potensi bagi masyarakat dan negara kalau benar-benar dikelola.

 

Pandangan senada juga datang dari Frederico Guicciardini Corsi Salviati. Kekayaan alam dan tradisi Indonesia, kata Officer in Charge Information and Promotion Division Sector of Trademark, Industrial Design, and Geographical Indications World Intellectual Property Organization (WIPO) ini, menjadi sumber penting pengembangan indikasi geografis. Bagi Frederico, pengetahuan tradisional menjadi nilai tambah. Indonesia sangat potensial, ujarnya.

 

Sayang, pandangan dan pujian Frederico tak sepenuhnya terlaksana di lapangan. Hingga saat ini, baru Kopi Kintamani yang mendapat sertifikat pendaftaran indikasi geografis. Produk lain, seperti Kopi Gayo, malah didaftarkan hak ciptanya di Belanda. Kopi Toraja kabarnya sudah dipatenkan di Jepang.

Tags: